Tampilkan postingan dengan label mahasiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mahasiswa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Oktober 2008

Sanksi bagi Pelanggar Tata Ruang

Oleh Tjoek Suroso Hadi

AKHIR-akhir ini sering kita dengar, banyak orang yang dengan mudah melanggar penggunaan ruang yang mestinya telah disepakati bersama. Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah undang-undang, yaitu UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Sulit mengerti, mengapa orang gampang mengubah tata guna lahan. Peristiwa-peristiwa alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produktif, kawasan perumahan menjadi area industri, kawasan konservasi menjadi kawasan perumahan atau industri, persawahan jadi real estate, dan masih banyak lagi.

Akhirnya, dalam pelaksanaan pembangunan, tata ruang yang telah disepakati itu menjadi semerawut, tidak terkontrol, dan makin acak. Hal ini bisa terjadi di semua wilayah di seluruh pelosok negeri ini.


Kita coba merunut kembali, ketika air sungai Bengawan Solo meluap terjadi banjir bandang yang menggenangi wilayah-wilayah hilir. Tidak tanggung-tanggung, ketika sungai meluap, masyarakat Lamongan (Jawa Timur) melakukan protes, karena daerahnya sering tertimpa banjir kiriman, meski hari tidak hujan.

Padahal dalam UU 26/2007 sudah tertera, secara geografis NKRI berada pada kawasan rawan bencana, sehinga diperlukan penataan ruang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.

Statement dalam UU itu menyiratkan wilayah yang rawan bencana pun harus diantisipasi dalam perencanaan tata ruangnya, agar tak menimbulkan konsekuensi berupa kesengsaraan bagi masyarakat. Sehingga wilayah yang benar-benar sesuai dengan rencana tata ruang justru dilanggarnya.

Dulu pada saat era kerajaan, seorang raja mempunyai otoritas dan kewenangan menata wilayahnya, yang akhirnya harus disepakati dan ditaati semua rakyat. Contoh, pembuatan halun-halun (alun-alun) di depan bangunan kerajaan itu tidak lain merupakan ruang terbuka.

Ketika raja masih berkuasa. ruang itu digunakan sebagai tempat upacara adat atau untuk berinteraksi antara raja dan rakyatnya. Hal itu ditaati, bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Tidak seorang pun berani melanggarnya, misalnya memanfaatkan ruang alun-alun itu diubah menjadi area pertokoan atau mal dan seterusnya.

Kemudian tata ruang itu merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri merupakan susunan pusat-pusat permukiman serta sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Dengan demikian, zona-zona itu dibentuk atas dasar kondisi bentang alam yang tersedia, dan dimanfaatkan sesuai perencanaan kegunaan yang mengacu kepada spesifikasi dan karakteristik tanahnya.

Hutan lindung, misalnya, mestinya benar-benar menjadi wilayah konservasi yang harus dipertahankan. Alih fungsi kini menjadi tren wilayah di setiap wilayah/perkotaan. Dengan dalih meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), pemanfaatan ruang wilayah di masing-masing kota sangat maksimal.

Banyak contoh kasus alih fungsi lahan justru melibatkan para penentu kebijakan. Hal ini bisa dilihat dari konspirasi antara oknum angota DPR dan pejabat daerah untuk meloloskan alih fungsi lahan, dari lahan hutan lindung menjadi hutan produktif di Bangka Belitung.

Kita terperanjat mendengar berita diatas, karena untuk meloloskan alih fungsi lahan sampai melibatkan pejabat negara di tingkat pusat. Padahal UU Tata Ruang merupakan produk hukum yang dibuat DPR dan pemerintah (pusat).

Sanksi

Saya sering mengikuti diskusi atau seminar tentang tata ruang, dengan aneka narasumber mulai dari para pakar, akademisi, praktisi, hinggabirokrat. Dan pada kesempatan itu sering saya lontarkan pertanyaan tentang banyaknya aktivitas alih fungsi lahan yang berlebihan di berbagai wilayah.

Namun jawabannya selalu membingungkan, yang berkesan tidak ada kepastian. Ada yang menjawab pemerintah tidak mempunyai tools dalam pelaksanaan pengawasan dan penindakan para pelanggar tata ruang. Ada pula yang menjawab kita tidak perlu mencari kambing hitam: siapa yang salah dalam aktivitas tersebut.

Mengapa sampai muncul jawaban seperti itu ? Karena aktivitas alih fungsi lahan itu akhirnya dapat melibatkan seluruh stakeholders. Sebagai contoh, produk penataan ruang itu berawal dari pemikiran dan penelitian para pakar melalui konsultan perencana, kemudian antara Pemerintah dan DPR yang akhirnya disepakati menjadi UU.

Dalam pelaksanaan di lapangan, keterlibatan masyarakat juga sangat dominan, terutama untuk menjawab persoalan pekerjaan. Blunder ini sudah sering muncul, sehinga perkataan jangan membuat kambing hitam mungkin ada benarnya.

Untuk kepentingan apa pun, karena produk UU itu belum diamandemen, seluruh elemen masyarakat tetap harus mematuhinya. Tentu sanksi berat bagi pelanggar harus dilakukan. Pada pasal 35 disebutkan, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Sanksi berlaku bagi siapapun. Kalau perlu, perangkat di bawah UU seperti Perpres harus cepat dibuat untuk menjawab makin meluasnya aktivitas alih fungsi lahan.

Menurut pasal 37 (2), izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 37 (3) menyebutkan, izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Ayat selanjutnya, izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pertanyaannya, siapa yang bisa mengawasi dan menindaknya? Karena justru yang terlibat alih fungsi adalah para penentu kebijakan itu sendiri.

Tidak mungkin pemerintah menindak pemerintah (seperti jeruk makan jeruk !).
Contoh konkret adalah dalam konteks otonomi daerah (otda). Otda memberi kewenangan penuh kepada bupati / wali kota untuk menata ruangnya. Tapi, dalam pelaksanaan, mereka yang mestinya mentaati UU itu malah sering melanggarnya, dengan dalih untuk menjawab perkembangan kota maupun PAD.

Untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU itu, perlu dibentuk lembaga pengawas khusus yang independen, yang kewenangannya mirip dengan KPK.

Sanksi bagi pelaku alih fungsi lahan harus benar-benar diterapkan dan mengikat semua elemen masyarakat dan tak boleh ada unsur keberpihakan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jumat, 24 Oktober 2008

Simpanglima sebagai Ruang Publik ''Pluralis''

Oleh: M Agung Ridlo

PEMIKIRAN pakar perencana kota, Kevin Lynch, dalam buku Good City Form, banyak memengaruhi para pakar perencana kota dewasa ini.

Dia melihat kota sebagai suatu "diorama" yang terpampang dalam museum sejarah dan di dalamnya terdapat rentetan peristiwa yang merefleksikan kesan-kesan tertentu.

Dengan kata lain, kota bisa dilihat dari hubungan "diorama kota" dengan sejarah masa lalunya. Penyebaran lokasi permukiman penduduk dan kualitas artefaknya yang berupa gugusan kelompok permukiman, merupakan cerminan dari kelas-kelas sosial masyarakat yang menghuninya. Kelas-kelas sosial masyarakat itu dapat dilihat dari lingkungan huniannya beserta fasilitas penunjang yang dibuat.


Saat itu perencana kota lebih banyak diartikan sebagai perencana fisik (JCS Neider, 1979). Pembangunan plasa (alun-alun), shopping mall, boulevard (jalan-jalan), palace (istana), garden (taman), dan aspek keindahan lain lebih ditonjolkan oleh para perencana kota tanpa dikaitkan dengan aspek-aspek lain, seperti sosial dan ekonomi.

Dalam kurun waktu itulah, para perencana kota ditugasi menerjemahkan gagasan, impian, dan obsesi penguasa dalam usaha mewujudkan jati dirinya yang dituangkan dalam bentuk kota. Penataan kota diukur oleh rasa kepuasan dan pertimbangan dalam skala monumental para urban manager.

Luasnya plaza, nyamannya shopping mall, luasnya boulevard, megahnya istana, teduhnya garden tidak diukur untuk kepentingan semua pihak.

Golongan the have tampaknya akan sangat senang dengan semua itu. Akan tetapi, apakah hal itu bisa dirasakan oleh golongan have not yang proporsinya lebih banyak?

Sebagai contoh, pusat Kota Semarang dahulu adalah Pasar Johar dan sekitarnya (Yaik dan lapangan depan Masjid Kauman). Kemudian pada 1965 oleh Presiden Soekarno diarahkan untuk membuat alun-alun ke selatan ke kaki bukit Candi (Simpanglima saat ini).

Konon ide dan gagasan pembentukan pusat pertumbuhan baru di kawasan Simpanglima adalah sebagai kawasan yang bernuansa religius, budaya, pendidikan, dan sedikit sekali penunjang bangunan bisnis. Harapannya, kelak akan berkembang menjadi aktivitas pluralis. Namun dalam perjalanan waktu dan perubahan urban manager telah terjadi perubahan peruntukan dan fungsi.

Gedung Olah Raga (GOR) pada 1993 berubah menjadi Citraland Mall, open space (lapangan bermain) berubah menjadi Simpanglima Plaza (1988), Wisma Pancasila berubah menjadi Matahari & Hotel Horison, Bioskop Gajahmada (1980) berubah menjadi Ramayana (2003), STM Pembangunan (1980) sekarang namanya SMK 7 kabarnya akan diruilslag? Studi RTBL Kawasan Simpanglima Kota Semarang sudah digulirkan. Akan seperti apakah Simpanglima ke depan? Akan mengakomodasi siapa saja?

Simpanglima dan sekitarnya adalah ruang publik sehingga semestinya menjadi ruang publik. Ruang publik mengandaikan demokrasi pluralis, diharapkan orang menikmati keberadaan bersama orang lain yang berbeda-beda. Peruntukan ruang kemajemukan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Rabu, 22 Oktober 2008

Kondisi Air Tanah Kita

Kontribusi Dari Parfi Khadiyanto (Angkatan 01)

Jangan salah baca, kali ini kita akan bicara mengenai kondisi air tanah, bukan tanah air kita. Mengapa? Karena masalah ini begitu penting, hingga tak dapat diabaikan begitu saja. Tuhan menciptakan bumi, dengan komposisi air yang jauh lebih besar daripada tanah. Dua pertiga bagian bumi adalah air. Namun, hanya sekitar dua persennya saja yang dapat dimanfaatkan langsung sebagai air minum. Jumlah itu, kini
semakin berkurang jumlahnya.

Menurut penelitian, konon perbandingan kebutuhan air dengan ketersediaan air di Pulau Jawa sudah pada posisi 1 berbanding 1,5. Artinya, ketersediaannya hanya 2/3 dari kebutuhan, atau istilah dagangnya, sudah tekor. Banyak sumur yang sudah mulai kering pada bulan September hingga Desember. Hingga banyak yang menyebut September sebagai sat-sating sumber (sekering-keringnya air).


Harga air, khusunya air minum dalam kemasan, baik kemasan gelas, botol ataupun galon, sudah mahal sekali untuk ukuran wilayah yang dikelilingi lautan, dan selalu banjir apabila musim hujan datang. Aneh, sering tergenang banjir tapi harga air mahal.

Di Kota Semarang, tidak semua penduduk mendapatkan akses pelayanan air bersih dari pemerintah kota. Akibatnya banyak dari mereka yang ambil air tanah melalui sumur dangkal atau sumur dalam, antara 10 hingga 40 meter di bawah permukaan tanah. Masyarakat berlomba memperdalam sumur, dengan harapan dapat lebih mampu menjangkau air tanah. Namun, diperlukan dana tidak sedikit untuk membuat sumur dengan kedalaman cukup. Perlu puluhan juta rupiah. Bagi yang tak punya cukup uang, harus pasrah dengan air sungai yang kotor, air sendang, dan sumber air lainnya.

Mencoba mengatasi permasalahan itu, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah kota Semarang mengadakan program pembuatan sumur artesis. Proyek yang dikawal Dinas Pekerjaan Umum itu diberikan kepada warga di wilayah yang kesulitan mendapatkan air bersih.

Program itu efektif. Dalam hitungan waktu yang relatif pendek, masyarakat senang karena mendapat air bersih. Tetapi, apakah sudah dipikirkan dampak jangka panjangnya? Program tersebut sebenarnya termasuk dalam kegiatan pengurasan potensi air tanah yang ada di wilayah itu.

Mestinya, ketika Pemkot memberikan bantuan sumur artesis, harus sekaligus dalam satu paket pembuatan sumur resapan atau biopori, agar terjadi proses konservasi sumberdaya air. Air tanah diambil untuk kebutuhan domestik, tetapi sekaligus menyiapkan instrumen untuk menjaga kelestarian air tanah di wilayah proyek.

Bayangkan kalau sekarang saja di Pulau Jawa ini, air yang tersedia sudah dikuras sepertiganya untuk kebutuhan konsumsi domestik, dengan ketersedian yang hanya 2/3 dari kebutuhan, beberapa tahun lagi wilayah Jawa akan menjadi kering kerontang?

Untuk itu marilah kita hemat air, masukkan air secepatnya dan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah lagi. Buatlah sumber resapan, biopori, dan tandon penyimpanan air hujan. Sedapat mungkin manfaatkan setiap tetes air, jangan sampai terbuang percuma.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Senin, 20 Oktober 2008

Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwating Diyu (Bagian Kedua/Habis)

Oleh : Sudarmawan Juwono (Angkatan 01)

Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli.

Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka.


Pertemuan Dua Anak Manusia

Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa ¡§ perbuatan ¡§ sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya.

Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. ¡§ Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang ¡§.

Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. ¡§ Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya ¡§.

Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. ¡§ tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. ¡§ Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.

Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.

Tergelincir Dalam Kesesatan

Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria.

Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.
Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.

Akhir Yang Tercerahkan

Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puaj dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.

Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati.

Sumber : Wayang

Read more.....

Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwating Diyu (Bagian Pertama)

Oleh : Sudarmawan Juwono (Angkatan 01)

Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran ¡§ sang angkara murka ¡§ justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.

Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma¡¦ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.


Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama ¡§ Betara Kala ¡§ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut ¡§ Kayangan Setragandamayit ¡§. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi ¡§ khalifah ¡§ (wakil Tuhan di dunia).

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.

Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum ¡§ madeg pandita ¡§ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

Sifat Manusia Terpilih

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. ¡§ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. ¡§
Bethara guru menjawab ¡§ Pilihanku adalah anak kita Wisrawa ¡§. Serentak para dewata bertanya ¡§ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua¡¨
Kemudian sebagian dewata berkata ¡§ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia ¡§.

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab ¡§ Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah ¡§. Serentak para dewata menunduk malu ¡§ Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui¡¨
Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

¡§ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia¡¨
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan ¡§ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini ¡§.
Betara Narada mengatakan ¡§ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. ¡§ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya.

Sumber : Wayang


Read more.....

Selamatkan Stasiun Tawang !

Oleh : Mohammad Agung Ridlo (Angkatan 01)

KEBERADAAN Stasiun Tawang Semarang sebagai salah satu bangunan kuno harus diselamatkan dan dilestarikan. Stasiun rancangan JP de Bordes, dan dibangun 29 April 1911, sekarang dalam keadaan sekarat menghadapi rob dari Laut Jawa maupun banjir di musim hujan.

Selain itu, aset-aset PJKA berupa lahan tidak terkelola dengan baik, sebagian dimanfaatkan masyarakat sebagai kawasan permukiman. Termasuk kawasan di koridor atau bantaran jalur rel kereta api (lihat saja koridor dari arah Jakarta ke Stasiun Tawang). Sampai saat ini, kawasan ini sudah demikian rapat dan padat oleh permukiman slums dan squatters.


Kondisi eksisting tersebut tentu menyalahi peraturan Aanvullende Bepalingen Spoor en Tramwegen (ABST) Pasal 21 tentang larangan menanam tumbuhan dan mendirikan bangunan (gedung, tembok, pagar, tanggul) di dekat jalur rel kereta api. Tertulis pada peraturan tersebut, ’’Dalam jarak 11 m dari sumbu jalan baja terdekat bagi tanaman dan dalam jarak 20 m bagi gedung-gedung atau lain-lain bangunan, jika jalan baja lurus. Pada jalan baja yang membelok, maka jarak tersebut menjadi 23 m untuk yang terletak di lengkungan dalam’’. (Sumber: Keputusan Direktur Jenderal Perkeretaapian dan Menteri Perhubungan, 2000:21).

Bantaran rel KA adalah garis batas luar pengamanan jalur rel kereta api. Jalur KA adalah daerah yang meliputi daerah manfaat jalan kereta api, daerah milik jalan kereta api, dan daerah pengawasan jalan kereta api, termasuk bagian bawah dan ruang bebas di atasnya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api.

Ruang bebas dalam pengertian jalur rel KA adalah ruang tertentu yang senantiasa bebas dan tidak menganggu gerakan kereta api sehingga kereta api dapat berjalan dengan bebas dan aman (Keputusan Menhub Nomor: KM 52 tahun 2000, Pasal 1 ayat 3 dan 7).

Kondisi eksisting permukiman warga yang berupa slums dan squatters dibangun sangat dekat dengan jalur rel kereta api, yaitu sekitar 3 m. Kawasan ini tentu merupakan kawasan yang rawan terjadi kecelakaan, baik terhadap warga maupun permukimannya.
Pengembangan Tawang
Oleh karenanya, ke depan Stasiun Tawang perlu dikembangkan. Pertama, penataan area / kawasan jalur transportasi dan penyelamatan aset-aset lahan milik PT KAI. Artinya, permukiman slums dan squatters yang makin rapat dan padat di sepanjang koridor jalur rel kereta api tampaknya memerlukan ketegasan dari Pemerintah Kota Semarang.

Kebijakan dan peraturan mengenai peruntukan bantaran rel kereta api harus dilaksanakan secara konsekuen, guna menghindari kecelakaan dan korban jiwa saat terjadi kecelakaan kereta api. Namun demikian perlu dipikirkan solusi yang tepat dalam merelokasi penduduk dari bantaran rel kereta api.

Kedua, pengembangan bangunan Stasiun Tawang. Dalam pengembangan bangunan stasiun perlu difikirkan pelestarian bangunan kuno sebagai peninggalan budaya. Contohnya Stasiun Manggarai dan Gambir di Jakarta, yang tetap melestarikan bentuk bangunan kunonya.

Pengembangan bangunan Stasiun Tawang sangat diperlukan, karena kapasitas stasiun ini sudah padat oleh penumpang (beserta pengantar dan penjemput). Bangunan yang ada seka-rang mungkin tetap dilestarikan, namun tak menjadi stasiun utama. Bisa saja dijadikan bangunan untuk ticketing, restoran, lobi, dan lain-lain.

Di sisi lain, perlu dibangun stasiun yang lebih modern, yang berfungsi sebagai stasiun masa depan yang mampu mengantisipasi kemajuan teknologi perkeretaapian yang berkembang pesat saat ini. Konsekuensinya adalah pengelolaan aset-aset lahan PT KAI.

Saat ini banyak aset-aset lahan yang dimanfaatkan masyarakat sebagai area permukiman. Hal ini karena masih kurang dan lemahnya manajemen PT KAI dalam pengawasan aset-aset yang dimiliknya.

Ketiga, bagaimana jika sarana KA dikembangkan sebagai moda angkutan transportasi massal Kota Semarang dan sekitar. Gagasan ini dilontarkan karena melihat sejarahnya dulu, Gedung Lawang Sewu merupakan kantor pusat Jawatan Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda (NIS), dengan stasiun-stasiun trem yang tersebar di Semarang seperti stasiun pertama Samarang NIS di Tambaksari, dan Halte Kemijen yang tidak jauh dari Samarang NIS, berada pada jalur Semarang-Demak.

Ketika NIS membangun stasiun baru di Tawang, sebagian Stasiun Samarang NIS dirobohkan dan hanya menyisakan gudang barang (sekarang dikenal sebagai Stasiun Semarang Gudang).

Tentunya dibutuhkan ahli-ahli perkeretaapian seperti Djoko Setiyowarno, Tjahyono Rahardjo dan lainnya untuk memikirkan kereta api sebagai angkutan massal di Semarang dan sekitarnya. Ini untuk menjawab problem kepadatan dan kemacetan lalu lintas akibat moda angkutan darat lain yang penuh polusi.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Menata PKL Perlu Penataan Ruang

Oleh: Mohammad Agung Ridlo (Angkatan 01)

FENOMENA pertumbuhan suatu kota tentu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau urbanisasi (baca: urbanward migration) dari daerah hinterland. Fenomena tersebut juga terjadi di Kota Semarang, di satu sisi merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk ditangani dan di satu sisi merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi pertumbuhannya.

Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland menuju daerah pusat kota dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan.


Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota dalam hal ini khusus pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan perkembangan suatu kota.

Tata Ruang

Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga dilontarkan oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses pembeli. Ada pro dan kontra dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan warga tolak relokasi PKL (SM, 21 Maret 2005).

Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan di Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yagn menguntungkan bagi semua pihak (pedagang, warga dan Pemkot).

Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan warga. Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga mereka yang bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots'' dapat hidup yang layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak. Artinya bahwa kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1.

Oleh karenanya Pemkot dalam melakukan penataan PKL perlu memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai kepentingan semua pihak, nilai estetika, teori demand-supply, teori lokasi, teori sirkulasi ruang, teori ''behaviour'' dan teori psikologi manusia. (73)

- Penulis, Ketua Pusat Studi Planologi FT Unissula, mahasiswa S3 Program Doktor Arsitektur dan Perkotaan Undip.

Sumber : Suara Merdeka


Read more.....

SCJ, Sebuah Fakta yang Meruntuhkan Teori

Oleh: R Siti Rukayah Tutut (Angkatan 01)

OPTIMALISASI Shopping Center Johar (SCJ) mungkinkah? Sebuah pertanyaan akan keragu-raguan apakah lokasi ini akan optimal kembali digunakan dan digunakan untuk apa. Sebelum keputusan diambil kiranya benar bahwa masalah yang mendasar di lokasi ini khususnya dan Semarang pada umumnya perlu diungkap. Telah terjadi Pergeseran Paradigma Lokasi Perbelanjaan.

SCJ pernah berjaya di era Matahari sebagai anchor tenant mampu menjadi magnet penyedot pengunjung di tahun 1994. Namun mengapa 8 tahun kemudian Matahari tak bersinar lagi? Teori marketing dari para ahli ekonomi mengatakan bahwa laku tidaknya sebuah perbelanjaan tergantung dari lokasi, lokasi, dan lokasi.

Lokasi SCJ berada di dekat keramaian pasar tradisional Johar di daerah Alun-alun lama Semarang. Dahulu di era awal tahun 60-an lokasi alun-alun hingga sumbu Jl Pemuda merupakan daerah pertokoan, restoran, dan perkantoran yang cukup elit (Buku Petunjuk Alamat Dunia Dagang Kota Semarang, 1954).


Di tahun 70-an tercatat di Jl Pemuda terdapat beberapa perbelanjaan modern Golden Trully, Meliora beberapa pertokoan besar dan menjadi area rekreasi belanja warga Semarang di kala itu. Kekuatan bisnis dan komersil di daerah ini berkembang menjadi sebuah rezim ekonomi yang melumatkan ruang terbuka alun-alun di era tahun 1970-an dan hanya menyisakan Masjid Agung di sisi barat.

Ruang terbuka peninggalan kreasi kota Islam yang di buat Ki Ageng Pandanaran (pendiri sekaligus sebagai bupati pertama Semarang) tergantikan kekuatan bisnis. Kanjengan sebagai bangunan pusat pemerintahan yang dikreasikan Belanda untuk melengkapi komposisi pusat kota sebagai tiruan alun-alun kerajaan Islam di Jawa tergusur oleh bioskop dan pertokoan. Revolusi ritel yang terjadi di Amerika tahun 70-an berdampak menjamurnya kekuatan ritel di kota-kota di Indonesia.

Sejak berdiri gementee Semarang 1 April tahun 1906, perlahan-lahan mengubah Kota Semarang dari konsep kota tradisional menjadi modern. Perubahan paradigma ke kota modern itu menyebabkan konsep-konsep tradisional tidak berfungsi. Perkembangan kota Semarang mulai di arahkan ke sisi Selatan. Di tahun 1965 mulai direncanakan adanya pengganti Alun-alun lama Semarang di daerah Simpanglima sekarang.

Sejak terbentuknya lapangan Simpanglima Semarang tahun 1969 dan masuknya kekuatan ritel di akhir tahun 70-an di kawasan ini, perlahan-lahan kejayaan Jl Pemuda sebagai pusat perdagangan mulai kehilangan daya tariknya. Terjadi pergeseran paradigma lokasi perdagangan dari jalan protokol Pemuda ke arah pusat kota Simpanglima.

Matahari department store dan supermarket sebagai anchor tenant/ toko besar sering digunakan oleh mal-mal baru sebagai magnet yang menyedot pengunjung (hasil survai di beberapa kota Jakarta, Semarang, dan beberapa kota kecil).

Kekuatan Matahari sebagai ritel telah merambah di hampir semua kota-kota besar di Jawa dan menjadi tolok ukur keberhasilan sebagai magnet penarik pengunjung. Matahari masuk di Simpanglima Plasa pada tahun 1988. Keberhasilannya ditingkatkan dengan menambah gerainya di SCJ tahun 1994 dan berhasil. Namun menurun hingga tahun 2002.

Peluang yang lebih menjanjikan ditawarkan ritel yang baru Java Mal. Terdapat persaingan bisnis yang kurang sehat di mana mal-mal baru berusaha menggandeng anchor tenant lama (Matahari, Robinson, Mc Donald) sebagai magnet. Apakah fenomena ini membuktikan sebenarnya bisnis ritel di kota Semarang sudah jenuh?

Telah terjadi pergeseran motif belanja menjadi rekreasi sambil belanja dan aktualisasi diri akan adanya pengakuan. You are is what you wear menjadi you are is where you are . Pengunjung bangga mengunjungi dan berada di mal baru. Pergeseran paradigma motif berbelanja yang tumbuh dari kondisi masyarakat kita ini meruntuhkan teori tentang motif berbelanja dari ahli psikologi Deasy CM, 1992 (motif berbelanja berhubungan dengan keinginan berkomunikasi dengan orang lain, interaksi sosial).

Konsep dan peraturan yang mensyaratkan adanya jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional karena dikhawatirkan akan mematikan pasar tradisional tidak terbukti oleh adanya fenomena kehilangan pamor yang dialami SCJ.

Sulit untuk membangkitan kembali SCJ sebagai bisnis ritel menengah ke atas karena telah terjadi pergeseran paradigma lokasi ke pusat kota dan motif berbelanja ke ritel yang baru. Bukti penelitian menyebutkan bahwa pengunjung ritel terbesar dalah wanita dan remaja dari kalangan menengah ke atas. Apa yang dapat menarik mereka untuk datang? Harus ada pengganti toko besar sebagai magnet penarik pe-ngunjung. Mengubah image kawasan Johar yang terkenal dengan kawasan rawan copet bagi peng-unjung perbelanjaan, plesetan SCJ (Silet Copet Johar) merupakan istilah yang diberikan.

Kerawanan ini timbul karena Pasar Johar memiliki napas kehidupan yang pendek, subuh hingga tengah hari. Setelah jam-jam pasar berlangsung, kawasan ini menjadi sepi terutama malam hari. Perkantoran dan bisnis komersial menengah ke atas akan menghindari lokasi seperti ini. Menghidupkan SCJ perlu dukungan psikologi lingkungannya. Kiranya masalah psikologi lingkungan yang telah terbentuk dapat menjadi masukan bagi Pemkot dalam menentukan kelayakan SCJ.

- (R Siti Rukayah Tutut, staf pengajar Arsitektur Undip dan Program Magister Teknik Arsitektur Undip, mahasiswa S3 pada Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Undip.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jalur Penghubung di Simpanglima

Oleh: R Siti Rukayah Tutut (Angkatan 01)

REVOLUSI ritel telah terjadi di kota-kota besar di Indonesia dan melanda beberapa lapangan kota. Revolusi ini memuncak pada 1990-an sebagai imbas dari Amerika yang terjadi pada 1970-an dan diikuti negara-negara berkembang lain.

Amerika selama ini merupakan trend setter, termasuk trend setter bagi budaya konsumerisme. Revolusi ritel melanda beberapa alun-alun. Simpanglima merupakan kasus unik. Sebab, kekuatan ritel di lapangan ini masih terkendalikan. Belum menjadi sebuah rezim ekonomi yang mematikan makna historis alun-alun, seperti yang terjadi di Alun-alun Lama Semarang, Alun-alun Bandung, dan Alun-alun Malang.

Ide rancangan lapangan Simpanglima (1965) berasal dari Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia sebagai pengganti hilangnya Alun-alun Lama Semarang. Direncanakan ia sebagai kawasan religius, budaya, dan pendidikan.


Setelah hampir 20 tahun kawasan ini padat oleh ritel, hanya tersisakan Masjid Baiturrahman dan SMK 7 (STM Pembangunan) sebagai tonggak terakhir yang membuktikan kawasan ini pernah dirancang sebagai kawasan religius, budaya, dan pendidikan. Supermarket Simpanglima (1978) dan Gajahmada Plaza (1980) mulai ditinggalkan pengunjung akibat kehadiran Simpanglima Plasa (1988) dan Mal Ciputra (1993). Robinson Departemen Store (2003), meski merupakan yang terbaru di kawasan itu, tidak menimbulkan guncangan berarti bagi ritel lain.

Rencana Pemerintah Kota untuk menggabungkan beberapa bangunan perbelanjaan di kawasan Simpanglima dengan jembatan ataupun terowongan bawah tanah merupakan sebuah solusi tepat untuk menuntaskan masalah tidak berfungsinya jalur pedestrian di kawasan ini. Namun, mampukah sistem penghubung ini menghidupkan beberapa pertokoan yang telah ditinggalkan pengunjungnya?

Teori Linkage

Teori linkage dari Trancik (1986) mengungkap tentang perlunya sebuah penghubung antardaerah. Sifat penghubung ini bagaikan sebuah lem. Teori ini diperkuat oleh Kenzo bahwa dua daerah yang memiliki aktivitas yang sama akan membentuk sebuah hubungan.

Kiranya teori ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, yaitu adanya aliran pengunjung antarbangunan yang sama, Mal Ciputra dan Simpanglima Plasa. Namun itu tidak terjadi antara masjid dan mal, sekolah dan plasa.

Adapun berdasarkan teori arus trafik, ritel didesain untuk memecahkan problem arus trafik di dalamnya (Ketchum, 1956). Arus trafik harus tercipta terus-menerus sehingga melewati dan menghidupkan semua toko. Toko yang tidak dilewati arus trafik akan mati.

Untuk menciptakan arus trafik yang kuat, dibuatlah magnet di ujung sirkulasi berupa toko besar agar dapat menyedot pengunjung. Dari kekuatan magnet yang sama besar diharapkan terjadi gaya tarik-menarik. Apabila magnet yang ditempatkan tidak sama kuat, arus yang terjadi akan berat sebelah.

Fenomena ini dapat dilihat di lantai dasar Mal Ciputra. Magnet sisi timur (McDonald) lebih kuat dari magnet di sisi barat, meski sama-sama penjual ayam goreng yang disukai anak-anak.

Untuk menghindari masalah ketimpangan kekuatan magnet ini, ahli interior telah menemukan jalan keluarnya, yaitu pemisahan area sirkulasi untuk naik dan turun tidak dalam satu tempat (lihat Java Supermal). Dengan begitu, ada sedikit pemaksaan bagi pengunjung untuk berjalan mengitari semua toko di dalam mal.

Teori Kenyamanan

Dilihat dari kecepatannya, berjalan kaki mempunyai kelebihan, yaitu kecepatan rendah sehingga menguntungkan karena dapat mengamati objek secara detail (Rapoport, 1977).

Menurut Gordon Cullen, berjalan kaki dengan langkah yang sama akan menghasilkan rentetan-rentetan gambar yang indah. Para pengunjung ritel adalah pengunjung yang menggunakan moda berjalan kaki. Perhatian utama adalah adanya kontinuitas pandangan di dalam ritel.

Karena itu, perencanaan pembuatan jalur penghubung di kawasan ini sangat perlu melihat fenomena lapangan. Pertama, pengunjung menyukai pertokoan yang baru.

Supermarket ekonomi masih bisa hidup berdampingan dengan Gajah Masa Plaza pada tahun 80-an. Kedua pertokoan ini tampaknya mulai ditinggalkan pengunjung setelah hadir Simpanglima Plaza akhir 80-an. Simpanglima Plaza pun menjadi kurang menarik setelah Mal Ciputra dibangun awal 90-an, kecuali Robinson Departement Store yang kehadirannya tidak menimbulkan guncangan berarti bagi Mal Ciputra.

Kedua, penyewa tunggal. Para penyewa toko di beberapa ritel adalah sama. Toko sepatu Virgo dan Wina ada di beberapa ritel, Robinson di Citraland lantai II dan bangunan di sisi selatan Simpanglima). Fenomena ini menunjukkan bahwa teori marketing para ahli ekonomi mengenai lokasi perlu ditinjau ulang, karena lokasi yang sama ternyata memberikan hasil berbeda.

Ketiga, siapa yang menjadi magnet sirkulasi. Siapa magnet di kawasan ini yang akan menjadi generator pembangkit arus sirkulasi yang akan melalui dan menghidupkan ritel-ritel lain? Kiranya konsep pedestrian mal dari skala urban telah dipinjam untuk diterapkan di dalam bangunan. Sebaliknya, kita pun dapat meminjam keberhasilan konsep penempatan magnet sirkulasi dalam bangunan untuk diterapkan dalam skala urban. Keempat, pergantian pandangan yang menarik. Fenomena di beberapa ritel yang sudah mulai ditinggalkan pengunjung terlihat bahwa sistem related selling ini tidak lagi berfungsi.

Toko dicampur dengan usaha jasa lain (perkantoran dan lain-lain) sehingga tidak terbentuk sebuah jalinan gambar layaknya sebuah film, namun gambar terpotong-potong. Akibatnya, orang enggan berjalan di sana.

Kiranya sekelumit fenomena di kawasan ini perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Kota dan pelaku pembangunan dengan mengangkat fakta-fakta di lapangan dan melibatkan para pengelola ritel dan pengguna lapangan kota (PKL). Tolok ukur keberhasilan ini adalah terakomodasinya beberapa kepentingan para pemakai kawasan Simpanglima, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak percuma untuk sebuah tujuan menghidupkan kawasan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Alternatif Pusat Keramaian Publik Kota

Oleh: Sidem Tetuko (Angkatan 02)

DALAM rubrik ini telah dibahas tentang keunikan Simpanglima oleh Sdri Siti Rukayah dan Sdr Gatoet dari masing-masing sudut pandang. Kenyataan bahwa Simpanglima memiliki keunikan untuk dibahas secara ilmiah. Banyaknya jenis kegiatan di dalamnya menimbulkan berbagai macam persoalan yang harus dipecahkan, sedangkan saat ini belum semua permasalahan teratasi, sehingga muncul wacana tentang pemindahan pusat keramaian Kota Semarang ke daerah Pedurungan, dengan harapan aktivitas publik akan terpecah. Pembahasan kali ini ditekankan mengenai indikator yang berhubungan dengan proses pembuatan/pemindahan pusat keramaian kota yang melibatkan masyarakat Kota Semarang secara luas.

Sejarah pertumbuhan Kota Semarang yang diikuti dengan titik-titik pusat kota dimulai dengan adanya pasar di sekitar Pecinan dan Kota Lama yang berkembang dengan pesat, menjadi Pasar Johar yang menempati area Alun-alun Semarang. Sebagai pusat perdagangan terbesar di Semarang, kawasan Johar pada saat ini tidak dapat menampung jumlah pedagang, sehingga para pedagang baru menempatkan dagangannya di trotoar sepanjang Jalan Pemuda dan sekitarnya.


Pusat perdagangan pun berkembang ke wilayah Peterongan dan Bulu, namun kedua pusat aktivitas kota ini belum mampu menyedot masyarakat dalam jumlah besar karena adanya keterbatasan waktu kegiatan perdagangan. Akibatnya, aktivitas masyarakat hanya terjadi pada waktu tertentu. Di Peterongan aktivitas masyarakat dapat sedikit ditingkatkan pada malam hari dengan berdirinya pusat perdagangan Java Mall, namun di Bulu tidak demikian. Sebagai salah satu pusat perdagangan yang bercampur dengan kegiatan lainnya, Simpanglima berhasil menjadikan wilayah ini sebagai salah satu pusat Kota Semarang paling sibuk.

Wacana pemindahan pusat kegiatan masyarakat untuk menguraikan kepadatan Simpanglima sebenarnya telah dilakukan pemerintah ternyata tidak dapat menyedot masyarakat untuk beraktivitas di kawasan ini disebabkan kegiatan tidak kontinu. Dalam Catalysts in the Design of Cities, Wayne Attoe (1989) mengemukakan konsep tentang cara membangkitkan aktivitas kota ''mati'', sehingga produktivitas kota dapat ditingkatkan kembali, juga dibahas tentang pemerataan pembangunan dan kegiatan masyarakat kota dengan penambahan fasilitas publik. Berdasarkan konsep ini kiranya dapat dipelajari tentang indikator keberhasilan pengembangan pusat kegiatan masyarakat.

Bila dicermati lebih jauh, Simpanglima dan kawasan Johar memiliki kesamaan karakteristik yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam pembuatan pusat keramaian publik Kota Semarang. Kesamaan karakter yang berhubungan dengan aktivitas publik adalah fungsi sebagai pusat perdagangan, kontinuitas waktu kegiatan, aksesbilitas, daya tampung terhadap jumlah masyarakat, mix used area, sejarah perkembangan kawasan dan yang terpenting adalah mengakomodir aktivitas masyarakat tanpa membedakan kelas sosial dan status dengan batasan-batasan kemaslahatan umat manusia. Disamping mempertimbangkan indikator di atas, sebagai pusat Kota Semarang yang baru tidak mengulangi kesalahan yang terjadi di kawasan Johar dan Simpanglima, yaitu masalah penataan pedagang kaki lima dan pembatasan jumlah pedagang, penghijauan kota, penataan papan reklame, arus sirkulasi kendaraan dilengapi dengan penataan ruang parkir, aspek keamanan dan kenyamanan masyarakat terutama pejalan kaki dengan meningkatkan unsur vegetasi disertai pemisahan jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki.

Dengan indikator ini kiranya dapat dipelajari bagian Kota Semarang yang dapat dijadikan salah satu pusat kegiatan masyarakat, sehingga kawasan Simpanglima dan Johar tidak menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Yang perlu dihindari adalah pembuatan duplikasi bentuk yang mengakibatkan kawasan kosong tanpa memiliki kemampuan mendatangkan masyarakat untuk beraktivitas. (73)

- Sidem Tetuko ST MT, praktisi arsitektur dan urban design, mahasiswa doktor arsitektur dan perkotaan Undip.

Sumber : Suara Merdeka


Read more.....

Indoor Vs Outdoor di Simpanglima

Oleh: Gatoet Wardianto (Angkatan 02)

SEPERTI dinyatakan Tutut (''Rame Kondhe'', 10 Januari 2005), revolusi ritel telah melanda kota-kota besar di Indonesia, yang antara lain berupa bangunan-bangunan pusat perdagangan ritel yang lazim disebut mal. Implikasinya secara nyata dapat dilihat di kawasan Simpanglima Semarang.

Kawasan yang semula direncanakan sebagai kawasan religius, budaya, dan pendidikan telah berubah menuruti logika kemauan pasar yang dikenal dengan istilah market driven oriented (Sudarto P Hadi, 2000).

Memang harus diakui, konsep perdagangan ritel modern dalam bentuk shopping mall memberikan kenyamanan bagi pengunjung, seperti temperatur udara di dalam ruang (indoor) yang dikondisikan sesuai dengan ''kenyamanan termal'' yang diinginkan dan fasilitas tangga berjalan. Dengan begitu, pengunjung dapat bertahan berjam-jam, bahkan seharian penuh berada di dalam mal. Malahan sekarang fungsi mal tidak lagi hanya sebagai pusat perdagangan, tetapi juga menjadi tempat rekreasi.


Dikotomi

Marilah kita amati kawasan Simpanglima secara keseluruhan yang terdiri atas fasilitas indoor yang disediakan oleh bangunan-bangunan perdagangan dan fasilitas outdoor yang berupa lapangan Simpanglima serta ruang-ruang terbuka lain di luar bangunan.

Kita seakan-akan dihadapkan pada pilihan masuk ke dalam bangunan mal yang menawarkan kenyamanan, kebersihan, bebas dari gangguan cuaca dan iklim, atau berada di ruang luar yang kurang terawat, tidak menyediakan fasilitas apa pun, terasa panas pada siang hari dan harus mencari tempat berteduh ketika hujan datang.

Jawabnya jelas, orang tersedot ke dalam ruangan yang nyaman, sedangkan ruang terbuka ditinggalkan. Kecuali mau cari makanan murah di kios-kios sekitar mal yang (maaf) dibumbui bau tidak sedap dari selokan di bawahnya.

Rencana Superblok

Rencana untuk menjadikan kawasan Simpanglima sebagai kawasan superblok yang dilengkapi jembatan penghubung sehingga pengunjung dapat berkeliling ke seluruh superblok tanpa harus keluar dari bangunan, dihadapkan pada rencana mengembangkan ruang terbuka Simpanglima menjadi kawasan pedestrian. Hal itu perlu didasari konsep yang dapat menyatukan kegiatan indoor dan outdoor.

Di Eropa, dengan biaya dari masyarakat Uni Eropa, sejak 2001 dilakukan penelitian-penelitian melalui program RUROS (Rediscovering the Urban Realm and Open Spaces) dan BUGS (Benefits of Urban Green Spaces) yang bertujuan mendorong warganya lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang luar.

Di Denmark, sejak 40 tahun lalu telah terjadi peningkatan kehidupan di ruang luar menjadi tujuh bulan, April sampai November dalam satu tahun, dibandingkan 30 tahun lalu yang hanya empat bulan, Mei-September (Koloed, N, laporan tahunan penelitian RUROS, 2002).

Di Indonesia belum ada penelitian mengenai hal ini. Namun dari pengalaman sehari-hari, rasanya kita dapat menghitung berapa jam dalam sehari kita berada di ruang luar. Salah satu alasannya, fasilitas untuk beraktivitas di ruang luar sungguh tidak memadai.

Sudah saatnya Pemerintah Kota memberikan fasilitas ruang luar yang lebih baik bagi warganya agar dapat lebih banyak menikmati ruang terbuka di perkotaan, khususnya bagi mereka yang tinggal di kampung-kampung yang padat dengan gang yang sempit tanpa ruang terbuka yang memadai.

Pemerintah Kota Kuala Lumpur, misalnya, sangat memperhatikan perencanaan ruang luar yang dicantumkan dalam program Urban Design and Landscape yang meliputi antara lain View Corridors and Gateways, Streetscape, Skyline, Landmarks and Building Heights, Green Network, Urban Space, Nodes, Plazas and Parks, River Corridors, dan Pedestrian Linkages (Structure Plan Kuala Lumpur, 2020).

Penulis sangat berharap rencana mulia Pemerintah Kota untuk menjadikan kawasan Simpanglima sebagai kawasan pedestrian akan menjadi prioritas utama dan benar-benar terwujud. Warga kota dapat menikmati hidup di ruang terbuka yang berkualitas, tidak hanya terkungkung di dalam bangunan-bangunan mal. Dengan begitu, akan terwujud keseimbangan antara pola hidup indoor dan outdoor bagi warganya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Urbanisasi dan Perubahan Morfologi Kota

Oleh : Tjoek Suroso Hadi (Angkatan 05)

MASALAH urbanisasi selalu mengiringi masa-masa se­sudah lebaran. Saat ini, se­jumlah pemerintah kota di Indonesia semakin sibuk mengurusi masalah ini.

Urbanisasi adalah aktivitas perpindahan penduduk dari desa ke kota, dengan tujuan mencari kehidupan yang layak, karena kehidupan di desa tidak memiliki fasilitas yang memadai.
Banyak kota besar di In­donesia yang mengalami perkembangan berupa pemekaran wilayah.

Hal ini akibat pengaruh perkembangan jumlah penduduk lokal dan makin ba­nyak pendatang atau urbanis. Kota-kota seperti Jakarta, Su­ra­baya, Semarang, Medan, Ma­kassar, Yogyakarta, Palem­bang, dan Bandung mengalami perkembangan pesat.

Se­lain menjadi sasaran para urbanis, kota-kota itu sekaligus merupakan ibu kota dari wi­la­yah masing-masing, yang me­nyediakan fasilitas kehidupan manusia sebagai faktor penarik.

Pertumbuhan di berbagai ko­ta besar itu mencakup berbagai aspek, mulai dari pereko­no­mian, industri, jasa, pariwi­sata, pemerintahan, dan sebagainya.

Fasilitas-fasilitas untuk memberi pelayanan kepada penduduk kota makin bervariasi, dan menyentuh kepada se­luruh kebutuhan hidup ma­sya­rakat­nya.


Dengan demikian, kota-kota besar itu makin tumbuh dan berkembang, serta akhir­nya mengalahkan pedesaan.
Sebagian besar peredaran uang di negeri ini berada di kota-kota besar.

Hal ini karena kota-kota besar sangat menjanjikan dengan adanya berbagai ma­cam dan jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan uang.

Pada gilirannya, di desa ti­dak ada lahan pekerjaan yang memadai.
Para generasi muda enggan bertani. Akhirnya taraf hidup masyarakat yang mukim di kota besar relatif melampaui standar kelayakan ketimbang masyarakat pedesaan. Hal inilah yang mendorong warga pedesaan pergi ke kota besar, berurbanisasi, meninggalkan desa untuk mencari kehidupan yang layak.

Naluri Nomaden

Dalam sejarah kehidupan, dan ketika mahkluk yang ber-nama manusia sering mengadakan perjalanan ke berbagai daerah, hanya satu tujuannya yaitu naluri untuk mencari makanan.

Pada akhirnya aktivitas itu dikenal dengan nama nomaden. Naluri itu sesuai dengan apa yang telah ditulis Peddington (1950), yaitu adanya kebutuhan primer dari manusia yang meliputi makan, minum, membuang hajat, reproduksi, serta penyelamatan diri dari marabahaya.

Dengan demikian, wajar apabila manusia sejak dari dulu sampai sekarang melakukan apa yang disebut merantau. Merantau, menurut pandangan masyarakat zaman dulu, termasuk kegiatan yang sangat didambakan dan menjadi ke­banggaan keluarga.

Malah kadang-kadang untuk bekal merantau pun dipersiapkan, agar jika mengalami kesulitan finansial di kota besar, sang perantau masih memiliki ca­dangan uang.

Dalam kisah pewayangan pun ada kegiatan merantau. Con­tohnya dalam cerita Su­mantri Ngenger, yang me­ngisahkan sosok pemuda yang akan merantau ke kota besar.

Sebelum berangkat, dia dibe­kali ilmu oleh seorang guru. Kata-kata ngeger itu bisa diartikan sebagai kegiatan merantau, dan mempunyai makna sebagai kegiatan urbanisasi.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota besar sudah sering kita dengar di dunia ini, dan berlangsung sepanjang sejarah. Tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya, walaupun para penguasa se­tempat sekalipun.

Urbanisasi ternyata juga menguntungkan bagi kota itu sendiri. Sebab me­reka dianggap sudah dibekali ilmu dan keterampilan yang me­madai. Maka dari itu, ba­nyak penduduk kota yang membutuhkan tenaga-tenaga te­rampil yang muncul dari desa.

Dalam sejarahnya, ke­giatan urbanisasi besar-be­saran timbul serentak dengan lahir­nya Revolusi Industri di Eropa pada abad 18 dan 19. Makin menjamurnya industri besar telah mengundang tenaga kerja dari desa untuk me­menuhi kebutuhan pabrik-pabrik.

Saat itu urbanisasi merupakan kegiatan yang baik, karena dapat mengisi tenaga kerja di pabrik-pabrik, dan warga kota sangat welcome dengan para urbanis. Budaya urbanisasi dulu dianggap baik, mampu menjadi penyelamat kebutuhan ketenaga kerja. Namun sekarang, fenomena ini justru dinilai mengkha­watirkan.

Sebab para urbanis seka­rang ini tak dibekali ilmu dan keterampilan memadai. Mere­ka hanya mengandalkan tekat membara, tanpa bekal sama sekali. Yang penting meninggalkan desa!

Dengan kompleksitas permasalahan kota yang makin beragam, dan persoalan yang dihadapi makin tinggi kualitasnya, para urbanis yang tidak punya bekal ilmu dan keterampilan sudah tidak mungkin dapat menjawab tantangan seperti itu.

Persoalan Kota

Para urbanis sekarang justru menjadi persoalan baru bagi kota-kota besar. Persoalan yang dihadapi kota-kota besar itu antara lain meningkatnya angka pengangguran, permukiman kumuh, kesemrawutan lalu-lintas, dan seterusnya.

Apabila kota besar mengalami lonjakan jumlah penduduk yang begitu pesat, tidak heran jika persoalan-persoalan yang dihadapi makin serius.

Adapun persoalan-persoalan yang harus ditangani adalah penyediaan transpor-tasi, penyediaan lahan kerja, menekan kepadatan pendu­duk, pemenuhan fasilitas pendudukmasalah , banjir, dan yang tidak kalah penting adalah perubahan sosial yang sangat cepat.

Banyak urbanis yang tidak mempunyai keterampilan yang memadai, sehingga cenderung bekerja seadanya. Hampir pasti mereka tak bisa hidup dengan layak. Kemis­kinan kota makin meningkat, dan lebih parah lagi mereka hidup di lahan-lahan yang terlarang untuk ditinggali.

Mi­salnya bantaran sungai, bantaran rel kereta, dan bawah jem­batan. Sebagian lagi membuat permukiman ku­muh di tengah kota, di dekat tempat pembuangan akhir (TPA), di kawasan pesisir, dan seterusnya.
Kota-kota besar menjadi over load, karena lahan yang ada makin sempit, sementara jumlah penduduk justru makin meningkat.

Pemerintah Kota pun menghadapi dilema lain, misalnya para urbanis memiliki attitude yang kurang baik, akibat latar belakang pendidikan yang minim. Mereka tidak bisa mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan, misalnya membuang sampah pada tempat yang ditentukan.

Begitu kompleks persoalan yang dihadapi kota, sehingga penyediaan transportasi massal juga sangat terbatas, belum se­ban­ding dengan jumlah penduduk­nya.

Perubahan sosial di kota-kota besar juga akan diiringi dengan pola perilaku sosial masyarakatnya. Pola perilaku atas perubahan sosial ini muncul, karena penduduk kota makin pandai dalam membaca, menganalisis, dan memprediksi situasi, informasi, budaya, maupun politik.

Begitu cepat dan tanggap penduduk kota dalam menyikapi dan menyiasati suatu kebijakan yang sekiranya merugikan mereka. Belum lagi isu reformasi dan HAM, yang sering dimanfaat­kannya menjadi senjata ampuh untuk meredam kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat.

Kemajuan teknologi dan informasi menjadi pemicu makin kritisnya masyarakat perkotaan. Piort Sztompka, dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial (2007) mengatakan, perilaku masyarakat kota sudah mendunia, yaitu meng­alami globalisasi kultur.

Se­demikian hebat penetrasi kultural Barat telah mampu mempe­nga­ruhi penduduk perkotaan di dunia, yang akhirnya membuat mereka menjadi cerdas, kritis, dan mengetahui persoalan hukum. Namun mereka juga menjadi som­bong. Sifat guyup masyarakat menjadi pudar.

Fenomena urbanisasi seka­rang ini merambah ke tingkat ranch yang lebih tinggi. Sebagai contoh aspek pendidikan (biasa­nya pada perguruan tinggi), jabat­an publik, penugasan pada salah satu institusi, bisnis, pernikahan dengan warga setempat, dan lain-lain.

Demikian akhirnya, urbanisasi dapat memengaruhi morfologi (bentuk) kota secara komprehensif, yang memiliki ciri khas, baik fisik kota maupun di­na­mika penduduknya.

Dengan de­mikian, diharapkan para penguasa setempat bersifat lebih arif dan bijaksana dalam menangani persoalan ini, baik dalam penanganan kaum urbanis itu sendiri, maupun perencanaan fisik dan fasilitas perkotaannya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008