Tampilkan postingan dengan label pakar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pakar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Maret 2011

Menuju Ruang Kota yang Merakyat

Oleh: Dr. Rudiyanto Soesilo (UNIKA Soegijapranata)

GEBRAKAN Wali Kota Semarang Soemarmo HS terhadap salah satu ruang kota, yaitu menata Jalan Pahlawan merupakan manifestasi kejelian menata kota dan memimpin warganya, apapun motivasinya. Kenapa demikian? Penataan Jalan Pahlawan berikut bulevarnya mengandung dua makna besar, yaitu kepedulian terhadap keindahan kota, sekaligus terhadap rakyat secara keseluruhan sebagai warganya.

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kota Semarang sebagai salah satu elemennya, tak dapat dimungkiri adanya realitas urban, kepadatan penduduk pada ’’area-belakang’’ perkotaan, kepadatan kampung-kampung, keterhimpitan ruang hidup, dan kesesakan keseharian. Realitas ini membuat kota-kota di negara sedang berkembang lebih membutuhkan ruang-ruang kota —open public space— yang mampu menjadi katup pelepas dari himpitan keseharian tersebut.

Dalam suatu negara sedang berkembang, realitas masyarakat terbelah menjadi dua yakni kaum berpunya dan rakyat kebanyakan. Kubu berpunya bisa menciptakan ruang-ruang kebersamaan sendiri, mulai kompleks real estate dengan landscaping dan gardening lengkap dengan tingkat privasi dan tingkat keamanannya dengan one gate only-nya, club house hingga berbagai fasilitas publik lainnya. Mal beserta atrium dan plazanya yang luas, jembar, dan tinggi hingga mampu memenuhi kebutuhan akan ruang kebersamaan: ruang publik urban bagi mereka.

Problematika justru muncul untuk memenuhi kebutuhan ruang kebersamaan bagi rakyat kebanyakan, yang tak mampu membayar developer untuk menyediakan fasilitas itu. Berangkat dari sini, peran Wali Kota beserta jajarannya menjadi penting bagi warga kebanyakan, karena populasi kelompok ini justru sangat besar, dengan tingkat kebutuhan ruang kota yang sangat urgen pula.

Keterhimpitan dan kesesakan spasial dapat memicu perilaku destruktif, dan sebaliknya kelegaan, sore-sore bisa mengajak keluarga jalan-jalan sore, justru merupakan rekreasi termurah dan bisa memacu produktivitas tinggi dan perilaku positif lainnya.
Ruang Egaliter Penciptaan ruang kota untuk rakyat, seperti diterapkan di Jalan Pahlawan, dapat memenuhi kebutuhan kelegaan, ke-jembar-an, ruang kota yang dapat melepaskan rakyat dari keterhimpitan dan kesesakan keseharian. Selain itu, ikut membahagiakan pengguna jalan dengan view yang melegakan karena ke-jembar-annya itu. Tentunya dengan tidak melupakan rakyat yang lain lewat penataan PKL pada zona yang tepat.

Kelegaan ini sangat diperlukan pada poros jalan kebanggaan kota Semarang tersebut, yang klimaksnya adalah Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal yang kini juga terlihat makin berwibawa, sembada dengan maknanya, sementara Simpanglima telah terpagari oleh vegetasi yang tinggi dan rapat sehingga kehilangan kesan ke-jembar-an tadi, terutama bagi pemakai jalan
Kalau kita melihat ke berbagai penanganan ruang terbuka kota, kita lihat pengalaman Taman Monas di Jakarta yang diberi pagar agar tidak terjadi berbagai hal-hal yang tidak diinginkan. Salah kelola dari ruang publik kota hingga malah menjadi ruang yang rawan bagi penduduk kota, hendaknya tidak terjadi. Masyarakat dari berbagai kalangan seyogianya terwadahi dalam ruang kota itu, rakyat tidak teralienasi, masyarakat menjadi benar-benar rileks berbaur di tempat itu, zona untuk berdagang dan berjualan terpisah walau mudah diakses dari zona kebersamaan.

Satu demi satu ruang kota Semarang dapat ditaklukkan, dikembalikan sebagai ruang ajang bersosialisasi para warga kota, ruang egaliter yang penuh kesetaraan.

Upaya itu selaras dengan semboyan Semarang Setara, bahkan mampu menjadi daya tarik kota untuk menarik wisatawan nusantara ataupun wisatawan mancanegara, karena ruang-ruang kota yang untuk rakyat berbaur dari berbagai kultur dan tingkatan, menjadikan semua kerasan. Sejatinya kota Semarang tidak kalah dari Paris yang punya ikon Champ-Elysee sebagai daya tarik suatu kota yang kemudian menjadi milik bersama warga dunia.

Sumber: Suara Merdeka

Read more.....

Senin, 07 Juni 2010

Bencana dan Tata Ruang

Prof. Sudharto P. Hadi
PADA Hari Lingkungan tahun ini kembali kita merenung tentang berbagai bencana yang melanda negeri ini. Banjir Sungai Citarum yang melanda Bandung Selatan serta Kota dan Kabupaten Karawang mengingatkan peristiwa serupa setahun lalu yang terjadi disepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo.

Pemicunya sama yakni kerusakan DAS. Sebanyak 78% dari 718.269 hektare luas total DAS Citarum merupakan hutan rakyat yang rusak karena berubah fungsi menjadi lahan pertanian semusim. Sementara itu dalam skala Pulau Jawa, lebih dari 80% atau 116 dari 141 DAS kondisinya memprihatinkan.

Kalau ditelusuri maka sumber bencana lingkungan adalah tata ruang yang amburadul dan tidak konsisten. Hal itu bisa dicermati dari dua sisi. Pertama; apakah dari awal memang pengalokasian ruang sesuai dengan kondisi lingkungan? Kedua; ketika sudah menjadi dokumen tata ruang apakah diimplementasikan sesuai dengan peruntukannya?



Umumnya tata ruang ditetapkan di belakang meja dan kurang melihat kondisi di lapangan. Penetapan peruntukan penggunaan ruang lebih banyak didasarkan atas kepentingan pertumbuhan ekonomi ketimbang pertimbangan sosial dan lingkungan.

Tata ruang yang menetapkan sebuah kawasan untuk industri misalnya sudah seharusnya dihitung benar daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Dua pertanyaan penting yang harus dijawab. Pertama; apakah lahan yang terbentang di kawasan tersebut mampu menopang kegiatan industri-industri yang akan menempati lokasi tersebut.

Kedua; apakah ketersediaan air yang selama ini untuk mensuplai kebutuhan air baku penduduk dan irigasi masih mencukupi untuk kebutuhan industri. Berkaitan dengan daya tampung lingkungan, harus dihitung kemampuan sungai untuk menampung buangan limbah kegiatan industri.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 15 mengamanatkan bahwa pemerintah dan pemda (provinsi, kota, dan kabupaten) wajib melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam penyusunan rencana tata ruangnya.
Kajian itu dimaksudkan untuk mengintegrasikan aspek lingkungan dalam pengambilan keputusan pada tahapan awal. Aspek lingkungan memandang bahwa tata ruang merupakan instrumen penting dalam kebijakan pembangunan. Bencana lingkungan seperti banjir, tanah longsor, abrasi, kekeringan yang terus menimpa negeri ini karena kegagalan penataan ruang.

Saat ini hampir semua pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota sedang merevisi tata ruangnya untuk diselaraskan dengan UU Nomor 26 Tahun 2007. Sayangnya penyusunan dilakukan terburu-buru karena hampir semua pemda menargetkan mengesahkanya tahun ini.

Penegakan Hukum

Kondisi ini membawa dua konsekuensi. Pertama; hampir bisa dipastikan tata ruang yang akan disahkan belum menjalankan amanat Undang Tata Ruang dan Lingkungan yakni memasukan aspek daya dukung, daya tampung, dan mengintegrasikan dengan KLHS.

Kedua; proses yang terburu-buru akan menegasikan peran serta masyarakat baik dalam arti keterwakilan ataupun muatan tata ruang yang seharusnya mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Terbatasnya peran serta masyarakat bisa kita lihat dari penolakan kelompok masyarakat di Kabupaten Pati atas draf tata ruang Provinsi Jawa Tengah (SM, 11/03/10).

Tentu kita perlu mencermati aspek kedua tata ruang yakni penegakan hukum. Ruang yang ditetapkan untuk peruntukan tertentu harus dikawal agar sesuai dengan yang direncanakan. Luasan hutan di DAS Citarum yang hanya 1,4% jelas melampaui daya dukung lingkungan. Tingginya sedimentasi, tingkat pencemaran yang terjadi di lebih dari 70% sungai di Jawa Tengah menjadi indikasi beban yang melebihi daya tampung. Semuanya terjadi karena lemahnya penegakan hukum. Pelanggaran tata ruang sepertinya sudah lumrah terjadi di berbagai tempat.

Ruang yang sebenarnya direncanakan terbuka hijau dengan mudah berubah untuk peruntukan komersial. Contohnya Rencana Induk Kota (RIK) Semarang 1975-2000 menetapkan Mijen untuk perkebunan, peternakan, dan pertanian. Pertengahan 1980-an, belasan pengembang mulai menyulap hutan di daerah perluasan tersebut menjadi perumahan.

Alih fungsi lahan tersebut mengakibatkan daya serap tanah terhadap air terbatas. Air hujan menjadi run off (air larian) yang menggelontor ke Sungai Bringin dan mengakibatkan banjir di Mangunhardjo dan Mangkang Wetan, Kecamatan Tugu. Anehnya perubahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya disahkan dengan Perda Rencana Tata Ruang 1995-2000. (10)

Sumber Asli : Suara Merdeka

Read more.....

Kamis, 10 Desember 2009

Menyelamatkan Kota

Kompas - Memperingati Hari Habitat Dunia, Sekjen PBB Ban Ki-moon berpesan, ”Perencanaan kota hanya terwujud bila ada tata pemerintahan yang baik....”

Tanpa tata pemerintahan yang baik, tanpa pelibatan aktif masyarakat miskin perkotaan dalam pengambilan keputusan yang terkait nasib mereka, dan tanpa penanggulangan korupsi, perencanaan perkotaan di segenap pelosok Tanah Air tidak akan banyak manfaatnya.

Vandalisme perencanaan

Beberapa tahun silam, seorang unsur pimpinan Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia mengemukakan, lebih dari 80 persen rencana kota di Indonesia tidak terlaksana seperti yang telah ditetapkan. Majalah The Economist (September 2009) mengangkat soal vandalisme ekonomi, mengakibatkan resesi. Maka untuk disiplin ilmu dan profesi perencanaan kota, sebenarnya banyak terjadi vandalisme perencanaan perkotaan karena banyak penyimpangan dan pelanggaran tata ruang perkotaan, tanpa sanksi bagi pelanggarnya.



Kini kita merasakan akibatnya. Banyak taman kota, tempat bermain, dan lapangan olahraga yang menghilang, disulap jadi bangunan komersial. Banyak bangunan kuno bersejarah diganti bangunan modern dan post-modern yang tak berjiwa. Kawasan kumuh dan liar pun merebak tanpa kendali. Penduduk miskin perkotaan kian dipinggirkan.
Selain itu, macetnya lalu lintas karena rencana pembangunan transportasi massal terkendala berbagai faktor, termasuk lobi kuat para produsen mobil. Pertumbuhan kota yang kian melebar, melahap tanah-tanah subur di sekitarnya, menyulitkan penyediaan infrastrukturnya.

Contoh jelek

Contoh paling jelek dipertontonkan kota Jakarta, satu-satunya megalopolis ibu kota negara. Coba tengok, makam di tengah kota berubah menjadi apartemen mewah menjulang tinggi. Biasanya pemandangan yang didambakan adalah laut, gunung, taman, dan kolam. Namun, di apartemen itu tampaknya kuburan menjadi pemandangan utama.

Lebih mengherankan lagi, makam menjadi kantor pemerintah. Di desa-desa, kuburan di pinggir dusun sungguh dihormati, bahkan amat sangat disegani. Oleh masyarakat setempat, makam desa disebut setana (istana). Mana ada orang desa berani mengubah fungsi setana menjadi perumahan atau perkantoran. Jangan lupa, kuburan termasuk kategori ruang terbuka hijau yang wajib dilestarikan.

UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan, di perkotaan wajib tersedia 30 persen ruang terbuka hijau, terdiri dari 20 persen ruang terbuka hijau publik dan 10 persen ruang terbuka hijau privat.

Berapa total luas ruang terbuka hijau Jakarta? Kabarnya tinggal 9,8 persen, amat jauh dari ketentuan UU.

Bagaimana Jakarta menanggulangi banjir tiap musim hujan jika ruang terbuka hijau begitu minim? Belum lagi fenomena perubahan iklim yang berdampak naiknya permukaan air laut.

Contoh jelek lain yang amat merisaukan adalah sistem transportasi umum. Tahun 1970-an, Bangkok dikenal sebagai kota paling macet. Predikat itu rupanya sudah pindah ke Jakarta.

Semua orang tahu, alternatif terbaik untuk mengatasi kemacetan lalu lintas kota Jakarta adalah mass rapid transit di bawah atau di atas tanah, bukan mengambil lahan seperti model trans Jakarta.

Tidak kalah mengerikan, dosa kembar: kegilaan membangun segala hal yang gigantik di pusat kota yang sudah sumpek dan pemekaran kota tanpa kendali ”mencaplok” daerah belakang menjadi kawasan konurbasi.

Rencana penyelamatan

Ada dua aspek besar untuk menyelamatkan kota.

Pertama, aspek perencanaan prosedural, menyangkut tata pemerintahan yang baik, proses pengambilan keputusan yang demokratis, dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.

Kedua, aspek perencanaan substansial yang lebih realistis, pragmatis, tetapi juga visioner, berwawasan jangka panjang.

Untuk itu, kita perlu: pertama, mencegah kecenderungan bunuh diri ekologis perkotaan, dengan menjaga eksistensi ruang terbuka hijau yang tersisa, menambah ruang terbuka hijau yang baru, dan menerapkan prinsip kota hijau.

Kedua, meneguhkan tekad membangun sistem transportasi publik terpadu, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, yang akan amat menghemat energi dan bisa menangkal dampak negatif emisi karbon dan gas rumah kaca.

Ketiga, mengupayakan keseimbangan dinamis antara kota dan desa, menggalakkan pembangunan kota-kota baru mandiri, menciptakan kota-kota yang kompak berskala manusia.

Keempat, mengurangi kesenjangan ekonomi antarwarga kota yang berpotensi memicu kecemburuan sosial, melalui perencanaan komunitas yang mampu menggairahkan solidaritas sosial, mencegah gejala eksklusivisme.

Kelima, menggalakkan aneka program yang memberi peluang untuk distribusi sumber daya alam, manusia (kependudukan), modal/finansial, kelembagaan (institusional), dan teknologi secara merata dan berimbang.

Aneka program transmigrasi dengan prinsip daerah membangun (bukan pembangunan daerah) dan yang belakangan ramai dibicarakan: perpindahan penduduk karena dampak perubahan iklim (climigration) kiranya layak dijadikan salah satu landasan pemikiran guna penyelamatan kota-kota kita pada masa depan.

Sumber : Kompas

Read more.....

Rabu, 09 September 2009

Prof Eko menilai sudah terlalu padat Videotron jangan di Simpanglima

MUGASSARI - Pembangunan tiga titik videotron yang tersebar di sekitar Simpanglima, dinilai akan menambah kesemrawutan kawasan tersebut. Pakar tata kota Undip Prof Eko Budihardjo mengungkapkan, dengan ’rimbunnya’ kawasan Simpanglima oleh baliho, menambah kesemrawutan pusat kota Semarang itu.

’’Kenapa semua papan reklame harus berpusat dan dibuat di sekitar Simpanglima. Mestinya jangan di pusat kota saja, tapi disebar di daerah lain sehingga kosentrasi akan terbagi di daerah lain,’’ jelas Prof Eko saat dihubungi melalui ponselnya, Senin (7/9) kemarin.

Lebih lanjut mantan Rektor Undip itu mencontohkan, kawasan Semarang atas seperti Tembalang dan Gunungpati, merupakan daerah pusat keramaian yang juga perlu dikembangkan.


’’Saya berharap suasana serba rimbun, nan hijau dengan banyaknya pepohonan di kawasan Simpanglima tetap dijaga. Jangan malah dibuat rimbun dengan baliho dan pemasangan papan iklan dimana- mana,’’ tambahnya.

Pembangunan videotron di kawasan Simpanglima, tambah dia, hendaknya memperhatikan aspek-aspek lain sehingga tidak berdampak yang dapat merugikan masyarakat. ’’Jika videotron diputar, maka dapat menyebabkan kecelakaan karena para pengendara terpecah perhatiannya melihat tayangan vidiotron,” jelas Prof Eko.

Selain itu, lanjutnya, pola pembangunan yang dilakukan, jangan sampai menambah kesemrawutan Simpanglima. “Pembangunan videotron di Simpanglima, harusnya cukup satu dan bukan tiga seperti yang saat ini sedang dibangun,’’ tambahnya.

Diakui Prof Eko, pembangungan baliho, papan reklame dan videotron berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. Namun, tambahnya lagi, pembangunan hendaknya tidak dilakukan di kawasan simpanglima. ’’Di tempat itu saat ini sudah terlalu padat jangan ditambahi dengan videotron akan tambah sumpek,’’ tandas pakar tata kota itu.

Sumpek
Sementara itu, anggota DPRD Kota Semarang Hanik Khoiru Solikah, meminta agar Pemkot Semarang benar-benar melakukan pembenahan reklame di kawasan Simpanglima.

Sebab, sekarang ini keberadaan reklame di pusat kota tersebut sudah tidak lagi memperhatikan estetika dan keindahan kota. “Saya saja merasa kawasan Simpanglima begitu sumpek dengan keberadaan reklame yang sudah seperti hutan. Tidak hanya itu, banyaknya reklame di Simpanglima justru mengurangi konsentrasi pengemudi kendaraan. Padahal, bundaran Simpanglima terhitung padat dan krodit,” beber wakil rakyat asal PDI Perjuangan ini.

Dia justru tidak mengerti dengan sikap Pemkot yang membolehkan pendirian videotron yang jumlahnya lebih dari satu unit. Bahkan, Hanik menduga hal tersebut sarat dengan kepentingan pihak tertentu. Karena itu, dia berharap agar pemkot segera meninjau ulang pendirian videotron, sekaligus mengkaji keberadaan reklame yang ada di kawasan Simpanglima. Baik dari tata letak, maupun ukurannya.

“Jangan sampai gara-gara mementingkan pendapatan asli daerah (PAD), pemkot lantas seenaknya saja memberikan izin pendirian reklame. Bagaimana pun, perlu pengkajian ulang mengenai reklame yang ada. Termasuk, pendirian videotron,” tegas Hanik.

Sumber : Wawasan
Gambar: Simpanglima

Read more.....

Kamis, 07 Mei 2009

Tata Ruang Kota Perlu Direvisi (Atasi Rob di Semarang )

SEMARANG SELATAN- Upaya mengatasi banjir rob yang melanda wilayah Semarang bagian utara harus dilakukan secara menyeluruh, baik yang bersifat sipil teknis, vegetasi, maupun kelembagaan sosial.

Selain itu, perlu dilengkapi dengan payung hukum yang berpihak pada lingkungan, seperti penetapan ruang terbuka di daerah atas dan bawah. Pakar lingkungan Undip Prof Sudharto P Hadi MES PhD mengatakan, kebijakan ruang terbuka itu sudah tertuang dalam penataan ruang hingga 2010.

’’Kini saat yang tepat untuk melakukan penataan kembali, sehubungan dengan terbitnya UU Penataan Ruang No 26 tahun 2007. Perlu ditata kembali seberapa besar ruang terbuka yang dibutuhkan di daerah atas itu,’’ ungkapnya, Selasa (5/5).

Kaidahnya dalam UU No 26/2007, kata dia, sebanyak 30% itu merupakan ruang terbuka hijau, 20 % ruang terbuka hijau publik, dan 10% ruang terbuka privat.
Ia menilai kini waktu yang tepat untuk melakukan pemetaan guna menetapkan mana saja yang harus dipelihara, daerah yang tidak boleh dibangun dan boleh dibangun. ’’Ya, perlu ada revisi penataan ruang, dan sekarang sedang berjalan di Pemkot,’’ terangnya.

Kian Parah

Dia mengatakan, idealnya Semarang bagian utara dibiarkan sebagai ruang terbuka. Sebab, sebelum tahun 1990-an, ketika masih banyak tambak, di sana jarang terjadi rob. Artinya, ruang-ruang terbuka itu mampu menyerap air yang lewat.

’’Sekarang sudah tidak ada lagi. Untuk itu, saya menilai ruang-ruang yang masih terbuka itu sebaiknya tetap dijadikan ruang terbuka sebagai tempat penyerapan air pasang.’’

Terpisah, Karman, Kepala Operasional LBH Semarang yang juga anggota Walhi mengatakan, kerusakan pesisir utara Jawa Tengah kian parah. Berdasarkan hasil monitoringnya tahun 2007-2008, bencana banjir dan rob dari tahun ke tahun terus berulang, bahkan cenderung meningkat.

Bahkan, ada warga yang terpaksa mengungsi karena rumahnya rusak parah akibat rob. Di kawasan Kota Lama, rob telah masuk ke wilayah permukiman, seperti Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah dan Kelurahan Kebonagung, Semarang Timur. ’’Di Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara sekitar 20 hektare, dan sejumlah rumah terkena dampak rob.’’

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, harus ditindaklanjuti dengan penataan ruang dan gerakan reboisasi di kawasan pesisir. Sebab, selama ini pemerintah dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan rencana umum tata ruang kota (RUTRK).

Ia mencontohkan, ketika ada investor masuk, daerah yang sebelumnya bukan kawasan industri pun bisa dijadikan kawasan industri. Hal itu dinilainya merupakan salah satu penyebab kerusakan pesisir. ”Untuk itu, pemerintah juga harus konsisten dengan tata ruang itu. Jika ada yang melanggar harus ditindak tegas,” ujarnya.

Sementara itu, berdasarkan pantauan BMG Maritim, rob di Semarang hingga kemarin masih cukup tinggi, yakni berkisar antara 1,3 meter hingga 1,4 meter. Namun, waktunya bergeser dari jam 13:00 menjadi pukul 14:00-15:00. Puncak rob diperkirakan terjadi hingga pukul 20:00 dan kemudian surut.

’’Rob itu proses gravitasi bumi dan matahari. Tinggi air pasang maksimum pada siang hari terjadi di antara bulan April, Mei dan Juni,’’ terang Atmaji Putro, prakirawan BMG Maritim.

Sekda Soemarmo HS menginstruksikan elemen pemerintah di bawahnya untuk tanggap terhadap bencana rob. Siklus alam ini masih mengancam. Pasalnya air pasang semakin meninggi saat pertengahan bulan atau bulan purnama. ’’Kami meminta kewaspadaan ditingkatkan,’’ katanya.

Untuk kecamatan dan kelurahan, sebagai elemen pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat, diminta mempersiapkan bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Di antaranya tempat evakuasi atau mengungsi bila banjir rob meninggi. Hal itu bisa di masjid dan balai RW/kelurahan yang tempatnya aman dari terjangan banjir. Sementara itu stok bantuan bahan makanan juga diminta untuk dicukupi. Petugas Dinas Kesehatan harus memantau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk membuka posko darurat.

Sumber : Suara Merdeka
Berita : Rob Genangi......

Read more.....

Rabu, 04 Maret 2009

Geger Benteng Vastenburg


Oleh Eko Budihardjo
Agar bisa diperoleh karya cipta arsitektur yang menjadi landmark atau tengeran sebagai jati diri sejarah Kota Surakarta yang baru, kiranya akan lebih baik bila diselenggarakan Sayembara Perancangan Kawasan Benteng Vastenburg.

DALAM Dialog Publik tentang Benteng Vastenburg yang diselenggarakan di Balai Kota Surakarta atas prakarsa Wali Kota Joko Wi beberapa waktu lalu, tampak ada dua kubu yang cenderung berseberangan pendapat secara frontal. Kubu pertama adalah yang menyetujui pembangunan mal dan hotel bertingkat tiga belas (konon kemudian lantas turun menjadi 9 lantai).


Adapun kubu kedua adalah yang menolak keras pembangunan mal dan hotel. Mereka ini menuntut agar Benteng Vastenburg direkonstruksi persis seperti bentuk semula. Bahkan dengan amat keras meminta supaya benteng kuno yang didirikan oleh Belanda pada 1745 itu dikembalikan menjadi milik negara. Kalau perlu lapangan terbuka di dalam benteng dibiarkan saja tetap sebagai taman. Terasa gonjang-ganjing dan geger pro dan kontra ini bisa berkepanjangan.

Saya tidak memihak salah satu dari kedua kubu yang sama-sama ekstrem itu. Orang bijak berpesan arif: Virtus est in medio. Maknanya, segala sesuatu yang baik ada di tengah-tengah. Ekstrem kanan jelek, ekstrem kiri berbahaya. Poros tengah menjadi salah satu alternatif jalan keluar dengan segala kelebihan dan kekurangan. Jika alternatif pertama berupa bangunan bertingkat tinggi, baik 13 lantai maupun 9 lantai, yang dipilih untuk dilaksanakan, saya dan segenap arsitek yang peduli bangunan kuno amat sangat berkeberatan.

Skala bangunan tinggi komersial itu pasti akan mengerdilkan benteng bersejarah yang tidak terlalu tinggi dan notabene masih berdiri kokoh, kendati kurang terawat. Nanti hotel itu akan tampak seperti sumpit yang menjulang dari dalam benteng (baca tulisan saya tentang ”Sindrom Sumpit” Perkotaan, Kompas, 28 Februari 2009). Sangat tidak menciptakan harmoni dan menunjukkan sikap arogan, tidak menghargai keberadaan bangunan kuno bersejarah yang termasuk kategori cagar budaya.

Sebaliknya, jika yang dipilih alternatif kedua, yaitu membeli kembali benteng yang sudah dimiliki pihak swasta melalui proses ruilslag atau tukar guling, pasti Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta tidak akan kuat menyokong dana. Konon diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar 600 miliar rupiah.
Belum lagi kalau harus menanggung biaya rekonstruksi dan biaya pemeliharaan selanjutnya.

Tuntutan dari kubu kedua, yang muncul dari kecintaan luar biasa pada monumen jatidiri sejarah Kota Surakarta memang bisa dipahami. Namun tidak realistis, bahkan nyaris utopis. Sangat berat untuk tidak mengatakan mustahil, mengimplementasikannya. Juga terasa tidak adil jika Pemkot atau Wali Kota Surakarta harus menanggung beban atas proses tukar guling yang sudah berlangsung beberapa dekade sebelumnya, oleh pihak-pihak di luar kompetensi dirinya.

Alternatif Penyelamatan

Manakala alternatif dari kubu pertama dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan alternatif dari kubu kedua dinilai tidak rasional, lantas bagaimana alternatif penyelamatan Benteng Vastenburg yang bisa disodorkan sebagai jalan keluar?

Terus terang, kurang lebih dua puluh tahun silam, saya bersama alamarhum Prof Sidharta pernah diminta merancang kawasan Benteng Vastenburg dengan prinsip pemberian fungsi baru untuk kawasan bersejarah dan bangunan tua. Istilah gagahnya ”new function for historic district and old building”. Adapula, yang menggunakan terminologi lebih singkat dan bernas: ”Adaptive Reuse”.
Contoh-contoh dari mancanegara sudah cukup banyak.

Penjara kuno di kawasan kota tua ”The Rocks” di Sydney yang dimanfaatkan untuk fungsi baru berupa pertokoan, pub, kafe, restoran, pusat hiburan, dan permainan kanak-kanak. Bekas istana pangeran atau kastil di London yang berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan.

Bahkan ada contoh perubahan fungsi yang amat ekstrem di Istanbul, yaitu Masjid Haghia (Aya) Sophia. Dulu bangunan itu adalah gereja dan sat ini telah berubah lagi menjadi museum. Jadi fungsi bisa berubah-ubah, tetapi bangunan kuno tetap bertahan.

Alternatif yang kami usulkan sekitar 1980-an untuk fungsi baru di lapangan dalam Benteng Vastenburg berupa serangkaian komposisi bangunan-bangunan bertingkat dua dan tiga. Fungsinya beraneka ragam.

Ada toko-toko cendera mata; kios-kios untuk jual-beli keris, tombak, pedang kuno; tempat promosi dan berjualan batik atau lurik, berikut selop sampai mondolan; panggung pergelaran seni-budaya; pusat informasi wisata; gardu-gardu istirahat terbuka atau open air cafe; dan lain-lain.

Diusulkan juga agar ada akses naik ke atas dinding benteng, agar pengunjung bisa bebas menikmati pemandangan di dalam maupun ke luar benteng. View ke arah keraton Kasunanan akan menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi jika meriam kuno yang ditempatkan secara amat strategis mengarah ke keraton itu dipasang kembali.

Betapa bangga kita di hadapan anak-cucu, mengisahkan kehebatan persenjataan Belanda dengan meriam dan kanon yang modern itu terbukti tidak berdaya melumpuhkan para pahlawan kita, yang hanya bersenjatakan bambu runcing.

Sayang seribu sayang, usulan kami yang mencoba untuk sekaligus menyelamatkan atau menjaga kelestarian benteng dan pada saat yang sama juga menghidupkan kegiatan ekonomi kreatif rakyat bernuansa budaya lokal, tidak diapresiasi oleh pemberi tugas. Sang pengusaha terus-menerus meminta supaya bangunan-bangunannya dipadatkan, dirapatkan, dijejal-jejalkan.

Kekesalan dan kesebalan memuncak ketika muncul perrmintaan agar dinding benteng yang kokoh selebar dua sampai tiga meter itu disisakan satu meter saja. Maksudnya untuk bisa lebih banyak lagi menyediakan kios-kios pertokoan. Hubungan kami dengan pengusaha itu pun lantas putus, karena tidak tercapai kata sepakat. Dan kita mesti sama-sama maklum, karena memang ”mindset” masing-masing sejak awal sudah beda.

Sayembara Perancangan

Dalam Economic Benefits for Preserving Old Buildings (1995) dikemukakan bangunan-bangunan kuno bersejarah yang sering terabaikan itu memiliki banyak potensi untuk didayagunakan agar bisa menghasilkan keuntungan ekonomi.

Pertama, lokasinya yang amat strategis, mudah dicapai dari segenap penjuru kota. Kedua, jaringan prasarana atau utilitas publiknya sudah tersedia, misalnya listrik, air bersih, telepon, dan pembuangan air kotor. Ketiga, konstruksi bangunannya biasanya masih kokoh, kuat, tahan untuk jangka waktu lama.

Keempat, peluang untuk diberi fungsi baru sesuai tuntutan perkembangan zaman, masih terbuka lebar. Kelima, perkembangan teknologi mutakhir yang canggih memungkinkan para arsitek menggugah imajinasi sebebas mungkin menciptakan karya ”arsitektur cap jempol” atau ”signature architecture” yang mengesankan.

Kelima butir potensi itu seyogianya menjadi landasan berpijak untuk mengatasi gonjang-ganjing tentang nasib benteng itu. Agar bisa diperoleh karya cipta arsitektur yang menjadi landmark atau tengeran sebagai jatidiri sejarah Kota Surakarta yang baru, kiranya akan lebih baik bila diselenggarakan Sayembara Perancangan Kawasan Benteng Vastenburg.

Sayembara tersebut sedapat mungkin berskala nasional, atau bahkan kalau perlu internasional, mengingat Kota Surakarta sudah masuk dalam jejaring global sebagai kota pusaka (heritage city) bersejarah.

Tantangan ini mesti dijawab dengan gegap gempita oleh para arsitek, seniman, dan budayawan, mengingat pesan bahwa ”Architecture is archeology of the future”. Generasi masa kini mesti bisa menciptakan karya-karya arsitektur baru, modern dan pascamodern, yang separo abad kemudian layak ditetapkan sebagai karya arkeologi atau cagar budaya untuk juga ikut dilestarikan. Alangkah indahnya. (35)

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Selasa, 17 Februari 2009

Manajemen Ruang Publik Simpanglima

Oleh Edy Darmawan

SIMPANGLIMA boleh dikatakan menjadi tetenger (landmark) Kota Semarang. Ia sudah menjadi magnet Kota Semarang —sebagai ibu kota Jawa Tengah— yang menyedot potensi kegiatan kawasan lain. Sayang berbagai elemen seperti area pedestrian telah berubah fungsi menjadi ruang pedagang kakilima (PKL). Ruang untuk pejalan kaki dan infrastruktur hampir tidak berfungsi dengan baik. Bahkan tidak diperbarui sejak dibangun. Melihat perkembangan kegiatan masyarakat, Simpanglima seyogyanya tetap dipertahankan sebagai ruang publik dengan manajemen yang baik.

Kegiatan yang diselenggarakan seharusnya bersifat publik, terbuka untuk umum. Selain itu harus dikurangi aktivitas bersifat privat dan formal seperti upacara-upacara. Kita tahu pada saat semacam itu area ini ditutup untuk umum.


Karena itu kegiatan semacam itu perlu dicarikan tempat lebih tepat. Adapun ruang-ruang lain di sekitar Simpanglima sebagian besar berupa bangunan publik semacam hotel, mal, masjid, bioskop, kafe dan restoran.

Pengelolaan Ruang

Ada aspek-aspek penting dalam manajemen ruang publik yang pernah diterapkan di Rockefeller Center di USA (1994), yakni memperhatikan pelayanan kota dalam perawatan (maintenance), keamanan (security) dan manajemen transportasi (transportation management).

Selain itu selalu ada tindakan meningkatkan desain ruang ruang publik yang inovatif dan terintegrasi satu dengan yang lain seperti pelebaran trotoar, penyediaan perabot aksesori kota, lansekap atau kios kios atau ruang PKL yang berfungsi baik.

Untuk mengelola Simpanglima perlu ada penanggung jawab yang memadai secara total dan dapat melibatkan peranan masyarakat, pemerintah kota, dan swasta (stakeholder). Untuk mengengembangkan perlu dipikirkan desain koridor koridor jalan yang menyatu ke arah bundaran Simpanglima. Koridor jalan tersebut dapat menciptakan pemandangan kota (vista) yang baik dan akan meningkatkan kualitas estetika.

Kita tahu masyarakat kota lebih menyenangi tempat yang memiliki fungsi campuran. Dan Simpanglima cenderung berkembang ke arah itu, yakni berupa masjid, mal, pertokoan, kantor, hiburan, sekolah, dan lapangan hijau.

Ini menyebabkan seseorang dapat melakukan berbagai kegiatan di satu lokasi sehingga dengan manajemen ruang publik yang baik akan meningkatkan ruang kota yang hidup (lifely). Adapun keramahan area pedestrian (citywalk) juga perlu mendapat perhatian karena dapat membantu pengunjung ke berbagai tempat kegiatan. Hal semacam ini akan meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih baik.

Keberadaan bangunan bertingkat di seputar Simpanglima telah menciptakan ruang publik ini memiliki keterlingkupan (enclosure) yang semakin erat dan menciptakan kesan atau citra skala ruang yang manusiawi. Akibatnya ruang terbuka ini akan selalu mengundang masyarakat untuk berkumpul melakukan berbagai aktivitas.

Jika kita perhatikan dari peta dua demensi, Simpanglima akan menjadi titik pusat bertemu koridor-koridor jalan di sekitarnya (rendezvous point). Di titik ini akan lebih baik jika ditempatkan suatu elemen bersekala kota yang dapat mencerminkan citra atau identitas Kota Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah.

Dalam setiap perubahan ruang, menempatkan elemen-elemen kota atau membangun bangunan publik kota seyogyanya memperhatikan tata ruang kota. Atau jika ingin menentukan lokasi pembangunan, yang perlu diperhatikan adalah Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK). Karena itu jika hendak membangun Simpanglima seharusnya dilihat Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Apakah sudah sesuai dengan blok-blok peruntukan? Apakah sesuai pula dengan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)? Hal tersebut perlu diperhatikan agar perancangan pembangunannya terintegrasi satu dengan yang lain secara sinergis.

Yang menjadi pertanyaan apakah Rencana Tata Ruang yang dibuat telah menjadi peraturan daerah? Pertanyaan ini penting, karena tanpa ini Tata Ruang tersebut belum valid.

Paling tidak yang bisa dijadikan landasan pegangan adalah penerbitan Surat Keputusan Wali Kota, meskipun posisinya tidak sekuat peraturan daerah. Masalah ini kadang kadang dapat menjadi hambatan atau bahkan peluang yang berbeda dari perencanaan yang telah dibuat. Dalam perencanaan dapat berorientasi pada keadaan yang berkembang (trend oriented planning) atau berorientasi pada target (target oriented planning). Namun demikian mengikuti perencanaan yang sudah ada akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomer 26 Tahun 2007 memang perlu rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan nonhijau. Juga penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pertumbuhan wilayah.

Paru-paru Kota

Dipertegas oleh Pasal 29, proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Adapun proporsi ruang terbuka hijau publik sedikitnya 20% dari wilayah kota. Ini berfungsi sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, transit, ekonomi di sektor formal dan informal, dan berfungsi sebagai paru paru kota.

Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat banyak dengan berbagai tingkat kehidupan sosial ekonomi dan etnik, pendidikan yang berlainan, perbedaan umur, dan motivasi atau tingkat kepentingan yang bervariasi.

Secara esensial ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan agar manajemen ruang publik memiliki arti (meaningful) bagi masyarakat secara individual maupun kelompok, yakni tanggap terhadap semua keinginan pengguna dan dapat mengakomodir kegiatan mereka (responsive) serta dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa mengenal diskriminasi. (35)

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Rabu, 28 Januari 2009

Mengurai Kemelut Pabrik Semen

Oleh Sudharto P Hadi

Mereka yang terkena dampak buruk tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup oleh sebagian besar masyarakat.

PERISTIWA penyanderaan 13 anggota Tim Proyek PT Semen Gresik (PT SG) oleh warga Kedungmulyo, 21 Januari lalu tampaknya merupakan ekspresi konflik yang paling panas yang pernah terjadi selama ini. Percikan-percikan konflik vertikal dan horizontal terus muncul ke permukaan sejak rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati itu digulirkan.

Dalam penyanderaan tersebut, masing-masing pihak memiliki argumen sendiri. PT SG berpegangan kepada keputusan kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang telah ditandatangani 31 Desember 2008. Warga masyarakat pun berpatokan kepada pernyataan gubernur pada pertemuan di Kantor Kesbanglimas yang akan menerjukan tim independen ke lapangan. Mengapa konflik terus beruntun dan masyarakat gampang tersulut?


Sarat Konflik

Sebagaimana saya tulis di harian ini 8 November 2008, bahwa rencana pendirian pabrik semen di wilayah Sukolilo, Pati, memicu timbulnya konflik, bukan hanya antara kelompok masyarakat dengan pemprakarsa proyek dan pemerintah, melainkan di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada tiga sumber konflik. Pertama kekhawatiran masyarakat akan dampak lingkungan yang mengancam perikehidupan mereka.

Kedua, telah terjadi alih pemilikan lahan sebelum proyek dimulai. Ketiga, kecenderungan keberpihakan pemerintah kepada investor yang didasari pertimbangan ekonomi. Mari kita urai ketiga sumber konflik tersebut. Di antara isu lingkungan yang paling krusial adalah kemungkinan hilangnya sumber air.

Daerah penambangan berada di Desa Kedumulyo, Gadudero, Baturejo, Sukolilo, Sumbersoka, Tompegunung, dan Gendongan. Calon lokasi itu merupakan kawasan karst yang menyimpan mata air yang mengalir serta memberi kehidupan bagi warga sekitar, baik sebagai air baku maupun air irigasi.

Menurut catatan Sedulur Sikep, di pegunungan tersebut terdapat 72 mata air. PT SG menyatakan bahwa kegiatan pabrik semen tidak akan merusak mata air, karena akan dipilih ruas yang tidak mengandung mata air.

Dengan kata lain, lokasi yang dipilih di daerah karst kelas dua dan tiga. Hal itu pula yang dinyatakan oleh Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Tengah, bahwa yang terkena dampak hanya enam mata air nonpermanen. Yang perlu dicermati adalah apakah pengeprasan perbukitan karst tidak menimbulkan pengaruh sebagai sebuah ekosistem.

Mensinergikan Kepentingan

Berkaitan dengan alih fungsi lahan, sekitar 90% dari 400 hektare (dengan revisi amdal 270 hektare) lahan milik penduduk yang merupakan calon lahan penambangan telah beralih pemilik. Pemilik baru, bukanlah PT SG, melainkan pemodal dari luar yang membeli lahan melalui penduduk lokal karena mendengar adanya pendirian pabrik semen.

Sejak saat itu intrik-intrik antarkelompok masyarakat terus menyebar. Sekitar Mei, banyak spanduk-spanduk terpampang di berbagai sudut desa calon lokasi dan jalan-jalan utama yang bernada mendukung kehadiran pabrik semen. Bahkan ada spanuk di jalan utama yang berbunyi: ’’Kami bosan merantau dan akan kembali membangun Sukolilo bersama pabrik semen’’.

Bisa ditebak bahwa pemasang spanduk adalah mereka yang merasa diuntungkan jika pabrik semen didirikan. Di balik itu terdapat kelompok masyarakat yang berseberangan.

Pemilik tanah yang telah melepaskan haknya tentu merasa dirugikan jika pabrik didirikan, karena mereka telah telanjur menjualnya dengan harga yang murah. Di samping itu, banyak juga pemilik sawah yang enggan melepaskan tanahnya, karena begitu tanah dijual dan memperoleh uang, mereka tidak memiliki gantungan hidup lagi. Membeli sawah di tempat lain tidak semudah yang dibayangkan.

Selama ini kedua kelompok masyarakat itu seolah tenggelam oleh gemuruh mereka yang setuju melalui spanduk dan pernyataan para pejabat mulai dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten.

Sedulur Sikep dengan lugas dan berani menyuarakan keprihatinan mereka melalui berbagai media. Pihak pemprakarsa menyatakan bahwa tidak ada lahan milik Sedulur Sikep yang dibebaskan untuk proyek.

Namun demikian, dalam pandangan Sedulur Sikep, dampak lingkungan dan sosial tidak hanya terjadi karena pembebasan lahan. Jika penyusutan air terjadi, maka akan mengancam mata pencaharian dan budaya bertani yang telah turun-munurun mereka tekuni. Tidak mengherankan, ketika menurut mereka gubernur akan menerjunkan tim independen ke lapangan, merupakan sinyal harapan.

Sikap pemerintah yang selama ini cenderung menyetujui kehadiran pabrik semen, ketika studi kelayakan masih dalam proses, juga memicu eskalasi konflik. Berkali-kali di media massa kita baca pernyataan para petinggi bahwa pabrik semen akan memberikan manfaat kepada masyarakat yang lebih besar dalam bentuk kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Dikatakan pula bahwa mereka yang tidak setuju jumlahnya hanya kecil dan tidak mengetahui tentang kajian ilmiah. Pertimbangan yang mengedepankan prinsip the greatest possible happines for the greatest number (manfaat untuk banyak orang walau ada yang dikorbankan), menurut pakar sosiologi, Chernea (1989), akan menimbulkan ketidakadilan.

Mereka yang terkena dampak buruk tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup oleh sebagian besar masyarakat. Kesimpulan Chernea didasarkan kepada studi yang dilakukan atas proyek-proyek dam di China, India, dan Afrika, yang rupanya analog dengan yang terjadi di negeri kita. Waduk Kedungombo menyisakan warga masyarakat yang masih menderita dan tinggal di sekitar sabuk hijau.

Penderitaan mereka tidak tergantikan, walau menyaksikan petani-petani di Demak, Kudus, dan Grobogan, menikmati pasokan air irigasi dari Kedungombo. Selain keadilan, prinsip lain yang perlu dikedepankan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah demokratis dan berkelanjutan.

Demokratis, sebagaimana tuntutan yang didengungkan reformasi, bukanlah sekadar ikut serta dalam proses, melainkan ada jaminan bahwa masukan warga masyarakat menjadi bagian dalam pengambilan keputusan. Prinsip berkelanjutan menghendaki bukan hanya kemanfaatan ekonomi, melaikan juga keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

Mudah-mudahan diskusi pro-kontra pabrik semen yang digelar Harian Suara Merdeka 29 Januari 2009 ini memberikan pencerahan kepada semua pihak untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan.

Kasus pabrik semen menjadi pembelajaran berharga bagi semua warga Jawa Tengah dalam mengantisipasi setiap perencanaan pembangunan di masa depan. Makna pembangunan seharusnya kemajuan (progress) bagi semua orang, bukan menimbulkan kemunduran (regress) bagi sebagian warga kita.(68)

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jumat, 16 Januari 2009

Jerman: Infrastruktur Pengetahuan Indonesia Belum Kuat

Indonesia secara empirik belum memiliki infrastruktur pengetahuan yang kuat. Ini tidak menutup kemungkinan sebagai penyebab berbagai evolusi sosial budaya di Indonesia berlangsung dengan kegagapan.

Hal inilah yang menjadi salah satu pembahasan Hans-Dieter Evers, guru besar sosilogi Universitas Bonn, Jerman, dalam kuliah umum "Knowledge for Development" di Universitas Indonesia pada Kamis (15/1) siang.


Evers menilai Jakarta yang merupakan representasi Indonesia memiliki kepribadian ganda. Hal ini dibuktikan dengan adanya areal-areal kumuh dengan infrastruktur tidak memadai selain juga terdapat megahnya kota yang diisi lalu lintas aktifitas perusahaan-perusahaan multinasional.

"Membangun masyarakat yang mengandalkan pada pengetahuan (knowledge-based society) menjadi sebuah keharusan dalam mengatasi berbagai ketimpangan sosial yang terjadi," ujar Evers di hadapan ratusan peserta.

Dengan berbekal dan mengandalkan pengetahuan, evolusi ataupun transisi sosial masyarakat Indonesia akan lebih baik, karena menuju perubahan yang lebih baik melalui sebuah inovasi. Hal ini telah terjadi dan dibuktikan melalui penelitian Evers pada negara Ghana dibanding Korea. Pertumbuhan menuju kesejahteraan masyarakat bergerak naik secara signifikan pada Korea yang telah banyak menciptakan sebuah produk inovatif, jauh melebihi negara Ghana yang terlihat statis.

Salah satu hal yang menurut Evers mendukung terciptanya masyarakat yang mengandalkan pengetahuan adalah dengan penggunaan internet. Dalam hal ini, Indonesia menduduki posisi tertinggi dalam jumlah pengguna internet, melebihi Malaysia, dan Filipina. "Sebetulnya selain buku, penggunaan internet dapat mendukung terciptanya pengetahuan baru, yang merupakan sumber daya yang sangat besar," tambah Evers.

Keberpihakan Dieters pada negara-negara berkembang berdasar pada fakta bahwa negara berkembang merupakan sebuah laboratorium sosial yang sangat besar, dimana tersimpan banyak "harta karun" materi penelitian yang unik dan spesifik. Karakternya yang secara geo-sosial paling luas di dunia, namun dengan distribusi ekonomi yang tidak merata, persoalan imigran, evolusi politik dan banyak kasus lain, membuat studi mengenai negara berkembang seperti Indonesia menjadi sangat kompleks.

Kepada Mediaindonesia.com secara khusus Evers menerangkan bahwa Indonesia kini sebenarnya sudah berada di jalur yang tepat untuk mengembangkan sistem pengetahuan agar semakin baik. Hal ini dapat lebih lagi didukung melalui jalinan kerja sama berbagai institusi dengan melakukan penelitian-penelitian, seperti dengan universitas-universitas. Memang diperlukan banyak metodologi untuk mencapai hasil yang diharapkan.

"Yang menjadi indikator dari berhasil tidaknya sebuah knowledge for development terlihat dari dari seberapa besar penelitian-penelitian yang dilakukan serta produk-produk yang merupakan sebuah inovasi. Sudah sepuluh tahun terkahir ini Indonesia menunjukan perkembangan, setelah sebelumnya stagnan. Saya yakin krisis finansial tidak akan mempengaruhi sektor pengembangan pengetahuan ini." Ujar Evers.

Saat ditanya trik-trik untuk menjadi seorang yang inovatif, Evers menjawabnya, "Bacalah buku, baca buku, dan baca buku...dan jangan gunakan internet hanya untuk bermain."

Sumber : Suara Merdeka CN

Read more.....

Sistem Dualistik Kota

Oleh: Paulus Hariyono

SUNGGUH ironis, Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas, namun penataan ruang publik kotanya sering menimbulkan konflik. Sebaliknya Singapura dan negara-negara Eropa, yang memiliki wilayah tidak luas, dapat menatanya dengan baik. Ruang publiknya pun dapat dinikmati secara nyaman, bahkan menjadi daya tarik pariwisata kota.

Di Indonesia, muncul tudingan para elit masyarakat (pimpinan dan/atau swasta berkapital) setiap saat bakal merampas ruang publik kota, dengan ide-ide yang berlawanan dengan kepentingan masyarakat kebanyakan. Seminggu usai dilantik, misalnya, Gubernur Bibit Waluyo melontarkan ide tentang penggusuran aktivitas ruang publik di sebagian kaki lima di Jl Pahlawan Semarang yang memicu pro-kontra.

Rencana alih fungsi sebagian ruang publik di lapangan Tri Lomba Juang, dan pembongkaran Pasar Johar, juga merupakan sebagian dari konflik penataan ruang publik kota. Renovasi Alun-alun Purwokerto juga menimbulkan pro-kontra antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat (Suara Merdeka, 26/12/2008).

Saat ini terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang cukup menonjol antara masyarakat lapisan atas dan bawah. Perbedaan kondisi ini berakibat terjadi perbedaan gaya hidup masyarakatnya. Masyarakat kelas atas, termasuk elit masyarakatnya, biasanya memiliki aktivitas indoor living. Sedangkan masyarakat kelas bawah memiliki aktivitas outdoor living.

Masyarakat kelas atas memiliki kemampuan mengakses wacana gaya hidup modern yang umumnya berorientasi Barat. Ketika elit masyarakat berkesempatan ke luar negeri, muncullah ide merancang ruang publik kota dengan gaya hidup modern di kota tempat tinggalnya.

Karena itu, ada kecenderungan kaum elit masyarakat menginginkan ruang publik kota yang bersifat estetis-modern, yang bertolak belakang dengan fungsi sosial ekonomi ruang publik.

Sebaliknya, masyarakat menengah ke bawah memiliki aktivitas tradisional yang memiliki konotasi pada aktivitas sosial-ekonomi di ruang publik. Tarik ulur kepentingan dan gaya hidup itu menghasilkan sistem dualistik dalam perancangan ruang publik kota. Di satu pihak terdapat sistem perancangan ruang publik kota yang bersifat tradisional, tetapi pada saat yang sama terdapat sistem perancangan ruang publik kota yang bersifat estetis-modern.

Konflik kepentingan dan gaya hidup itu merupakan ujian, apakah nantinya suatu kawasan itu jatuh pada kepentingan masyarakat elit dan akan dirancang ruang publik yang estetis-modern, ataukah jatuh pada kepentingan masyarakat kebanyakan yang kemudian akan terancang kawasan ruang publik yang bersifat tradisional. Dua polarisasi ini melahirkan sistem dualistik perancangan kota.
Karena besifat dualistik, maka dari sudut perancangan perlu dicari suatu ketentuan apakah suatu kawasan itu akan dirancang secara estetis-modern atau secara tradisional. Contoh terdekat adalah taman kota di Jl Menteri Supeno —dikenal sebagai Taman KB— yang sedang direncanakan menjadi taman kota nan spektakuler dengan dana Rp 1,3 miliar (Suara Merdeka, Juli 2008).

Perlu dikaji, apakah kawasan ini layak menjadi taman kota yang bersifat estetis-modern atau tradisional, ataukah mungkin campuran di antara keduanya. Jangan sampai setelah dirancang dengan gaya estetis modern, ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab kawasan ini awalnya sering dilakukan kegiatan yang bersifat massal yang berorientasi kerakyatan, seperti konser musik, perayaan suatu hari raya, dan pameran flora-fauna.
Di satu pihak, sistem dualistik ruang publik kota mengundang konflik kepentingan, tetapi di lain pihak dapat menjadi kekayaan budaya kota apabila bisa dikelola dengan baik. Bahkan dapat menjadi daya tarik kota, misalnya sistem sektor formal dan sektor informal. Dua sistem ini dapat berdampingan secara serasi, dengan merancang tata letak yang tepat.

Kondisi sarana usaha sektor informal pun perlu dirancang secara menarik, sehingga perpaduan sektor formal, sektor informal, dan penampilan sarana usahanya dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat (dan wisatawan) yang ingin mengakses maupun cuci mata di ruang publik. Sistem dualistik ruang publik kota dapat mengobati kejenuhan bangunan yang berderet-deret kosong, seolah-olah tanpa kehidupan.

Berdampingan
Istilah dualistik sebenarnya diambil dari istilah yang dikemukakan oleh Boeke (Sayogyo, 1985) dalam kajian sosial ekonominya. Dia mengatakan, dalam sistem ekonomi di Indonesia terjadi dualistik, yaitu pertarungan antara sistem ekonomi tradisional dari negeri sendiri dan sistem ekonomi modern yang berasal dari asing. Di sejumlah kota di Indonesia terdapat sistem pasar tradisional, tapi juga dijumpai sistem pasar modern yang hidup secara berdampingan.

Kehadiran pusat perbelanjaan modern biasanya diiringi dengan aktivitas ekonomi tradisional, seperti sektor informal. Sebagai kasus, pusat-pusat perbelanjaan modern di Solo yang menjadi denyut jantung kota hancur karena kerusuhan sosial politik (1998). Ternyata sektor informal pun ikut tenggelam.
Dua tahun kemudian, ketika pusat perbelanjaan di Solo mulai dibangun kembali, sektor informal pun ikut bangkit. Sektor informal ikut mendompleng hiruk pikuk aktivitas mal. Mereka melayani segmen pasar yang tidak mampu menjangkau sektor formal.

Pegawai kelas bawah di mal-mal, seperti satpam, petugas cleaning service, juru parkir, dan pramuniaga, bersama masyarakat umum lainnya, tentu masih membutuhkan kehadiran sektor informal.

Demikian pula ketika Javamall, Swalayan Ada, dan DP Mall di Semarang dibangun, sektor informal pun bermunculan di balik gedung-gedung megah itu. Sistem pembayarannya pun terjadi sistem dualistik.

Ketika di mal, pengunjung berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, yang dibayar di belakang hari. Di sektor informal pun terdapat sistem ngebon yang juga dibayar di belakang hari.

Setelah belanja atau makan di warung, pengunjung sektor informal mencatat sendiri barang-barang yang diambil. Mereka melakukan pembayaran saat gajian tiba, atau kiriman uang datang bagi pelajar perantauan.

Ternyata sistem dualistik ini tidak hanya dijumpai pada bidang ekonomi sosial, tetapi juga pada bidang perancangan kota. Ada sudut-sudut kota yang dirancang secara modern, tetapi terdapat pula sudut-sudut kota yang dirancang secara tradisional. Sudut kota yang dirancang secara modern biasanya merupakan aktualisasi elit masyarakat. Sedangkan sudut kota yang dirancang secara tradisional merupakan aktualisasi masyarakat kebanyakan.

Dua pihak ini tidak dapat dipertentangkan, apabila kondisi masyarakatnya masih mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi. Keberhasilan penataan ruang kota di negara-negara maju antara lain disebabkan keberhasilannya mengeliminasi kesenjangan sosial ekonomi masyarakatnya.
Di negara-negara Eropa, setelah Revolusi Industri, juga banyak dijumpai kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi dan menjamurnya sektor informal. Tetapi kondisi ini cepat-cepat diatasi dengan memperbesar dan memperkuat sektor formal, dengan mengedepankan profesionalitas dan tingkat kesejahteraan buruh yang cukup. Sehingga orang cukup tertarik menggeluti sektor formal daripada sektor informal.

Dengan kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah yang memadai, gaya hidupnya pun akan berubah. Mereka akan melakukan kegiatan konsumsi di sektor formal, seperti makan di rumah makan atau di fast food, perilaku yang lebih sopan-tertib, menjaga kebersihan, menjaga kesehatan, kesadaran akan pendidikan yang cukup. Tidak mengherankan kalau kalangan menengah ke bawah di Barat terkadang makan dan minum satu ruang dengan masyarakat kelas menengah, atau sedikit ke atas.

Selain masalah teknis dan manajemen, masalah kesenjangan sosial ekonomi pula yang mengakibatkan persoalan Mass Rapit Transit sulit diberlakukan di kota-kota di Indonesia. Gaya hidup yang senjang berakibat mereka membuat jarak, dan sulit menghirup udara di ruang yang sama.

Dengan demikian, kota-kota di Indonesia masih memiliki sifat yang dualistik, baik dilihat dari sudut perancangan, ekonomi sosial, dan transportasi. Salah satu persoalannya, sekali lagi, adalah kesenjangan sosial ekonomi. Selama kesenjangan masih ada, kondisi yang bersifat dualistik ini akan tetap eksis.

Dengan sendirinya, dibutuhkan penataan yang arif dengan memberikan ruang seimbang kepada masing-masing lapisan masyarakat. Atau, dengan kata lain, dibutuhkan manajemen yang memperhatikan kondisi yang dualistik untuk menata suatu ruang kota. (32)

—Paulus Hariyono, dosen arsitektur Unika Soegijapranata Semarang.
Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Sabtu, 08 November 2008

Arsitek Tak Sekadar Mendesain

SEMARANG-Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata, Jumat kemarin, menggelar kuliah purnabakti untuk Dr Ir Heinz Frick di Ruang Theater Gedung Thomas Aquinas. Dalam kesempatan tersebut, Heinz mengangkat tema "Pendidikan Arsitektur dan Lingkungan" di hadapan seluruh mahasiswa serta staf pengajar fakultas.

Dia mengatakan, pendidikan arsitektur di perguruan tinggi sekarang banyak mengajarkan pendidikan kognitif saja padahal kebutuhan seorang arsitek tidak hanya itu.

"Arsitek tidak sekadar mendesain tapi juga menerapkan teori dalam praktik yang sebenarnya di lapangan. Dengan begitu, seorang arsitek bisa belajar dari pengalaman langsung yang berguna bagi dirinya dan bukan hanya sekadar teori,"ucapnya.


Dia menjelaskan, dengan praktik langsung di lapangan, perguruan tinggi bisa mencetak seorang arsitek yang terdidik sehingga lulusan tersebut nantinya juga bisa mendidik tukang sesuai dengan apa yang diinginkan.

Lebih lanjut Heinz menambahkan, arsitektur merupakan seni dan ilmu dalam merancang bangunan yang mencakup keseluruhan lingkungan binaan. Pendidikan Arsitektur dapat ditempuh secara formal untuk mendapatkan teori-teori yang secara langsung berkenaan dengan bidang arsitektur.

Kerusakan Alam

Menurut Vitruvius, salah satu tokoh yang berpengaruh dalam dunia arsitektur, lanjut dia, teori merupakan akar dari arsitektur yang dikembangkan melalui praktik.Namun arsitektur dalam perkembangannya menjadi salah satu "kambing hitam" dalam "penyukses" kerusakan lingkungan.

Kerusakan alam, kenaikan air tanah, semakin jarangnnya lahan hijau, menjadi bukti kuat kerusakan alam dan lingkungan yang diakibatkan oleh dunia arsitektur.

Lain halnya dengan arsitektur berbasis lingkungan yang lebih dikenal dengan arsitektur ekologis. Arsitektur ekologis mengedepankan respons bangunan sebagai salah satu karya arsitektur terhadap kondisi lingkungan sekitar, bukan lingkungan merespons bangunan, sehingga bahaya perusakan dapat diminimalisasi atau bahkan dihindari sama sekali.

Dr Ir Heinz Frick lahir di Zurich, Swiss,15 November 1943. Dia menyelesaikan pendidikan S3 di Universitas Teknik Eindhoven tentang pola struktural dan teknik bangunan di Indonesia.

Pakar eco-design dan struktur bangunan ini berkiprah di Unika Soegijapranata sejak 1996 sebagai seseorang yang sangat konsen dalam masalah-masalah ekologi bangunan. Dia bersama rekan-rekan dosen di Unika mendirikan Lembaga Pendidikan Lingkungan Manusia Binaan (LMB).

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jumat, 07 November 2008

Konflik Sosial Pabrik Semen

Oleh Sudharto P Hadi

SUKA atau tidak, rencana pendirian pabrik semen di wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, telah memicu timbulnya konflik. Konflik ini bukan hanya antara kelompok masyarakat de-ngan pemrakarsa proyek dan pemerintah, tetapi juga antar-kelompok masyarakat.

Seperti diberitakan harian ini (SM, 31/10/2008), Sedulur Sikep bersama Aliansi Masyarakat Jawa Tengah Tolak Pabrik Semen gagal menemui Gubernur Bibit Waluyo untuk menyampaikan aspirasinya.

Dalam orasinya, mereka tetap menolak kehadiran pabrik semen dan membantah pernyataan Gubernur bahwa Sedulur Sikep sudah setuju dengan kehadiran pabrik tersebut.


Suara Merdeka edisi 3 November lalu juga memberitakan, rombongan Sedulur Sikep yang dipimpin Mbah Badi menyatakan tak menolak kehadiran pabrik semen, asalkan pabrik tak bersinggungan dengan lahan pertanian.

Rombongan bahkan akan berkunjung ke PT Semen Gresik di Tuban. Konflik horisontal juga terjadi antara warga yang terlanjur menjual tanah dengan para perantara dan pemilik tanah baru yang akan meraup keuntungan terkait pendirian pabrik semen.

Ngugemi Tetanen

Bukan sekali ini saja Sedulur Sikep yang dipelopori Gunritno menolak kehadiran pabrik semen di daerah mereka. PT Semen Gresik (PT SG), sebagai pemrakarsa, pernah menyosialisasikan rencana pendirian pabrik dan mengatakan tujuan pabrik adalah ingin menyejahterakan masyarakat sekitar dengan memberi kesempatan kerja bagi kawula muda. Bagi yang sudah tua dan tak layak kerja akan diberi ternak sapi dan kambing.

Mendengar penjelasan itu, Gunritno balik bertanya: ’’Apakah kami ti-dak sejahtera? Kami merasa cukup dengan bertani dan tak pernah minta bantuan kepada siapapun. Kalau ada bantuan dari pemerintah, ka-mi minta diberikan kepada kelompok masyarakat lain yang lebih membutuhkan’’.

Bertani rupanya menjadi kata kunci penolakan terhadap pabrik semen. Dalam pandangan Sedulur Sikep, tanah adalah jiwa atau spirit mereka. Karena itu harus dirungkebi dan diugemi, sebab sesuai dengan keterampilan mereka bercocok tanam. Terlebih dalam falsafah mereka, bumi memberikan kehidupan, sehingga harus dipelihara dan dirawat.

Sampai di sini, persepsi antara kelompok Gunritno dan Mbah Badi masih selaras. Namun dalam pandangan Gunritno, dampak sosial dan lingkungan tak hanya terjadi kalau tanahnya dibebaskan, tetapi kegiatan pabrik juga dikawatirkan berpengaruh buruk terhadap lahan pertanian mereka.

Begitu eratnya hubungan mereka dengan tanah, pesan nenek moyang yang masih diegumi adalah tak diperbolehkan dol tinuku (berdagang). Hasil bertani untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kalau ada sisa baru boleh dijual. Tetapi jual beli dalam arti berdagang tidak diperkenankan.

Konsep memenuhi kebutuhan sendiri menunjukkan mereka telah menerapkan ketahanan pangan. Konsep ini seirama dengan tradisi yang masih dilakukan masyarakat Badui dan masyarakat adat Kasepuhan (Jawa Barat), masyarakat di Pulau Haruku (Maluku) dan masyarakat Kajang di Bulukumba (Sulawesi Selatan). Kelompok-kelompok masyarakat ini tak pernah mengalami krisis pangan, meski dalam kondisi krisis global seperti saat ini. Mereka adalah potret masyarakat mandiri (self reliance community) dalam arti yang sebenarnya.

Dampak Lingkungan

Sejauh ini, menurut deskripsi proyek yang ada, tak ada tanah/sawah milik Sedulur Sikep yang terkena pembebasan. Namun ke-giatan pabrik semen dikhawatirkan akan memengaruhi pasokan air untuk sawah milik mereka, atau sawah di mana mereka menjadi pekerja.

Dampak yang mungkin krusial adalah lokasi penambangan merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng Utara. Secara administratif, penambangan dan lokasi pabrik terletak di Desa Kedumulyo, Gadudero, Baturejo, Sukolilo, Sumbersoka, Tompegunung, dan Gendongan. Sepintas, calon lokasi ini hanya pegunungan kapur. Namun pegunungan itu merupakan kawasan karst yang menyimpan mata air yang mengalir serta memberi kehidupan bagi warga sekitar, baik sebagai air baku maupun air irigasi.

Menurut catatan Sedulur Sikep, di sana terdapat sekitar 72 mata air. PT SG menyatakan, kegiatan pabrik semen tidak akan merusak mata air, karena akan dipilih ruas yang tidak mengandung mata air.

Dalam istilah geologi, lokasinya dipilih di daerah karst yang bukan kelas 1. Persoalannya, sampai sekarang klasifikasi karst belum ditetapkan. Selain itu, perlu dicermati apakah pengeprasan perbukitan karst tidak menimbulkan pengaruh terhadap wilayah tersebut sebagai sebuah ekosistem?

Kondisi sosiologis masyarakat di sekitar calon lokasi proyek kini ibarat api dalam sekam. Sekitar 90 persen dari 400 ha lahan milik warga yang merupakan calon lokasi penambangan telah beralih pemilik. Pemilik baru bukanlah PT SG, melainkan pemodal dari luar yang ’’menanam’’ orang-orang di sekitar calon lokasi begitu mendengar rencana pendirian pabrik semen.

Menurut aparat di Kecamatan Sukolilo, sertifikat tanah memang masih atas nama penduduk lokal, tapi telah berada di tangan pembeli. Tidak mengherankan jika desas-desus dan intrik-intrik antarkelompok masyarakat terus menyebar. Memang, tahapan konflik belum menjurus adu fisik. Tetapi perbedaan nilai dan kepentingan antarkelompok bisa meledak setiap saat, jika mereka diperlakukan tidak adil, atau bahkan sengaja dipertentangkan.

Dalam prinsip pengambilan ke-putusan yang mengedepankan etika keberagaman (ethical pluralism), sekecil apapun perbedaan harus diakomodasi. Prinsip kesederajatan, keadilan, dan demokrasi hendaknya dijunjung tinggi dalam memutuskan sebuah pabrik yang akan memengaruhi hajat hidup orang banyak.

Pengambilan keputusan yang hanya mendasarkan pada prinsip lebih banyak orang yang menerima manfaat (the greatest possible happiness for the greatest number) akan menimbulkan implikasi dua hal. Pertama, prosesnya akan menegasikan kelompok-kelompok yang tidak setuju sehingga mengingkari fitrah demokrasi.

Kedua, menimbulkan ketidakadilan, karena dampak buruk yang diderita sebagian masyarakat tidak terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup sebagian besar masyarakat.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Kamis, 23 Oktober 2008

Menurun, Kualitas Lingkungan di Kampus PTN

KAWASAN kampus PTN tumbuh menjadi pusat hunian baru. Populasi mahasiswa yang besar memancing aktivitas ekonomi seperti pendirian warung, asrama mahasiswa, dan properti. Ketersediaan air bersih dan tata ruang perlu diperhatikan.

Tiga kawasan kampus PTN di Semarang yakni Tembalang (Undip dan Polines), Sekaran (Unnes), dan Ngaliyan (IAIN Walisongo) mengalami pertumbuhan populasi yang menakjubkan. Jumlah penduduk membengkak karena keberadaan "kaum urban temporer" yakni mahasiswa.


Pakar lingkungan Prof Sudharto P Hadi MES PHd menyatakan, "kampus merupakan wanted facilities. Berkebalikan dengan tempat pembuangan sampah yang merupakan unwanted facilities," ujarnya.

Ibarat pepatah ada gula ada semut. Populasi mahasiswa yang relatif tinggi memancing pertumbuhan aktivitas ekonomi seperti asrama mahasiswa, warung makan, toko, warung internet, dan aneka penyedia kebutuhan. Perkembangan selanjutnya, kampus menjadi kawasan yang strategis sehingga mendorong minat pendirian properti.

Air dan Tata Ruang

Sekaran Gunungati yang merupakan kawasan Universitas Negeri Semarang (Unnes) bisa menjadi gambaran pengaruh kampus terhadap modernitas. Sebelum tahun 1983, Sekaran hanyalah padang rumput gersang tempat meng-gembala ternak. Fasilitas seperti jalan dan penerangan serba terbatas, gaya hidup masyarakatnya pun masih "bersahaja".

Tiga belas tahun setelah Unnes (IKIP Semarang) boyongan dari Jalan Kelud ke Sekaran, kawasan itu mulai menggeliat. Kini Sekaran merupakan kawasan yang padat. Diperkirakan populasi mahasiswa mencapai belasan ribu, hampir sama dengan populasi penduduk "pribumi". Kondisi serupa juga terjadi di Tembalang dan Ngaliyan.

Penduduk di kawasan kampus menangguk manfaat ekonomi yang besar. Namun ada juga dampak negatifnya. Sudharto mengungkapkan, sesuai teori lingkungan, semakin besar populasi semakin besar pula eksploitasi terhadap alam.

Ketersediaan air bersih dan masalah tata ruang mulai menimbulkan persoalan. Kalangan mahasiswa Unnes mengaku mulai mengalami kesulitan air bersih. Hal itu dialami penghuni kos di sebagian kampung Sekaran dan Banaran.

Debit air dari sumur atau sendang semakin menyusut. Untungnya ada beberapa warga yang memiliki sumur artesis sehingga masalah kekeringan tidak terlampau mengganggu. Meski demikian mahasiswa berharap pihak kampus melakukan langkah nyata untuk menyediakan sarana air bersih.

"Kami berharap kampus memfasilitasi penyediaan sarana air bersih, misalnya dengan menggandeng PDAM," pinta seorang mahasiswa.

Di Ngaliyan, beberapa perumahan yang dijadikan kos mahasiswa juga mengalami kesulitan air bersih. "Terutama kelurahan Bringin dan perumahan baru yang belum memiliki jaringan PDAM," ungkap seorang mahasiswa.

Di kawasan Tembalang, banyak fasilitas ekonomi seperti warung internet yang tidak menyediakan air bersih di kamar kecilnya. Untungnya kos-kosan mahasiswa masih tersedia cukup air.

Problem lain adalah masa-lah tata ruang. Tingginya harga tanah membuat pemilik lahan seakan tak rela ada sejengkal tanah yang "menganggur". Semua dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan. Akibatnya tata ruang kawasan kampus terkesan semerawut.

Lahan Terbuka

Pakar Lingkungan Unnes Drs Kukuh Santoso menyatakan saat ini kualitas lingkungan di Sekaran masih baik. Tetapi ada indikasi terjadi penurunan kualitas. Ia berharap ada perhatian bersama dari semua komponen, yakni pihak kampus, pemerintah kota, dan ma-syarakat untuk menjaga kualitas lingkungan.

"Saat ini kualitas lingkungan masih baik, tetapi lima tahun mendatang, jika tidak ditangani secara serius bisa menjadi masalah besar," ungkapnya khawatir.

Lingkungan di dalam kampus sudah dikelola secara baik. Senat Unnes telah membuat ketetapan untuk mempertahankan lahan terbuka di dalam kampus minimal 40%. Kami juga memiliki hutan kampus, kawasan penghijauan, serta kebun biologi," ujarnya.

Yang menjadi masalah adalah lingkungan di luar kampus. Menurutnya, warga "asli" Sekaran memiliki kearifan dalam menjaga lingkungan. Tercermin dari letak rumah asli milik warga kampung yang agak jauh dari jalan. Serta adanya lahan terbuka dan pepohonan di sekitar rumah. Namun kaum pendatang yang membuka usaha bisnis di Sekaran cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan.

Kukuh Santoso menyoroti ulah pengembang yang membangun kompleks perumahan , yang didirikan di lahan kritis. "Para pengembang terkesan arogan, menganggap teknologi bisa mengatasi masalah lingkungan," tudingnya.

Solusi yang ditawarkan oleh Kukuh Santoso adalah pembuatan sumur resapan serta menghindari pavingisasi dan betonisasi. "Selain itu Pemkot juga perlu lebih berhati-hati memberikan IMB," harapnya.

Tren yang cukup positif adalah kecenderungan persebaran hunian mahasiswa yang tidak lagi terpusat di satu titik yakni Sekaran.

Tetapi menyebar ke kawasan yang lebih luas seperti Patemon, Muntal, Ngijo. Ini membuat "beban" yang disangga Sekarang menjadi berkurang.

Pakar lingkungan Sudharto P Hadi menilai kualitas lingkungan di kawasan Tembalang masih baik. Lahan terbuka di kawasan kampus masih ideal, lebih dari 65%. Meski demikian ia menilai, lebih bagus lagi kalau tersedia pasokan air bersih dari PDAM.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Mengapa Menolak Jalan Tol?

Oleh Sudharto P Hadi

Kehadiran jalan tol juga tidak menaikkan nilai properti (tanah dan rumah). Bahkan nilai properti sepanjang jalur yang dilewati tol cenderung menjadi kurang kemedol. SEMUA pihak menyadari bahwa jalan bebas hambatan (tol) Semarang-Solo telah mendesak untuk dibangun mengingat padatnya arus lalu lintas di jalur reguler sekarang ini. Dua kota penting di Jawa Tengah itu hanya berjarak 100 km, tetapi harus ditempuh selama dua setengah jam sampai tiga jam dengan mobil pribadi atau bus umum. Dibanding provinsi lain di Jawa, Jawa Tengah termasuk yang paling minim memiliki fasilitas jalan tol. Tidaklah mengherankan kalau bagi pemprakarsa proyek, jalan tol Semarang-Solo bukan hanya soal kebutuhan melainkan juga menjadi pertaruhan prestis antarprovinsi.


Namun, rupanya tidak gampang merealisasikan gagasan pemerintah provinsi itu. Rencana pembangunan jalan tol kembali menuai hambatan. Setelah warga Klentengsari dan Tirtoagung di wilayah Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, menolak permukiman mereka dilewati, kini giliran warga Kalirejo, Ungaran, meminta dilakukan pengalihan jalur. Sementara itu warga Kelurahan Susukan di kecamatan yang sama meminta ganti rugi atas tanah dan bangunan dengan jumlah yang tinggi alias meminta ganti untung.

Mengapa terjadi penolakan, dan mengapa masyarakat meminta ganti untung?

Unsur Profit

Jalan tol memang untuk kepentingan umum; namun demikian terdapat unsur profit dalam pengoperasiannya. Pengguna jasa jalan tol harus membayar dengan tarif yang selalu naik dari tahun ke tahun. Ada perhitungan untung-rugi di dalam pembangunan dan pengoperasiannya.

Berbeda dari jalan provinsi, kabupaten, dan kota atau jalan negara, yang memang murni untuk kepentingan umum. Dalam kasus jalan tol, menjadi lumrah kalau warga masyarakat kemudian ingin juga memperoleh nilai tambah dari transaksi ganti rugi.

Dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh jalan tol dan jalan reguler juga berbeda. Jalan reguler akan membuka akses, sehingga bisa mendongkrak nilai properti (harga tanah dan rumah), sedangkan pada jalan tol masyarakat justru kehilangan akses terhadap jalan tersebut, karena memang merupakan jalan bebas hambatan.

Kehadiran jalan tol juga tidak menaikkan nilai properti (tanah dan rumah). Bahkan nilai properti sepanjang jalur yang dilewati tol cenderung menjadi kurang kemedol. Bukan hanya karena tidak adanya akses ke jalan tol, tetapi juga karena sebab lain.

Satu-satunya yang membuat selling point adalah warga yang memiliki mobil yang berdekatan dengan gerbang tol, karena akses jalan tol melalui gerbang bisa menghindarkan kemacetan lalu lintas di kota.

Konsekuensi Biaya

Pembebasan lahan dari proyek apa pun senantiasa membawa dampak yang signifikan kepada berbagai bidang kehidupan. Jika yang dibebaskan itu sawah atau ladang, akan mengubah mata pencaharian. Tidaklah mudah bagi warga masyarakat untuk berpindah mata pencaharian; dan itu terjadi karena keterbatasan keterampilan mereka. Sementara itu jika mendapatkan pekerjaan baru, belum tentu tingkat pendapatannya lebih baik dibanding sebelumnya.

Jika yang dibebaskan rumah dan lahan tempat tinggal, berbagai dampak akan dirasakan; di antaranya warga harus pindah ke tempat lain. Perpindahan itu membawa konsekuensi, selain biaya juga waktu dan energi yang besar, karena warga harus mencari tempat baru. Biasanya, harga lahan di tempat lain akan meningkat seiring dengan peristiwa pembebasan lahan. Di lahan baru, mereka harus membangun rumah serta menyesuaikan dengan komunitas baru. Anak-anak kemungkinan juga harus pindah sekolah. Karena itu, pindah tempat tinggal selalu melelahkan, apalagi kalau kepindahan itu dilakukan dengan terpaksa (involuntary resettlement).

Semua konsekuensi tersebut biasanya tidak dikompensasi dengan uang, padahal memerlukan waktu, tenaga, dan menyita pikiran. Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebenarnya sudah memberi ruang untuk mengganti kerugian dalam bentuk lain.

Secara antropologis, tanah itu memiliki keterikatan yang kuat dengan penghuninya, sehingga keberadaannya diperlakukan sebagai sadumuk batuk sanyari bumi. Masih ada orang yang memiliki kepercayaan bahwa mereka harus meninggal di tanah lahirnya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika berbagai kasus pembebasan tanah di banyak tempat berjalan alot.

Kita ingat peristiwa pembebasan lahan di Borobudur untuk keperluan taman wisata candi tersebut pada sekitar 1984 yang menyedot perhatian besar dan menjadi isu nasional. Pembebasan lahan untuk keperluan Waduk Kedungombo pada awal 1980-an, masih menyisakan luka beberapa kelompok masyarakat sampai sekarang. Juga kisah pembangunan Waduk Nipah di Madura yang merenggut nyawa penduduk yang berusaha mempertahankan tanahnya.

Barisan Sakit Hati

Jalan tol memang untuk kepentingan banyak orang dan memiliki kontribusi untuk memacu pertumbuhan ekonomi lokal, regional, bahkan nasional. Namun demikian, rasanya tidak pas kalau atas nama berbagai kepentingan tersebut ada sekelompok masyarakat yang dirugikan. Kebijakan publik yang didasarkan kepada pembobotan (berapa jumlah orang yang mendapatkan dampak positif dan berapa yang terkena dampak negatif), akan menghilangkan rasa keadilan. Da- lam analisis pakar sosiologi Michael Cemea (1989), mereka yang terkena dampak buruk -meskipun jumlahnya sedikit- tidak akan terkompensasi, karena kelompok masyarakat yang lain dalam jumlah yang lebih besar mendapatkan manfaat positif.

Dalam kasus Kedungombo, misalnya, warga masyarakat yang sekarang masih bertahan di sabuk hijau tidak akan terkurangi penderitaannya meskipun petani di Demak, Kudus, dan Grobogan, mendapatkan pasokan air irigasi yang dialirkan dari waduk tersebut.

Lalu apakah kepentingan kelompok kecil masyarakat harus mengalahkan kepentingan yang lebih besar? Yang perlu dicari adalah bagaimana memadukan kepentingan yang berbeda melalui dialog. Pemprakarsa harus secara terbuka menyampaikan deskripsi proyeknya, termasuk di dalamnya rencana rutenya. Hal itu untuk mengurangi spekulasi dan misinformasi. Pengambilan keputusan yang baik adalah yang memungkinkan aspirasi dari berbagai stakeholders diakomodasi. Sekecil apa pun dampak yang akan menimpa warga harus mendapatkan perhatian seksama.

Melalui dialog, memungkinkan dicapainya kesepakatan yang win-win solution. Melalui dialog pula, warga masyarakat akan merasa menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Tentu kita tidak ingin jalan tol kebanggaan Jawa Tengah itu dibangun dengan menyisakan barisan sakit hati seperti yang terjadi di Waduk Kedungombo dan Taman Wisata Candi Borobudur.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Reklamasi Marina, Mengapa Diributkan?

Oleh: Sudharto P Hadi

REKLAMASI Pantai Marina menjadi berita hangat beberapa hari ini. Bermula dari kekhawatiran banyak pihak bahwa proyek besar itu akan memperburuk rob dan banjir yang telah menjadi langganan warga pantura Semarang, wacana itu terus berkembang. Terutama setelah ditengarai proyek kontroversial itu belum disertai kajian lingkungan.

Tidak kurang para anggota DPRD Kota yang masih gres turut nimbrung. Sebelum mencermati kemungkinan dampak yang muncul dari reklamasi yang sesungguhnya sudah berjalan tersebut, rasanya cukup arif kalau kita menengok berbagai dampak yang muncul dari kegiatan sejenis di seantero pantai utara Semarang dan sekitarnya.


Wilayah pesisir merupakan daerah yang penting tetapi rentan (vulnarable) terhadap gangguan. Pentingnya wilayah pesisir bisa dilihat dari fungsinya sebagai penyangga wilayah daratan, sebagai tempat pemijahan biota air, sebagai penangkal gelombang.

Makna reklamasi dalam arti yang sebenarnya adalah upaya memperbaiki daerah yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sebagaimana disebutkan di atas (Ensiklopedia Nasional Indonesia dalam Pratikto, 2004). Reklamasi, karena itu, merupakan upaya meningkatkan sumber daya alam lahan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan cara pengurangan atau dengan pengeringan lahan. Praktiknya, reklamasi yang banyak dilaksanakan di Indonesia tidak memenuhi kriteria definisi tersebut. Dengan reklamasi justru timbul berbagai dampak sosial dan lingkungan. Mari kita cermati beberapa reklamasi di sepanjang pantura Semarang dan sekitarnya.

Dampaknya

Di Kota Semarang, pengurugan tambak, reklamasi (dalam bentuk penambahan areal daratan) dilakukan pada sekitar tahun 1985 untuk memfasilitasi perumahan mewah, PRPP (Pekan Raya Promosi dan Pembangunan), Taman Mini Jawa Tengah yang disebut Maerokoco, Taman Marina, dan Studio 21.

Di samping itu, dilakukan penyudetan Sungai Tawangmas dan Ronggolawe serta pembelokannya ke Banjirkanal Barat yang hampir 90 derajat. Kegiatan ini menyebabkan banjir di kawasan Tawangaglik Lor, Tawangaglik Kidul, dan Tawangrejosari. Di sisi timur Pantai Marina terlihat daerah terabrasi.

Akibat signifikan reklamasi dan pembelokan ini, hilangnya alur Sungai Tawangmas ke muara yang sebelumnya dipergunakan nelayan sebagai landing place. Kawasan pantai yang telah direklamasi kini dikuasai pihak swasta. Masyarakat yang ingin menikmati ruang publik di sekitar PRPP harus membayar biaya masuk. Menurut catatan seorang anggota DPRD Kota Semarang, lebih dari 60% ruang publik pantai di Kota ATLAS ini dikuasai swasta.

Di wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal, menurut Sutrisno (2000), kerusakan pantai diduga disebabkan oleh salah satu industri yang mereklamasi dan membelokkan sungai. Daerah yang cukup parah mengalaminya adalah Desa Mangunharjo dan sebagian Mangkangwetan. Luas tambak yang rusak 65 hektare dengan jumlah pemilik tambak 38 orang. Terdapat 6 pemilik yang tambaknya hilang (menjadi laut) dan kehilangan mata pencaharian serta pendapatan. Sebagian besar yang lain, karena tambaknya tidak lagi produktif, pendapatannya berkurang secara signifikan.

Abrasi pantai juga terjadi di Desa Kartikajaya, Patebon, Kendal. Menurut catatan Pemkab Kendal (2001), luas wilayah pesisir yang terkena abrasi 1,30 km atau 15 ha. Abrasi diduga di antaranya disebabkan perubahan pola arus yang diakibatkan anjungan/pemecah ombak yang dibangun sebuah industri di sebelah barat desa. Petambak (pemilik dan penggarap) yang hidupnya bergantung pada sumber daya pesisir mengalami kerugian akibat berkurangnya lahan tambak dan penurunan pendapatan akibat menurunnya produksi tambak dan tangkapan yang dipicu oleh abrasi dan pencemaran.

Pantai Marina

Reklamasi yang sedang diributkan terletak di sebelah barat Pantai Marina yang akan menambah areal sekitar PRPP. Pengembang telah menguruknya dan dari kejauhan telah tampak daratan memanjang. Di sisi barat lokasi reklamasi mengalir Sungai Silandak. Terdapat beberapa isu penting yang perlu dicermati.

Pertama, terjadinya alur sungai yang makin panjang sehingga memperlama genangan yang memicu banjir. Yang juga patut dicermati, sisi barat sungai merupakan areal Bandara Ahmad Yani yang baru saja menyandang predikat bandara internasional. Kedua, jika dilihat dari pola dampak yang muncul di tempat lain, kemungkinan terjadinya abrasi karena perubahan pola arus sangat besar.

Ketiga, perubahan ruang pesisir menjadi daratan menyebabkan hilangnya biota laut yang berarti populasi ikan akan berkurang. Jika sepanjang Pantai Marina merupakan daerah penangkapan, itu berarti mengancam gantungan hidup nelayan.

Keempat, daerah yang direklamasi akan berpotensi menjadi daerah privat yang bertentangan dengan kaidah pantai sebagai ruang publik. Kalau areal PRPP dan sekitarnya telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial, tambahan luasan daratan ini diperkirakan akan menambah akumulasi dampak buruk.

Bukan Amdal-amdalan

Berbagai catatan di atas makin menambah keyakinan, reklamasi harus disertai analisis dampak lingkungan (amdal). Dalam Kepmen No 17 Tahun 2001 tentang Proyek-proyek Wajib Amdal ditetapkan, reklamasi dengan luasan lebih dari atau sama dengan 25 ha harus dilengkapi amdal. Melihat begitu signifikan dampak reklamasi, studi amdal harus dilakukan dengan cermat dan sungguh-sungguh, bukan amdal-amdalan. Esensinya, amdal merupakan kajian lingkungan yang dilakukan pada tahap perencanaan, yakni sebelum proyek dimulai.

Amdal memberikan dua kemungkinan hasil. Pertama, proyek yang diamdal dinyatakan tidak layak sebagaimana pada reklamasi di pantai Jakarta. Kedua, reklamasi layak dengan persyaratan dilakukan pengelolaan pada setiap fase kegiatan. Dengan demikian, tidak boleh kegiatan mendahului kajian sebagaimana yang kita saksikan pada reklamasi di Pantai Marina saat ini.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Transportasi Berwawasan Lingkungan

Oleh : Prof. Sudharto P Hadi, PhD

TRANSPORTASI berwawasan lingkungan masih merupakan dambaan, namun bisa menjadi kenyataan jika semua mengupayakannya. Mendampingi walikota Semarang mengikuti Asian Mayor's Policy Dialog for the Promotion of Environmentally Sustainable Transport (EST) in Cities di Kyoto, Jepang belum lama ini, saya catat beberapa hal yang menarik untuk dikaji.

Dari Indonesia, selain Semarang, kota lain yang diundang adalah Yogyakarta dan Surabaya. Forum diikuti oleh 28 kota dari 16 negara di Asia dengan sponsor utama Badan PBB untuk Pembangunan Regional (United Nations Centre for Regional Development) dan Kementerian Lingkungan Jepang. Keikutsertaan Kota Semarang tentu saja membanggakan tetapi sekaligus juga menjadi tantangan. Membanggakan karena, merupakan kesempatan Kota Semarang berbagi pengalaman dalam mengelola transportasi pada skala internasional, apalagi kota ini lagi getol dengan program SPA-nya (Semarang Pesona Asia).


Merupakan tantangan, karena Walikota Semarang menjadi salah satu penandatangan Deklarasi Kyoto yang berkomitmen untuk melaksanakan Transportasi Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Mengapa Yogyakarta, Semarang dan Surabaya, dan bukan Jakarta yang telah diakui keberhasilannya meluncurkan bus way? Ketiga kota itu bisa dibilang kota lapis kedua, baik dalam jumlah penduduk maupun luas wilayah.

Ketiganya masih dipandang sebagai kota medium berpenduduk antara 500.000 jiwa - 3.000.000 jiwa. Dengan kondisi seperti itu diharapkan masih belum terlambat mengantisipasi perkembangan transportasi yang sangat cepat.

Enviromentally Sustainable Transport (EST) atau Transportasi Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan adalah transportasi yang mampu memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan kepentingan dan kebutuhan generasi yang akan datang. Definisi yang diadopsi dari pembangunan berkelanjutan ini menyiratkan kritisnya transportasi perkotaan yang telah mengarah ke kondisi yang tidak berkelanjutan.

Ditengarai sektor transportasi menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan menyumbang sampai dengan 25%. Di samping polusi udara, kegiatan transportasi menghasilkan kebisingan, debu, getaran yang menurunkan kualitas kesehatan dan produktivitas kerja.

Penyebab Utama Kematian

Transportasi menjadi penyebab utama kematian. Setiap tahun 1,2 juta jiwa melayang karena kecelakaan lalu lintas. Negara di Asia memiliki angka kecelakaan lalu lintas 80 kali dibanding Eropa. Di ASEAN, diperkirakan 75.000 jiwa melayang setiap tahun karena kecelakaan lalu lintas dan 4,7 juta orang mengalami luka-luka. Badan PBB untuk Kesehatan (WHO) mencatat setiap hari terdapat 1.049 anak usia muda (di bawah 25 tahun) meninggal karena kecelakaan dan setiap tahun hampir 400.000 anak usia muda meninggal di jalan.

WHO menyimpulkan kecelakaan lalu lintas menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan kerugian ekonomi karena tragedi kecelakaan lalu lintas mencapai US$ 15.1 miliar. Di Jawa Tengah sebagaimana dikutip dari pernyataan Direktur Poltas, Polda Jawa Tengah, tahun 2005 jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas 4.580 orang.

Meningkatnya jumlah kendaraan menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas yang menurunkan produktivitats dan stres. Penggunaan kendaraan yang terus meningkat mendorong terjadinya penggunaan bahan bakar dari energi fosil yang jumlahnya makin terbatas.

Kota-kota di negara berkembang umumnya mengalami masalah transportasi yang hampir sama. Pertama, moda transportasi ditandai dengan makin banyaknya kendaraan bermotor (mobil pribadi dan sepeda motor). Di Kota Semarang pertumbuhan kendaraan tiap tahun 6% dan didominasi kendaraan pribadi dan sepeda motor 77%, sedangkan mobil penumpang hanya 19%.

Disamping jumlahnya yang tidak memadai, kondisi transportasi umum juga masih belum nyaman, belum aman, dan belum terjangkau. Kondisi itu mendorong orang untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dan sepeda motor. Penggunaan kendaraan pribadi dan sepeda motor juga disebabkan oleh kenyataan bahwa tata ruang kita memisahkan antara tempat produksi (tempat kerja, sekolah, belanja, rekreasi) dengan tempat konsumen (tempat tinggal). Sebagian besar warga kota harus nglajo dari pinggiran kota ke pusat kota. Kendaraan pribadi para penglajo tidak efisien, karena hanya dimuati 1 orang dan maksimal 2 orang.

Penelitian saya tahun 1996 di lima gerbang Kota Semarang (Jatingaleh, Siliwangi, Pedurungan, Genuk, dan Jalan Hasanuddin) menunjukkan occupancy rate (jumlah penumpang pada setiap kendaraan pribadi) sangat rendah yakni sekitar 50%-60% kendaraan hanya berpenumpang 1 orang. Sekitar 30%-35% kendaraan berpenumpang 2 orang.

Kehidupan di kota menjadi mekanis dan tidak humanis, karena warga kota menjadi sangat tergantung pada kendaraan bermotor. Di beberapa ruas jalan masuk seperti Jalan Teuku Umar, Jatingaleh, Jalan Siliwangi, Semarang Barat, kawasan Pedurungan dan Genuk pada pagi dan sore hari macet yang makin hari makin parah.

Persoalan kedua, tingkat pencemaran makin tinggi. Motorisasi alat angkutan memang membawa kemudahan dan mobilitas yang memicu pertumbuhan ekonomi. Namun demikian motorisasi alat angkutan membawa serta pencemaran udara.

Di Semarang, parameter lingkungan yang terlampau ambang batasnya adalah particulatematic (PM 10). Dari uji emisi yang dilakukan pada tahun 2005 menunjukkan dari 800 kendaraan sampel, 50%-nya melebihi ambang batas. Secara rinci menunjukkan, kendaraan berbahan bakar bensin terdapat 42,16% yang tidak lulus uji, sedangkan yang berbahan solar yang tidak lulus uji sebanyak 99,4%.

Jumlah karbonmonoksida 889,334 atau 0,6 ton per jiwa. Angka ini setara dengan volume CO2 di Kota Surabaya. Dominannya kendaraan pribadi bukan hanya menyebabkan pencemaran udara tetapi juga kemacetan lalu lintas.

Data ini mengingatkan temuan Bapedal Pusat tahun 1996, bahwa Semarang menempati peringkat ketiga dalam tingkat pencemaran udara setelah Jakarta dan Bandung. Persoalan ketiga adalah munculnya pertumbuhan pusat kegiatan yang tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas dan pembukaan akses, sehingga menimbulkan kemacetan dan konsentrasi pencemaran udara.

Program Terintegrasi

Forum pertemuan menetapkan 12 butir program terintegrasi dalam mencapai EST di antaranya pemeliharaan dan keselamatan jalan, memperbaiki manajemen lalu lintas, menciptakan transportasi yang memperhatikan kesetaraan gender dan keadilan. Disamping itu juga mengintegrasikan kebijakan transportasi umum dengan tata guna lahan dan tata ruang. Juga memprakarsai dan memfasilitasi angkutan tidak bermotor seperti sepeda, memelopori penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, melaksanakan pemantauan pencemaran udara, uji emisi, serta memperkuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat.

Di antara butir-butir agenda yang harus dilaksanakan, sebenarnya Semarang telah melakukan beberapa program di antaranya uji emisi kendaraan, mengganti bus umum yang bermuatan lebih banyak serta meluncurkan bus umum ber-AC. Butir kedua dimaksudkan untuk mendorong warga kota menggunakan kendaraan umum sehingga bisa mengurangi arus lalu lintas dan pencemaran udara.

Dalam upaya mengintegrasikan kebijakan transportasi dengan tata guna lahan, pembangunan rumah susun di pusat kota seperti Bandarharjo, Pekunden, dan Genuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk tidak nglajo ke tempat kerja atau jika harus menggunakan kendaraa umum, cukup accessible.

Dari kota-kota peserta, Singapore, Kyoto dan Seoul dinyatakan sebagai kota-kota yang berhasil melaksanakan elemen EST. Tiga kota ini dengan cepat mampu menyediakan transportasi publik beragam (bus, sub-way) yang nyaman, aman dan terpercaya serta terjangkau. Tingkat kebisingan dan pencemaran udara juga bisa ditekan seminimal mungkin dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan uji emisi secara rutin dan teratur.

Kyoto yang dinobatkan sebagai kota budaya dengan penduduk yang hampir sama dengan Kota Semarang yakni 1,4 juta jiwa tetapi mampu meraup turis sebanyak 47 juta orang per tahun, berhasil dalam mendorong penggunaan sepeda sebagai moda transportasi. Meskipun angkutan kotanya sangat memadai, namun penggunaan sepeda sangat intensif. Di kantor, mall, stasiun, kampus, disediakan parkir sepeda yang memadai. Semua jalan selalu tersedia jalur khusus untuk sepeda.

Bernuansa Top-Down

Jika elemen-elemen EST itu dicermati, sebagian besar merupakan kebijakan yang harus diprakarsai oleh Pemerintah Kota. Melihat persoalan transportasi yang demikian kompleks sesungguhnya terlalu berat kalau hal itu hanya dibebankan ke pundak Pemerintah Kota. Prakarsa transportasi berwawasan lingkungan juga bisa datang dari warga masyarakat.

Misalnya antar-jemput anak sekolah. Program ini bisa mengurangi volume kendaraan dan pencemaran udara karena lebih efisien. Daripada masing-masing anak diantar dan dijemput dengan kendaraan pribadi, akan lebih efisien jika berangkat dan pulang bersamaan dengan teman-teman yang tempat tinggalnya masih berada di satu kawasan atau satu jalur.

Program ini secara ekonomis lebih menguntungkan dan secara ekologis memberikan sumbangan bagi kelestarian lingkungan. Program yang sama juga dilakukan oleh beberapa instansi Pemerintah Provinsi yang menjemput dan mengantar karyawannya di beberapa tempat dalam satu jalur. Pemerintah Kota Semarang tahun depan akan mencanangkan program ini untuk karyawannya.

Di Jakarta, para penglajo yang tinggal di Bekasi, Tangerang, Depok memprakarsai program car poll. Mengepol kendaraan (biasanya mini bus atau kijang) di satu tempat, lalu mereka berombongan berangkat menuju pusat Kota (Jakarta) dan kembali juga bersama-sama pada sore hari. Langkah ini lebih menghemat, karena para anggota car poll bisa berbagi beban untuk membayar bahan bakar dan biaya tol.

Di Semarang beberapa tahun yang lalu, warga masyarakat di Srondol pernah melakukan hal yang sama. Fenomena ini sudah selayaknya ditangkap oleh Pemerintah Kota untuk difasilitasi dalam bentuk subsidi bahan bakar dan penyediaan parkir khusus di mana car poll ini ngetem.

Dialog walikota di Kyoto ini disamping rada bernuansa top down yaitu menekankan pentingnya prakarsa Pemerintah Kota, juga nampak bernuansa developed country based. Dalam Deklarasi Kyoto sebanyak 9 butir semula tidak ada klausul tentang perkembangan jumlah sepeda motor yang sangat signifikan yang terjadi di kota-kota di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Cambodia, Laos, India, Sri Lanka, Cina yang harus diantisipasi dampaknya.

Malaysia memandang sepeda motor merupakan jawaban atas masih buruknya transportasi umum. Namun demikian dampak penggunaan sepeda motorlah yang harus diantisipasi, misalnya dengan menyediakan jalur khusus untuk mereka dan meng-enforce uji emisi secara rutin. Fenomena sepeda motor memang tidak nampak di kota sekaliber Singapore, Tokyo maupun Seoul.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Rabu, 22 Oktober 2008

Perlu BTS Terpadu agar Tak Tampak Semrawut

Semarang, Kompas - Pemasangan menara pemancar atau base transceiver station atau BTS yang sangat semrawut di Kota Semarang wilayah atas menunjukkan penataan kota belum terencana secara matang. Agar tak semrawut, pemkot seharusnya memfasilitasi pemasangan BTS terpadu bagi perusahaan telekomunikasi.

"Suatu kota yang telah memikirkan kemajuan teknologi informasi seharusnya memiliki bangunan atau menara untuk pemasangan pemancar bersama. Di perbukitan atau pegunungan juga hanya ada satu menara relai untuk memperluas jaringan," ujar pemerhati Kota Semarang Dr Eddy Prianto DEA CES, Sabtu (15/7).


Menanggapi kesemrawutan pemasangan BTS di Kota Semarang yang mencapai lebih dari 114 buah (Kompas, 14/7), Eddy mengatakan, hal ini karena regulasi yang kurang memerhatikan nilai estetika kota.

Dengan penerapan aturan main yang jelas dan pas, pemasangan BTS tak akan hanya menggunakan surat izin mendirikan bangunan (IMB). "IMB itu berlaku seumur hidup selama bangunan tak berubah. Menara pemancar akan tetap seperti itu. Namun, lambat laun, karena konstruksi atau bahan kurang berkualitas, jatuh menimpa sekitarnya. Ini tanggung jawab siapa?" tanya Eddy.

Karena itu, Eddy menyarankan pemberian IMB menara pemancar diberlakukan khusus. Sekretaris Program Pascasarjana Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro Semarang ini menyarankan, perhitungan luasan bangunan diambil dari tinggi menara sebagai jari-jari.

Menurut Eddy, Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jawa Tengah sudah saatnya memegang peran pemberian izin. Selama ini, terkait keselamatan penerbangan, dinas ini hanya menjadi institusi yang memberi rekomendasi.

Ditemui terpisah, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Semarang Widi Widodo didampingi Kepala Bidang Analisis Pencegahan Dampak Lingkungan Hening Swaskito, mengatakan belum pernah menerbitkan dokumen lingkungan untuk pendirian BTS. "Secara teknis, pendiriannya hanya (berdasar) perda bangunan," kata Widi.

Sumber : Kompas

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008