Kamis, 07 Mei 2009

Tata Ruang Kota Perlu Direvisi (Atasi Rob di Semarang )

SEMARANG SELATAN- Upaya mengatasi banjir rob yang melanda wilayah Semarang bagian utara harus dilakukan secara menyeluruh, baik yang bersifat sipil teknis, vegetasi, maupun kelembagaan sosial.

Selain itu, perlu dilengkapi dengan payung hukum yang berpihak pada lingkungan, seperti penetapan ruang terbuka di daerah atas dan bawah. Pakar lingkungan Undip Prof Sudharto P Hadi MES PhD mengatakan, kebijakan ruang terbuka itu sudah tertuang dalam penataan ruang hingga 2010.

’’Kini saat yang tepat untuk melakukan penataan kembali, sehubungan dengan terbitnya UU Penataan Ruang No 26 tahun 2007. Perlu ditata kembali seberapa besar ruang terbuka yang dibutuhkan di daerah atas itu,’’ ungkapnya, Selasa (5/5).

Kaidahnya dalam UU No 26/2007, kata dia, sebanyak 30% itu merupakan ruang terbuka hijau, 20 % ruang terbuka hijau publik, dan 10% ruang terbuka privat.
Ia menilai kini waktu yang tepat untuk melakukan pemetaan guna menetapkan mana saja yang harus dipelihara, daerah yang tidak boleh dibangun dan boleh dibangun. ’’Ya, perlu ada revisi penataan ruang, dan sekarang sedang berjalan di Pemkot,’’ terangnya.

Kian Parah

Dia mengatakan, idealnya Semarang bagian utara dibiarkan sebagai ruang terbuka. Sebab, sebelum tahun 1990-an, ketika masih banyak tambak, di sana jarang terjadi rob. Artinya, ruang-ruang terbuka itu mampu menyerap air yang lewat.

’’Sekarang sudah tidak ada lagi. Untuk itu, saya menilai ruang-ruang yang masih terbuka itu sebaiknya tetap dijadikan ruang terbuka sebagai tempat penyerapan air pasang.’’

Terpisah, Karman, Kepala Operasional LBH Semarang yang juga anggota Walhi mengatakan, kerusakan pesisir utara Jawa Tengah kian parah. Berdasarkan hasil monitoringnya tahun 2007-2008, bencana banjir dan rob dari tahun ke tahun terus berulang, bahkan cenderung meningkat.

Bahkan, ada warga yang terpaksa mengungsi karena rumahnya rusak parah akibat rob. Di kawasan Kota Lama, rob telah masuk ke wilayah permukiman, seperti Kelurahan Purwodinatan, Semarang Tengah dan Kelurahan Kebonagung, Semarang Timur. ’’Di Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara sekitar 20 hektare, dan sejumlah rumah terkena dampak rob.’’

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, harus ditindaklanjuti dengan penataan ruang dan gerakan reboisasi di kawasan pesisir. Sebab, selama ini pemerintah dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan rencana umum tata ruang kota (RUTRK).

Ia mencontohkan, ketika ada investor masuk, daerah yang sebelumnya bukan kawasan industri pun bisa dijadikan kawasan industri. Hal itu dinilainya merupakan salah satu penyebab kerusakan pesisir. ”Untuk itu, pemerintah juga harus konsisten dengan tata ruang itu. Jika ada yang melanggar harus ditindak tegas,” ujarnya.

Sementara itu, berdasarkan pantauan BMG Maritim, rob di Semarang hingga kemarin masih cukup tinggi, yakni berkisar antara 1,3 meter hingga 1,4 meter. Namun, waktunya bergeser dari jam 13:00 menjadi pukul 14:00-15:00. Puncak rob diperkirakan terjadi hingga pukul 20:00 dan kemudian surut.

’’Rob itu proses gravitasi bumi dan matahari. Tinggi air pasang maksimum pada siang hari terjadi di antara bulan April, Mei dan Juni,’’ terang Atmaji Putro, prakirawan BMG Maritim.

Sekda Soemarmo HS menginstruksikan elemen pemerintah di bawahnya untuk tanggap terhadap bencana rob. Siklus alam ini masih mengancam. Pasalnya air pasang semakin meninggi saat pertengahan bulan atau bulan purnama. ’’Kami meminta kewaspadaan ditingkatkan,’’ katanya.

Untuk kecamatan dan kelurahan, sebagai elemen pemerintahan yang langsung berhubungan dengan masyarakat, diminta mempersiapkan bila sewaktu-waktu terjadi bencana. Di antaranya tempat evakuasi atau mengungsi bila banjir rob meninggi. Hal itu bisa di masjid dan balai RW/kelurahan yang tempatnya aman dari terjangan banjir. Sementara itu stok bantuan bahan makanan juga diminta untuk dicukupi. Petugas Dinas Kesehatan harus memantau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk membuka posko darurat.

Sumber : Suara Merdeka
Berita : Rob Genangi......

Read more.....

Memotret Demak dari Sungai

DEMAK berada di tengah-tengah jalur Pantura. Ini jalur besar yang menghubungkan kota-kota di sepanjang Pantura. Jalur utama Jakarta-Surabaya pun welewati jurusan ini (Semarang-Demak-Jepara-Kudus-Pati-Rembang). Oleh karena itu aktivitas sehari-hari masyarakat Demak dapat diteropong ketika orang-orang melintas.

Salah satu yang sering menjadi perhatian sekilas bagi orang-orang luar kota yang sedang melewati kabupaten Demak adalah sungai. Ya, sungai adalah latar strategis untuk memotret kebudayaan masyarakat Demak.

Dari sungai, orang-orang melihat sebagian warga Demak tengah mandi. “Kesegaran” khas inilah yang di-”tawar”-kan pada para pengendara atau pelintas ketika melewati kawasan Sayung dari arah Semarang. Atau dari arah Demak menuju Jepara atau Kudus. Atau ketika melintasi jurusan Demak-Purwodadi.


Di sungai-sungai yang sejajar dengan jalan raya itulah mudah dijumpai perempuan mandi sekadar berpinjung jarik dan yang lelaki telanjang dada.
Ini lebih mengarah pada etika dan estetika kebudayaan sebagai kota yang menjadi jantung perlintasan di daerah-daerah Pantura.

Kota Demak memiliki “Sungai Mekong” terpanjang di dunia. Sungai Mekong adalah kiasan bagi sungai yang dipergunakan untuk aktivitas MCK (mandi, cuci dan kakus).

Banyak orang bertanya-tanya mengapa (sebagian) warga Demak betah mandi atau mencuci di sungai, sementara airnya kotor. Lihat saja air sungai Tuntang dan Sungai Buyaran yang berada di sisi jalan Semarang-Demak itu berwarna hijau. Sungai itu tampak tidak berarus. Mirip seperti genangan air belaka. Fakta itu tak beda dengan sungai di sepanjang jalan Demak menuju Kudus atau Jepara yang juga kotor.

Adapun yang masih terbilang jernih adalah Sungai Jajar: sungai yang menghubungkan Demak dengan Purwodadi. Sungai ini terletak sebaris dengan jalan Demak-Purwodadi. Sungai Jajar terhubung sampai daerah-daerah Kecamatan Bonang dan bermuara di laut Jawa.

Aktivitas MCK yang dilakukan warga di sungai merupakan pemandangan yang sedikit mengganggu bagi pelintas jalan.

Seperti dimafhumi masyarakat umum yang telah melampaui masa post-tradisional, bahkan bisa dikatakan modern, mandi di tempat terbuka adalah tidak mengindahkan etika. Ini berkaitan dengan wacana tubuh yang secara pribadi harus di-”tutupi” dari ruang sosial demi suatu tujuan etis maupun estetis.

Kesuburan

Sungai adalah sebuah keyakinan kuno tentang kesuburan. Secara mitologis, sungai merupakan sebuah siklus kelahiran dan proses regenerasi. Dahulu kala, leluhur Jawa menjadikan sungai sebagai tempat menyucikan diri yang merupakan lambang dari upaya manusia menghalau kekuatan jahat yang mengancam (Robby Hidajat dalam Jurnal Kebudayaan Jawa, 2006).

Mitos macam ini dikuatkan dengan fakta bahwa seorang susuhunan lahir di tanah Demak dengan jalan menyucikan diri di tepi sungai. Sunan Kalijaga (salah satu dari Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa) kemudian mengantarkan Demak mendapat sebutan Kota Wali sampai kini. Secara geografis, sungai adalah kekayaan alam yang sangat berharga bagi manusia. Sungai adalah representasi kesuburan suatu daerah.

Demak mempunyai sejarah penting dalam perekonomian di tanah Jawa, yakni ketika Kerajaan Demak masih berdiri kokoh pada kurun abad XVI.

Sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak pernah menjadi daerah maju ketika perekonomiannya ditopang oleh perairan seperti sungai untuk pertanian. Bahkan sungai menjadi jalur transportasi kapal-kapal menghubungkan titik-titik perniagaan dengan bandar laut yang menjadi pusat arus barang niaga di pantai utara Laut Jawa.

Aktivitas MCK secara langsung mengotori sungai. Ini disebabkan oleh zat-zat kandungan sabun mandi atau sabun cuci yang kemudian larut dalam air sungai. Sementara, sungai yang kotor merepresentasikan area slum atau daerah kumuh.

Beda dari zaman purba, orang-orang mandi belum menggunakan sabun sehingga tidak mengakibatkan air sungai terkena polusi.
Mengingat sungai-sungai besar di Demak masih menjadi saluran irigasi vital bagi pertanian, maka pengotoran sungai amat merugikan.

Orang-orang tidak sadar dan tidak berpikir jauh tentang persoalan ini, padahal lambat laun dapat mengurangi produktivitas pertanian karena kualitas air yang berangsur-angsur makin memburuk.

Oleh karena itu, aktivitas MCK yang memanfaatkan sungai perlu dicarikan alternatif lain dengan tidak memutus hubungan masyarakat dengan sungai itu sendiri. Hal ini demi menghapus stigma buruk agar olok-olok “Sungai Mekong Terpanjang” tidak menjadi kutukan berkepanjangan bagi generasi berikutnya.

Alangkah lebih baik jika pengguna sungai membuat tempat-tempat mandi di rumah masing-masing. Sementara airnya tetap diambil dari sungai dengan bantuan mesin pompa air. Pola seperti ini tidak akan mengotori air sungai maupun mengganggu pemandangan mata.
Citra Kota Wali
Jargon Demak Beramal (bersih, elok, rapi, anggun, maju, aman, serta lestari) selaiknya ditunjukkan dengan tata kehidupan yang selaras antara etika dan estetika. Salah satunya dengan mendayagunakan sungai sebagaimana mestinya.

Perlu kesadaran kolektif warga sekitar sungai yang berada di tengah-tengah ruang publik untuk menjadikan sungai bersih dan nyaman dipandang mata.

Apalagi Demak masyhur sebagai kota yang tingkat religiusitas masyarakatnya cukup tinggi. Ini tak lepas dari sejarah Demak sebagai pusat persebaran Islam di Jawa (simbolnya adalah kerajaan Demak dan Walisongo).

Citra yang demikian seharusnya mendorong untuk bersikap hidup bersih dan tertata sebagai perwujudan cermin hidup yang agamis. Bahwa, al-nadhafatu min al-iman, ’’kebersihan bagian dari iman’’.

Semua titik-titik produktif yang menopang kemajuan Demak itu akan semakin mempunyai daya tarik jika didukung dengan kota yang bersih, tertata, dan berestetika.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008