Minggu, 14 Desember 2008

Setelah Guru Besar Bergaji Besar

SEORANG guru besar atau profesor dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia pernah bercerita kepada saya. Ketika itu, sang profesor berada di Jakarta dan bertemu bekas mahasiswanya yang dulu sering dimarahi karena malas kuliah.

Kini, sang bekas mahasiswa yang sudah bergelar sarjana ini naik mobil baru, dan bercerita kepada profesornya bahwa ia bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional terkenal. Ia juga bercerita baru bekerja empat tahun, dengan gaji sekian puluh juta rupiah per bulan.


Sebagai manusia biasa, sang profesor pun tertegun. Ia yang sudah memiliki masa kerja lebih dari 30 tahun, dan ”suntuk” mengembangkan Tridharma Perguruan Tinggi, hanya berpenghasilan seperempat dari bekas mahasiswanya. Sebagai seorang guru, dia bersyukur karena anak didiknya ”sukses”. Namun sebagai manusia, ia juga mengeluh terhadap sistem penggajian di negeri ini.

Namun keluhan sang profesor itu kini telah dikubur pemerintah. Sebab, mulai Januari 2009, seorang profesor minimal bergaji Rp 8 juta per bulan, belum termasuk penghasilan sampingan lainnya.

Tentu tujuan pemerintah sederhana saja, agar sang profesor itu benar-benar professional: menekuni bidang keilmuannya secara suntuk di kampus. Dengan gaji yang mencukupi, diharapkan sang profesor tidak lagi ”mengasong” di lain tempat.

Ia harus sosok mahaguru yang mumpuni. Di dunia pewayangan digambarkan bagaimana seorang mahaguru seperti Durna, Begawan Abiyasa, Dewa Ruci, dan sebagainya sangat dihormati murid-muridnya karena profesionalitasnya. Seseorang yang ingin berguru kepadanya harus rela digembleng lahir batin, dan tidak setiap orang diterima sebagai murid.

Ajaran ini cukup menggambarkan bagaimana seharusnya sosok seorang mahaguru.

Dalam Alquran juga disebutkan, seseorang yang berilmu pengetahuan akan ditingkatkan beberapa derajat oleh Allah, dan janji Allah itu sampai detik ini selalu terbukti. Seseorang yang meraih jabatan profesor dengan cara seadanya, atau sekadarnya, justru akan dicemooh banyak orang, meski secara teoritis ia naik ”derajat”.

Akreditasi Ketat S3

Dampak kenaikan gaji yang luar biasa ini diperkirakan akan meningkatkan animo para dosen untuk mencapai derajat profesor. Karena derajat profesor antara lain ditentukan oleh gelar doktor, maka diperkirakan sekolah pascasarjana di Indonesia yang menyelenggarakan S3 akan diserbu calon mahasiswa.

Disinilah tugas pemerintah untuk mengontrol program S3 ”ecek-ecek” agar tidak sekadar menghasilkan doktor. Gampang saja cara akreditasinya. Periksa hasil disertasi para promovendus, apakah benar mereka mempromosikan sesuatu ilmu atau teori yang baru? Teliti daftar pustaka yang digunakan, apakah mutakhir atau hanya asal-asalan? Jika tidak, maka akan terlihatlah mutu program S3 tersebut.

Apabila tidak bermutu, ya harus ditutup agar tidak menghasilkan doktor sembarangan dan profesor sembarangan. Orang Indonesia adalah orang yang ”kreatif” dalam menyikapi celah-celah seperti ini. Orang-orang yang hanya berburu gelar akan menyusahkan bangsa ini.

Bandingkan dengan ilmuwan Barat yang rajin iqra, membaca fenomena alam dan fenomena sosial. Di TV swasta dapat dilihat kegigihan ilmuwan Barat. Untuk memelajari tingkah laku simpanse atau sekelompok laba-laba, ia rela hidup bertahun-tahun di hutan !

Mana ada ilmuwan kita yang seperti ini ? Bahkan pemenang Nobel untuk pemetaan DNA, penelitiannya sudah dilakukan sejak 1953 dan baru mendapat award lima puluh tahun kemudian ! Betapa suntuknya mereka mengembangkan ilmu.

Seorang rekan yang baru pulang dari India mengungkapkan pengalamannya, perguruan tinggi terbaik di India tidak mementingkan tampilan fisik terlebih dulu (gedung, mobil dinas, fasilitas). Yang diutamakan adalah mutu proses pembelajaran. Di Institut Teknologi India, misalnya, para guru besar hanya naik mobil Fiat. Gedung institut pun tak lebih baik dari SD Inpres kita, bahkan menulis pun masih pakai kapur.

Namun semangat ilmiahnya luar biasa. Dosen di sana harus bergelar doktor dan suntuk mengembangkan ilmunya. Hasilnya, 35 persen lulusan Institut Teknologi India sudah diincar perusahaan-perusahaan raksasa Amerika (termasuk NASA), bahkan sebelum mereka lulus! Demikian pula banyak ilmuwan India yang memenangkan lomba ilmu pengetahuan internasional, termasuk Nobel.

Seorang profesor mestinya menjadi lokomotif yang menuntun sivitas akademika menuju ke arah perguruan tinggi yang mampu membudayakan nilai hidup, pandangan hidup, keterampilan hidup, dan sebagainya, melalui serangkaian kerja besar ilmiah seperti kontemplasi pemikiran untuk melahirkan buku dan teori baru atau penelitian ilmiah lainnya.

Sudah Sublim

Dengan bahasa lebih luas lagi, mestinya seseorang yang sudah memiliki jabatan profesor adalah sosok yang sudah ”sublim” ilmu pengetahuan, kearifan, dan moralitasnya, serta memiliki kewibawaan dan kehormatan luar biasa. Karenanya, kalau seorang profesor wafat, akan disemayamkan dulu di kampus setempat. Ini artinya sebuah kehormatan luar biasa.

Karena sudah sublim mencapai puncak ”ekstase” dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, seorang profesor akan suntuk menghasilkan karya ilmiah untuk memecahkan masalah yang membelit masyarakat sekitarnya, syukur buat bangsa, negara, dan umat manusia pada umumnya.

Jelas bahwa jabatan profesor adalah titik awal untuk berkarya, bukan tujuan. Jika jabatan profesor hanya sebagai tujuan, maka ia diibaratkan seperti sebatang pohon pisang, yakni ”sekali berbuah, setelah itu mati”.

Seorang profesor mestinya laksana sumur yang makin banyak ditimba makin agung airnya. Karenanya di luar negeri ada rasa malu jika seorang profesor sudah tidak berkarya lagi di almamaternya.

Sebutan publish or perish menggambarkan kesetiaan seorang profesor di luar negeri atas komitmen ilmiahnya, sekaligus komitmen terhadap kejujuran nuraninya.

Karenanya, ketika Prof Henry Kissinger tak lagi mengajar di Harvard karena menjadi menlu AS, jabatan profesor ia tanggalkan.
Kissinger faham bahwa jabatan profesor akan melekat jika ia tetap mengajar dan berkarya ilmiah.

Di Indonesia, sosok ilmuwan yang resah seperti Prof Teuku Jacob (alm), begitu amat lega ketika berakhir masa tugasnya sebagai rektor UGM. Baginya, setelah tidak lagi menjabat, berarti keasyikan ilmiahnya akan terasah lagi.

Bagi Prof Jacob, jabatan profesor bukan ”batu loncatan” untuk menjadi pejabat struktural di lembaga / instansi / kampus yang berarti membayangkan fasilitas. Baginya, sebutan profesor membebani nuraninya untuk meneruskan keasyikannya me- ngembangkan iptek.

Di negara-negara maju, peran profesor sangat luar biasa. Iptek berkembang dalam hitungan menit, karena sebagian besar waktu para profesor disumbangkan untuk meneliti dan berpikir.

Karya-karya tersebut sangat dirasakan masyarakat, seperti lingkungan kota yang teratur, derajad kesehatan yang baik, kemudahan mengerjakan tugas keseharian karena munculnya alat-alat teknologi baru, dan sebagainya.

Dengan kata lain, seorang profesor di negara maju hampir bisa dipastikan adalah ilmuwan yang kampiun. Ia sosok yang sangat haus iptek. Saking hausnya, banyak profesor di AS dan Australia ”khusyuk” meneliti di Indonesia.

Sebut saja William Liddle, Richard Robison, Clifford Geertz, Herbert Feith, Sidney Jones, Terrence Hull, Gavin Jones, dan lain-lain. Bahkan seorang antropolog wanita asal AS sempat kawin dengan kepala suku di Lembah Baliem, Papua, ”hanya” agar dirinya lebih mudah meneliti perilaku sosial suku tersebut.

Siapa Memantau?

Siapa yang memantau perilaku para profesor, terlebih setelah mereka bergaji besar? Jika hanya ketua jurusan yang diwajibkan memantau ”kelakuan” para profesor yang ”bandel”, tentu tak akan efektif. Selain tunjangan ketua jurusan lebih kecil (dua tahun tunjangannya sama dengan gaji sebulan sang profesor), kegiatan mereka biasanya juga padat.

Persoalan lain, mereka umumnya masih muda, bahkan ada yang merupakan bekas murid si profesor, sehingga ada rasa sungkan. Sebaiknya perguruan tinggi membentuk Dewan Kode Etik Guru Besar yang selalu ”cerewet” dalam memantau para profesor yang bandel, agar kembali ke khittah-nya.

Jika para profesor bandel terus dibiarkan, maka akan timbul iri, dan kondisi seperti ini akan berdampak tidak baik dalam atmosfer akademik di dunia perguruan tinggi. Jika itu terjadi, yang menjadi korban adalah mahasiswa. (32)

— Saratri Wilonoyudho, dosen Universitas Negeri Semarang.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008