Tampilkan postingan dengan label sosok. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosok. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Juni 2009

Prof Eko Masuki Purnatugas (2)

Ingin Melihat Undip Lebih Disegani
RUMAH bagi Prof Ir Eko Budihardjo MSc, merupakan tempat terpenting. Selain sarana berkumpul anggota keluarga, juga berfungsi sebagai peluruh stres. Prof Eko merancang sendiri rumahnya. Ia membikin bangunan dua lantai di Jalan Telaga Bodas Raya Kav I No 4, Semarang itu senyaman mungkin.

Rumah itu mengadopsi konsep Romo Mangun, yakni menyerupai payung di tengah lapangan. Dengan ventilasi cukup, udara dan cahaya leluasa masuk dari segenap penjuru mata angin.

Aneka tanaman di pekarangan, menambah keasrian rumah yang ditinggali Prof Eko setelah tak lagi menjabat rektor Undip itu. Memiliki rumah pribadi yang nyaman dan asri merupakan angan-angannya semenjak dulu. Maka, ketika angan-angan itu terwujud, ia merasa sangat bersyukur. Kalau sudah begitu, ingatannya pun meloncat ke masa lalu, saat itu masih berstatus dosen muda, pernah tinggal bersama istri dan anaknya di penginapan milik Undip. Bukan dalam bentuk rumah, melainkan hanya sebuah kamar.


Alkisah pada 1976, Prof Eko mendapat beasiswa ke Inggris. Karena cukup lama, ia mengajak serta istri dan anaknya. Untuk itu Prof Eko harus mendapatkan dana tambahan. Cara yang paling gampang adalah dengan menjual mobil serta mengontrakkan rumah miliknya di Jalan Erlangga.

Saat studinya berakhir, Prof Eko sekeluarga kembali ke Indonesia. Namun masa kontrak rumah itu belum berakhir. Jadilah mereka keluarga yang tak punya tempat tinggal. Atas saran seorang kawan, ia memberanikan diri menemui rektor Undip yang saat itu dijabat Prof Soedarto SH.

Prof Eko memohon izin menempati penginapan milik Undip yang biasa dipakai untuk tamu-tamu dari luar negeri. ”Kepada Prof Darto saya bilang, saya ini kan juga baru datang dari luar negeri. Eh, alasan ngawur-ngawuran itu diterima. Mungkin beliau kasihan kepada saya, ha ha ha.”

Kisah Mengesankan

Soal rumah hanya bagian kecil dari romantika perjalanan karier Prof Eko. Di luar itu, masih banyak berserak kisah-kisah yang mengesankan. Salah satunya adalah pelantikan dirinya sebagai rektor Undip, menggantikan Prof Dr Muladi SH di tengah suasana chaos reformasi 1998. Mengesankan, karena selain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Ir Wiranto Arismunandar, Prof Eko juga dilantik oleh mahasiswa.

Ceritanya, mahasiswa Undip menolak mengakui Prof Eko sebagai rektor jika pelantikan dilakukan di Jakarta. Mereka menginginkan pelantikan di Semarang dengan disaksikan para mahasiswa. Namun karena alasan keamanan, pelantikan itu akhirnya tetap dilaksanakan di Jakarta pada 19 Mei.

Mengetahui itu, mahasiswa merasa kecewa. Mereka melalui lembaga Senat Mahasiswa akhirnya berinisiatif membuat upacara pelantikan sendiri. Acara itu terlaksana pada 23 Mei, ketika berlangsung serah-terima jabatan, dari Prof Muladi kepada Prof Eko.

Kisah mengesankan juga terkait dengan puncak pencapaian. Dari sekian banyak prestasi yang diraih, Prof Eko paling bangga dengan pencapaian Undip sebagai satu dari tiga universitas di Indonesia yang masuk dalam the best university in the world versi Times Higher Education pada 2006. Peringkat Undip berada di bawah UI dan UGM.

”Menjadi nomor tiga itu luar biasa. Kalau UI dan UGM menempati peringkat atas itu wajar. UI yang berada di Jakarta dekat dengan Presiden. UGM di Yogyakarta dekat dengan kerajaan. Lha Undip, dekatnya cuma sama rakyat.”

Kesuksesan Undip, kata Prof Eko, diraih tidak dengan cara gampang. Selain pembenahan internal, Undip juga gencar melakukan kerja sama dengan pihak luar melalui program go international. Pada 2005 Prof Eko mengajak delapan dekan melakukan kunjungan ke tujuh Universitas di Amerika Serikat. Masih di tahun yang sama, Undip melakukan kerja sama program double degree dengan lima universitas di Perancis.

Masih sebagai rektor, Prof Eko pernah mencanangkan Undip sebagai universitas riset. Oleh Prof Dr dokter Soesilo Wibowo SMed SPAnd, penggantinya, gagasan itu diperkuat dengan memasang target pencapaian pada 2020. Dalam pemikirannya, kemajuan ilmu pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui penelitian.

”Dalam statuta saat itu, Undip hanya disebut sebagai educational university. Ini sesuatu yang menghambat. Educational university itu sekadar preservation of science atau pengawetan ilmu pengetahuan. Ya udah ilmunya cuma itu-itu saja. Beda dengan research university. Di sana ada pengembangan ilmu. Dosen-dosen dituntut melakukan penelitian.”

Puncak pencapaian lain adalah penghargaan Kalpataru pada 1998. Penghargaan itu diberikan, karena sebagai akademisi dinilai mampu melakukan upaya pelestarian lingkungan. Saat Taman KB hendak didirikan bangunan, misalnya, Prof Eko berdiri di barisan mereka yang gigih melakukan penolakan.

Merasa Gagal

Di ranah domestik, Prof Eko sukses menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga. Ia menjadi pengayom sekaligus teladan bagi istri, anak, serta cucunya. Sebagai akademisi, lelaki berzodiak Gemini itu senantiasa menanamkan pentingnya pendidikan. Itulah mengapa seluruh anggota keluarga Prof Eko berpendidikan pascasarjana dan sukses di bidangnya masing-masing. Istrinya Ir Sudanti Hardjohoebojo MSL pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Permukiman dan Tata Ruang (Kimtaru) Jateng. Dr Holy Ametati Sp KK, anak pertama, bekerja di RS Permata Medika. Anak kedua, Aretha Aprilia ST MSc saat ini mengikuti pendidikan di United Nations Environmental Program di Bangkok. Demikian dengan kedua menantu. Dr Firdaus Wahyudi MKes (suami Holy Ametati) menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Undip. Sedangkan Dr Nuki Agya Utama MSc (suami Aretha) tengah mengikuti program post doctoral di Kyoto University, Jepang.

Di luar kisah sukses, Prof Eko juga pernah merasa gagal. Itulah kegagalan mewujudkan obsesi membangun auditorium baru sebagai pengganti auditorium Undip Pleburan. Menurut Prof Eko, keberadaan auditorium yang rencananya dibangun di sebelah Gedung Serbaguna (GSG) Tembalang itu itu penting. Kalau terwujud, ia bisa menampung 5.000 wisudawan sekaligus.
”Sejauh ini Undip belum memiliki gedung yang representatif untuk wisuda mahasiswa. Akibatnya wisuda harus dilakukan sendiri-sendiri,” ujar kakek dari Jasmine Alvita Firdaus (9) dan Akhtar Avatara (3) itu.

Kegagalan lain? Urung menduduki kursi calon Gubernur Jateng pada Pilkada 2008. Meski demikian Prof Eko tak pernah menganggap itu sebagai kegagalan. Sebaliknya, ia merasa beroleh pengalaman luar biasa. Prof Eko yang dengan niat baik maju dalam pilkada terhalang oleh persyaratan dana.

”Saat menjalani fit and proper test di Jakarta, pertanyaan pertama yang dilontarkan adalah soal kesiapan dana kampanye. Saya yang sedari awal berkomitmen untuk tak bermain politik uang, langsung gugur. Itulah kenapa saya merasa itu bukan suatu kegagalan.”

Kini, meski tak lagi memimpin Undip, Prof Eko mengaku tetap menambatkan hatinya di perguruan tinggi itu, ingin menyaksikan Undip menjadi universitas yang lebih disegani di kancah internasional. Prof Eko pun menitip pesan kepada seluruh civitas akademika Undip untuk menajamkan unsur dalam Tri Dharma, terutama bidang penelitian dan pengabdian.

”Penelitian dosen dan mahasiswa perlu ditingkatkan. Syukur-syukur hasilnya diterbitkan di jurnal internasional. Mengenai pengabdian, semestinya cendekiawan di kampus ikut memikirkan masalah bangsa dan negara. Jangan memakai kaca mata kuda,” tandasnya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Prof Eko Masuki Purnatugas (1)

Saya Tetap ''Willem Ortano''
Setelah mengabdi selama 40 tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Selasa (9/6), Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc akan memasuki purnatugas. Apa saja karya yang telah ia buat? Apa pula obsesi yang belum ia raih?

ZONDER rehat sepulang dari Jakarta, Minggu (7/6) pagi, Prof. Ir. Eko Budihardjo MSc langsung mengadakan jumpa pers di kediamannya, Jl Telaga Bodas Raya Kav I No 4 Semarang. Bagai tak merasa capai, mantan Rektor Undip (1998-2006) itu melayani dengan antusias sejumlah awak media yang ia undang.


Selain memapar acara purnatugas yang rencananya dilaksanakan Selasa (9/6), ia juga bicara panjang-lebar soal pendidikan tinggi, arsitektur dan tata kota. Prof. Eko, sapaan Eko Budihardjo, terlihat bergairah. Dengan gaya cablaka, ia mengkritik lembaga universitas yang cenderung menjadi produk kapital. Lelaki kelahiran Purbalingga 9 Juni 1944 itu juga menyentil sebagian arsitek dan ahli tata kota yang acap melakukan pelacuran profesi serta larut dalam arus global.

Meski kritiknya pedas, Prof. Eko tetap menyisipkan humor-humor segar nancerdas. Dua jam lebih ia bicara, para jurnalis tekun menyimaknya. Ya, tak ada yang berubah dari Prof Eko menjelang masa purnatugasnya. Ia tetap aktif, bersemangat, dan cablaka.

Bagi Prof Eko, purnatugas sekadar tengara. Menyitir puisi Emil Salim yang didedikasikan kepadanya, ia mengatakan bahwa yang purna itu status PNS, bukan tugasnya. Sebagai manusia yang kebetulan dikaruniai ilmu pengetahuan, Prof Eko merasa tak patut berhenti membagikannya.

Itulah mengapa alumnus Departement of Town Planning pada University of Wales Institute of Science and Tecnology, Cardiff, Inggris tersebut bertekat akan terus aktif mendharmabaktikan dirinya untuk masyarakat. Meski pensiun, Prof Eko masih diminta mengajar.

”Sebelum SK pensiun dari pusat turun, saya sudah menerima SK perpanjangan masa mengajar dari rektor Undip. Jadi dijamin nggak nganggur, ha ha ha.”

Aktivitas Segudang

Kalau pun SK perpanjangan masamengajar itu tak turun, Prof Eko tak akan benar-benar jadi penganggur. Pasalnya, di luar mengajar, ia punya aktivitas segudang, antara lain aktif sebagai Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari (Fokkal), Badan Standarisasi Mutu Pendidikan (BSMP), anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Ketua Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, Ketua Yayasan GRIS, dan Ketua Paguyuban Adi Yuswa.


Khusus yang terakhir, bertujuan mengajak kaum lanjut usia memberi kontribusi kepada masyarakat. Di paguyuban itu berkumpul banyak tokoh sepuh yang punya pandangan serupa Prof Eko. Ada Prof Kartini Sujendro, Prof Satjipto Rahardjo, Siti Fatimah Moeis MSc, Prof Agnes Widanti, dan sejumlah tokoh lain.


“Meski berusia lanjut, seseorang harus tetap memberikan apa yang ia punya untuk kemaslahatan sesama,” ujarnya.
Memasuki masa purnatugas dan memimpin Paguyuban Adi Yuswa, tak membuat Prof Eko merasa tua. Ia mencoba berpikir positif dengan mengambil hikmah yang ada. Suami Ir Sudanti Hardjohoebojo MSL itu merasa senang karena punya waktu luang yang bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.


Kini, Prof Eko juga bisa bebas ke mana-mana. Beberapa waktu lalu menghadiri sebuah acara di Makassar, lalu Jakarta, dan besok antara tanggal 11-22 Juni, ia akan menjenguk anaknya yang bertugas di Kyoto, Jepang. Prof Eko sekarang merasa menjadi free man.

“Pokoknya meski pensiun, saya tetap “willem ortano”, dijawil gelem ora tau nolak, ha ha ha. Beberapa saat setelah lengser dari kursi Rektor Undip, saya sempat menjadi nomine Rektor Universitas PBB. Tapi belum kesampaian, karena yang terpilih akhirnya seorang guru besar dari Belanda. Minggu lalu saya dapat tawaran lagi dari Dirjen Dikti untuk sebuah posisi di UNESCO, tapi nggak tahu bagaimana hasilnya. Kalau memang tembus, ya saya jalani.”

“Willem Ortano” memang prinsip yang diugemi Prof Eko semenjak dulu. Ia selalu berusaha menangkap dan memanfaatkan peluang yang datang kepadanya sebaik mungkin.
Suatu ketika guru besar Fakultas Teknik yang menyukai puisi itu pernah menjadi penceramah di forum pengajian Maulid Nabi. Kali lain ia berbicara soal nuklir di Yogyakarta.

Meski demikian, bukan berarti Prof Eko penganut aji mumpung. Ia tetap mengukur sesuatu dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Saat berbicara soal nuklir, misalnya, Prof Eko menggunakan perspektif sosial budaya.
Untuk dapat menjalani seabrek aktivitas itu dengan baik, lelaki yang dikaruniai dua anak dan dua cucu itu perlu menjaga kebugaran tubuhnya. Sebab walau bagaimanapun, kondisi fisiknya kini tak setangguh dulu.

Setiap hari Prof Eko merasa perlu melakukan olah raga pagi. Ia berjalan kaki keliling Stadion Jatidiri yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Sesudah itu dilanjutkan dengan melakukan olah raga waitankung.

“Senam terapi dari China itu saya kenal saat mengikuti kursus Lemhanas. Selama delapan bulan di sana, saya melakukan seminggu empat kali. Begitu selesai, eh langsung dapat sertifikat pelatih. Tapi saya tidak pernah menggunakan sertifikat itu. Sejauh ini murid saya baru satu, istri saya sendiri.”

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jumat, 03 April 2009

Di antara Ruang, Memori, dan Arsitektur

Saptono Istiawan

"Penny Lane is in my ears and in my eyes.

There beneath the blue suburban skies..."

(Penny Lane bersemayam dalam ingatan pendengaranku dan kenangan penglihatanku. Nun di sana, dalam naungan birunya langit pinggiran kota).

Penny Lane adalah nama sebuah jalan di pinggiran kota Liverpool di Britania Raya, yang di sepanjang kedua sisinya berdiri toko-toko mirip Jalan Sabang di Jakarta Pusat atau Jalan Braga di Bandung, Jalan KH Agus Salim di Semarang atau jalan Somba Opu di Makassar. Amat mudah bagi yang sering mengunjungi tempat semacam itu untuk mendapatkan kenangan yang amat kaya dengan warna-warna kehidupan. Persis seperti yang digambarkan dalam lagu Penny Lane. "Ada tukang cukur dengan pelanggan setianya, bankir pasar, bahkan gambaran kehidupan sehari-hari awak pemadam kebakaran setempat".

Paul McCartney dari the Beatles menyanyikan lagu tentang salah satu tempat kenangan masa kecil di kota kelahirannya dengan indah, tetapi tentunya diwarnai nada sendu yang menyatakan kerinduan dan sedikit kebanggaan.


Lagu yang menjadi hit dunia pada tahun 1967 ini hanya salah satu contoh dari banyak lagu yang memuja-muja suatu tempat dalam kenangan perjalanan hidup seseorang. Betapa suatu tempat tertentu lebih dari sekadar pantas untuk dikenang sepanjang hidup dari setiap generasi yang pernah menjadi pengunjung tetapnya.

Di manakah Anda menghabiskan waktu luang Anda di masa kecil? Di masa remaja? Suatu tempat di mana Anda merasa handarbeni (belonging)? Suatu tempat yang sedikit demi sedikit, tetapi secara permanen mengukir ruang dalam memori jangka panjang Anda. Kemudian ruang memori itu dalam benak Anda seolah-olah menjadi semacam kanvas lukisan di mana semua kenangan indah dalam hidup Anda dilukiskan hampir seperti nyata.

Tentu saja tempat tersebut juga menjadi tempat kenangan bagi ratusan ribu atau jutaan warga lainnya. Kenangan yang akan diteruskan dari generasi ke generasi. Mungkin saja kenangan muncul tanpa acuan waktu, tetapi tidaklah mungkin kenangan muncul dalam tempat kosong sama sekali.

Masih ingatkah Anda gedung Harmonie yang berdiri di tempat yang sekarang kantor Sekretariat Negara? Tentu banyak di antara Anda masih ingat, tetapi dengan segala penyesalan dan rasa kehilangan. Yang tinggal hanya nama tempatnya. Untunglah masih tersisa banyak bangunan bernilai sejarah yang berserakan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar, di Indonesia.

Jangan lengah! Bangunan bersejarah umumnya menempati posisi strategis di tengah kota. Dan, kestrategisan itu punya potensi ekonomi yang mengundang perhitungan-perhitungan ekonomi kelas berat dari para investor properti dan penguasa kota. Sayang sekali perhitungan-perhitungan mereka biasanya tidak memasukkan nilai-nilai yang tak teraba (intangible values) dan juga biaya-biaya yang tersembunyi kalau perhitungannya membenarkan perobohan bangunan bersejarah demi lokasinya. Lihat saja, misalnya, bangunan Hotel Des Indes di Jalan Gajah Mada, sebuah hotel yang tentunya pernah menyimpan banyak cerita kehidupan kelas tertentu di Batavia abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang sekarang disulap menjadi pusat pertokoan Duta Merlin.

Semua itu belum terhitung gedung tempat dibacakannya teks Proklamasi. Walaupun sekarang digantikan oleh bangunan patriotik (Gedung Pola dan Monumen Proklamasi), tetapi berapa banyak catatan dan kenangan sejarah berdirinya Republik Indonesia ini ikut terbabat bersamaan dengan robohnya gedung rumah tinggal di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 itu?

Di kota Semarang sekarang ini ada sebuah bangunan yang bersejarah dan sarat kenangan yang terancam digusur. Ratusan arsitek, arkeolog, budayawan Indonesia yang menganggap bangunan Pasar Johar tersebut sarat nilai berusaha mencegah niat Wali Kota Semarang Sutawi Sukarip merobohkan bangunan yang sebenarnya dilindungi UU Cagar Budaya.

Profesor Eko Budihardjo MSc, arsitek perencana kota dan budayawan Universitas Diponegoro bahkan mengatakan, kehilangan bangunan bersejarah bagi suatu kota ibarat kehilangan ingatan bagi seseorang. Ia mengacu kepada banyaknya bangunan bernilai sejarah yang terancam di kota Semarang.

Sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan perkembangan suatu kota, baik itu wali kota, investor properti, perencana lingkungan, maupun arsitek mempertimbangkan nilai-nilai yang tak teraba, tetapi tak tergantikan dalam mengembangkan suatu kota. Masa lalu dari suatu tempat sama pentingnya dengan masa kini dan masa depan. Ibarat akar yang tak tampak, yang memiliki nilai sama dengan batang, daun, dan buah bagi suatu pohon.

Sumber : Kompas

Saptono Istiawan, Arsitek

Read more.....

Selasa, 21 Oktober 2008

Sosok Rektor yang Dilantik Mahasiswa


Seribu Wajah Eko Budihardjo

Rektor Undip Eko Budihardjo genap berusia 60 tahun. Undip merayakan ulang tahun itu agak istimewa, dengan menggelar pesta rakyat mulai 7 hingga 9 Juni. Berikut tulisan wartawan Suara Merdeka Saroni Asikin yang mengupas sosok rektor yang satu ini.

SIAPA sih sebenarnya Prof Ir Eko Budihardjo MSc itu? Kalau lihat gelar yang pada namanya, kentara sekali dia seorang akademikus dan intelektual. Memang dia menggenggam atribut itu. Sebagai akademikus, dia adalah Rektor Undip sejak 1998. Intelektual? Ya, intelektualitasnya terlihat pada banyak buku yang ditulisnya seputar arsitektur dan tata kota (planologi). ''Prof Eko'', sebutan akrab orang padanya sudah menjelaskan banyak tentang itu.


Namun, itu belum cukup untuk menggambarkan sosok lelaki kelahiran Banjarnegara, 9 Juni 1944 itu. Masih seabrek atribut yang bisa diberikan kepadanya. Dia bisa ndakik-ndakik berbicara seputar arsitektur atau soal planologi, buah dari kerja kerasnya belajar di Department of Town Planning pada University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff Inggris dengan gelar MSc. Kalau mengutip tulisan Drs Sutrisna, Redaktur Senior Suara Merdeka dalam buku untuk ultah ke-60 Prof Eko, ia adalah manusia dengan seribu wajah.

Ya, di luar itu, dia juga pandai menghibur dan ''menyengat'' lewat puisi, bahkan ketika berhadapan dengan kalangan nonseniman. Atribut seniman dan budayawan pun akhirnya lekat pada dirinya. Jabatannya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) sejak 1993 dan perbaurannya dengan kalangan seniman meneguhkan hal itu.

Kiprahnya di DKJT memberi bukti bahwa Prof Eko adalah intelektual yang mampu menjadi jembatan bagi kepentingan seniman, khususnya ketika berhadapan dengan kalangan birokrat.

''Blak-blakan saja, seniman itu kalau sudah bicara dalam diskusi misalnya, pragmatika yang keluar begitu pedas dan keras. Itu tak disukai kalangan birokrat. Sebaliknya, kalangan seniman juga tak begitu menyukai birokrat, sehingga itu butuh jembatan. Ya, sudah saya dipilih untuk itu. Padahal, ketika ada rencana pembentukan DKJT, saya ini kuda hitam. Tak ada yang tahu,'' tutur dia saat ditemui di rumah dinasnya Jl Imam Barjo, Semarang.

Lebih dari satu dekade berada di posisi itu tak bisa dianggap sepele. Keberhasilannya ''menekan'' Pemprov Jateng untuk membuat gedung khusus untuk seniman seperti Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang hampir rampung tak bisa dianggap enteng. Meskipun sepanjang menjabat Ketua DKJT, angin tak selalu berpihak padanya. Selalu muncul kontroversi ketika dia mengeluarkan gagasan tertentu.

''Sebagian seniman bilang mereka tak butuh tempat untuk pentas. Mereka lebih butuh dana untuk pentas. Bagi saya itu bukan opsi yang harus dipilih salah satu, tapi keduanya sama-sama penting.''

Kesengsem Puisi

Ya, perjumbuhannya dengan kalangan seniman memang memberi warna yang menggairahkan dalam hidupnya. Kegairahan hidup itu boleh jadi dimulai ketika dia kesengsem kepada puisi. Itu diakui Prof Eko mulai dilakukan setelah menjadi Ketua DKJT.

Baca saja apa yang ditulis istrinya Ir Sudanti Hardjohoebojo MSc dalam buku Mengalir dengan Cinta terbitan Patriot (2004), buku yang khusus diterbitkan untuk menyambut ultah ke-60 sang profesor.

''Kalau ada waktu luang di rumah, dulu beliau suka main tenis di dekat rumah dan olahraga waitankung. Hobi beliau yang lain, kalau tak ada acara selalu nulis puisi, membaca, dan surat-menyurat. Nah, ngomong-ngomong tentang puisi, banyak yang bilang 'jatuh cinta karena puisi'. Kelihatannya nggak juga. Sebab, dulu puisi beliau belum dibuat. Setelah jadi Ketua DKJT itulah mulai tampak banget cintanya pada puisi,'' tulis sang istri.

Bukan tanpa alasan kalau Prof Eko menulis puisi dan membacakannya pada setiap forum yang diikutinya, bahkan forum itu sangat formal seperti Forum Rektor. Aktivitas yang lalu membuatnya dikomentari sebagai ''rektor yang hanya bisa berpuisi''.

Prof Eko bercerita, dia kesengsem kepada puisi ketika membaca sajak Ikranegara berjudul ''Merdeka''. ''Unik sekali! Sajak itu hanya berisi satu kata, yaitu 'Belum'. Hanya satu kata itu tapi maknanya sangat dahsyat. Kalau boleh saya bilang, puisi itu ibarat lebah kecil yang menyengat tapi bermadu.''

Dengan jujur pula diakui, pada awalnya dia tak berkehendak menulis puisi. Dia ingat pasti sebuah ''sajak'' yang dibacakannya kali pertama di hadapan para mahasiswa yang melantik dia sebagai rektor pada 1998.

''Saya ini satu-satunya rektor yang dilantik mahasiswa,'' ujarnya sembari tertawa, ''Pasalnya, ketika itu saya akan dilantik di Jakarta tapi mahasiswa saya menginginkan saya dilantik mereka. Ya sudah, saya terima.''

Di situ dia baca sesuatu yang akhirnya membuatnya terkejut sendiri karena membaca sajak Taufiq Ismail yang sangat mirip dengan karyanya itu. Bunyinya: Mahasiswa takut pada dosen/Dosen takut pada Ketua Jurusan/Ketua Jurusan takut pada Dekan/Dekan takut pada Rektor/Rektor takut pada Menteri/Menteri takut pada Presiden/Presiden takut pada mahasiswa.

Kalimat-kalimat yang sederhana tapi kontekstual dan menyengat. Bak lebah, ungkapan itu menyengat tapi tetap bermadu. Pasalnya, ketika itu Soeharto baru saja ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa. Ya, setelah itu, Prof Eko selalu berpuisi. Dan dia hanya tertawa disebut ''rektor yang cuma bisa berpuisi.'' Tak termungkiri pula, predikat budayawan sangat layak digenggamnya.

''Kalau melihat rektornya, nuansa kampus UGM itu politis. USU itu pencetak usahawan, saya bangga Rektor Undip disebut rektor budayawan,'' kata ayah dari Dr Holy Ametati dan Aretha Aprilia ST itu.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008