Tampilkan postingan dengan label para pakar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label para pakar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Februari 2009

Inspirasi Kemandirian Energi dari Desa

SEMARANG- Konsumsi energi jauh lebih banyak di kota dibandingkan dengan di desa. Padahal, dari segi kemandirian, desa jauh lebih mandiri. Karena itulah, desa harus menjadi inspirasi terkait dengan kemandirian penyediaan energi, mengingat mereka bisa menghidupi diri sendiri.

Hal itu diungkapkan Guru Besar Undip yang juga pakar lingkungan Prof Sudharto P Hadi MES PhD saat menjadi pembicara pada seminar nasional Global Energy, Wind Behavior, and Atmospheric Problems di Gedung Pascasarjana Undip Jl Imam Bardjo, Kamis (12/2).

Sudharto mengungkapkan, kepeloporan kemandirian harus bottom up. Hal itu tidak hanya bisa dilakukan di desa , tapi juga di kota. Misalnya, membuat biopori dan mempelopori hemat energi di lingkungannya.

Energi Terbarukan

Dia menjelaskan, Indonesia sebenarnya masih banyak memiliki sumber energi terbarukan, contohnya panas bumi. Sebenarnya hal itu sudah dikembangkan, namun mengingat lokasi panas bumi ada di hutan atau gunung, kadang pengembangannya terhalang oleh adat istiadat seperi di Bedugul Bali, di mana masyarakatnya menganggap lokasi itu sakral.

’’Masih banyak energi lain yang terbarukan dan bisa dieksplor dengan risiko minimal,’’ katanya.Terkait dengan penggunaan energi nuklir, Sudharto mengatakan tidak menutup kemungkinan jika suatu saat energi itu dibutuhkan.

Adapun Prof Dr Kim Young Duk, guru besar dari Departement Enviromental Engineering, Kwandong University Korea mengungkapkan, Korea Selatan memang tidak punya sumber energi yang banyak. Hampir semua kebutuhan energi, yakni minyak diimpor dari Timur Tengah. Saat ini dirinya sedang berusaha mengembangkan energi alternatif pengganti minyak, yakni energi angin. Antara tahun 1988-2003, Pemerintah Korea sudah menginvestasikan 28,6 juta Won Korea untuk 22 proyek riset dan pengembangan energi angin.

’’Perusahaan pembuat kapal terbesar di dunia, yakni Hyundai, Daewoo, dan Samsung juga bergabung untuk pembuatan sistem energi angin,’’ tuturnya.
Korea Selatan juga sekarang mengembangkan energi panas bumi, bio-diesel, dan sebagainya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Rabu, 22 Oktober 2008

Kota Semarang Butuh Peta Peringatan Bencana

Semarang, Kompas - Seringnya bencana longsor yang terjadi di Kota Semarang sebagai efek pembangunan fisik itu mengindikasikan terjadinya pelanggaran prinsip penataan ruang, yaitu mengubah lahan konservasi menjadi lahan terbangun. Untuk mengatasi hal ini, perlu disusun peta peringatan yang dapat memberikan informasi daerah rawan bencana secara akurat.

Pakar perencanaan kota Universitas Diponegoro (Undip), Prof Sugiono Soetomo, menjelaskan, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang perlu menginventarisasi ulang daerah-daerah rawan bencana dan mengkomparasikannya dengan peta penggunaan lahan yang ada.

Peta hasil komparasi itu akan memberikan informasi daerah-daerah yang perlu selalu diwaspadai, dijaga kelestariannya, dan yang dapat dimanfaatkan. Peta itu juga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian izin pemanfaatan lahan agar tidak terjadi kerusakan alam yang lebih parah.


"Pertumbuhan kota harus mempunyai batas yang jelas agar tidak berbenturan dengan alam," katanya.

Pendapat serupa juga dikemukakan pakar hidrologi Undip Robert J Kodoatie. Menurut dia, sekitar 40 persen wilayah Kota Semarang memiliki kerentanan tanah yang tinggi. Kondisi itu dapat menciptakan bencana longsor dan banjir setiap musim hujan.

Kodoatie mengatakan, sudah saatnya rencana tata ruang Kota Semarang berorientasi pada daya dukung alamiah dan bukan melulu pada kepentingan ekonomi. "Biaya rehabilitasi lingkungan dan fisik dapat menjadi lebih mahal daripada keuntungan pembangunan yang didapat jika batasan alamiah dilanggar," katanya.

Peta itu harus disusun dalam skala 1:500 sampai 1:1.000 agar dapat dilihat dengan jelas pada tingkat kelurahan. Peta peringatan itu juga harus disosialisasikan secara luas dengan membuka suatu ruang publik yang memungkinkan bagi masyarakat dan pengembang untuk melihat daerah yang diizinkan atau dilarang untuk dimanfaatkan.

Dengan cara itu, masyarakat dapat berlaku sebagai pengawas pemanfaatan lahan di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan pengembang dapat merumuskan sendiri lokasi dan jenis aktivitas yang dapat dikembangkan.

Evaluasi rencana tata ruang

Menanggapi seringnya terjadi bencana longsor, Kepala Seksi Pengembangan Kawasan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang M Farkhan mengatakan, ketidaksesuaian antara daya dukung dan peruntukan lahan disebabkan perencanaan kota dilakukan sebelum Pemkot Semarang memiliki data dan peta geologi yang valid.

Hal itu menyebabkan sering terjadinya kekeliruan perizinan, yaitu mengizinkan aktivitas budi daya di kawasan konservasi. Selain itu, pertumbuhan kota yang cepat membutuhkan lahan yang luas sehingga daerah konservasi ikut terjamah.

Dengan ketersediaan peta geologi dan rawan bencana pada tahun 2000, pemkot akan melakukan evaluasi Rencana Detail Tata Ruang Kota Periode 2000-2010. Evaluasi itu untuk mengatur ulang pemanfaatan lahan di daerah yang memiliki kerentanan tanah tinggi.

Selain itu, pemerintah juga akan membatasi pemanfaatan lahan di daerah rawan dengan mekanisme pengendalian izin. Daerah yang memiliki kemiringan 40 derajat atau kerentanan tanah yang tinggi akan dilindungi dan dipertahankan menjadi lahan konservasi.

Sumber : Kompas

Read more.....

Pembahasan RTRW Diwarnai Isu Lingkungan

BALAI KOTA- Isu-isu lingkungan mengemuka dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2010-2030. Kota dengan morfologi alam perbukitan dan pantai memerlukan pengelolaan lingkungan yang semestinya. Daerah perbukitan terdiri atas tanah bergerak, sementara kota bawah atau pantai mengalami penurunan tanah, banjir, dan rob.

Sudharto P Hadi, Guru Besar Ilmu Lingkungan Undip, mengajukan isu-isu lingkungan dalam penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030. Ia menilai, pembangunan saat ini lebih mengedepankan aspek fisik dan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.


Kota-kota besar termasuk Semarang berorientasi sebagai kota metropolitan. Basis pengembangan kota disandarkan pada modernitas. Kecenderungan itu, terlihat pada prioritas ruang untuk aktivitas ekonomi, seperti mal, jalan tol, mobil pribadi, gedung pencakar langit, real estate hingga apartemen.

Sementara pengembangan infrastruktur komunitas warga ditinggalkan. ''Padahal, perencanaan kota bukan hanya sekadar pembangunan ruang fisik, tetapi juga harus melihat kebutuhan ruang sosial,'' katanya dalam Seminar Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2010-2030, baru-baru ini.

Penurunan Tanah

Kepemerintahan urban yang baik menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Semarang memiliki wilayah pesisir dan perbukitan dengan karakteristik berbeda. Wilayah pesisir terjadi penurunan tanah rata-rata 2,8 cm/tahun di Pasar Johar dan 4 cm/tahun di Pelabuhan Tanjung Emas. Karenanya, diperlukan kebijakan penataan wilayah pesisir harus ada rezonasi untuk kegiatan yang berdampak buruk pada lingkungan, termasuk audit lingkungan.

Ruang terbuka sebagai resapan perlu ditetapkan Pemkot. Sementara kegagalan reklamasi di banyak tempat, seperti Balikpapan, Manado, dan Jakarta, bisa menjadi pelajaran bagi Semarang.

Kawasan perbukitan, penekanan pada kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH). Ia mencontohkan kawasan Mijen. Rencana Induk Kota (RIK) 1975-2000, Mijen diarahkan untuk pengembangan perkebunan, peternakan, dan pertanian.

Namun mulai 1980-an telah berkembang menjadi perumahan dan selanjutnya mendapatkan pengesahan dari RDTRK 1995-2005. Akibatnya run off ke Kali Bringin yang menjadi penyebab banjir di Mangunharjo dan Mangkangwetan.

''Upaya meningkatkan RTH ini bisa mememtakan kebutuhan per wilayah yang kemudian diatur dalam Perda. Bagi pemrakarsa dan pengendali lingkungan bisa dimotivasi dengan pemberian insentif.''

Guru Besar Planologi Undip, Sugiono Soetomo mengatakan, perencanaan kota memerhatikan tiga fungsi utama sinergis, yaitu fungsi ekologis, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial budaya. Pengembangan wilayah memadukan perkotaan, semi perkotaan, dan pedesaan. Regionalisasi Kendal, Ungaran, Salatiga, dan Ungaran (Kedungsapur) disinergikan, dengan pusat utama Kota Semarang.

Masalah bangunan fungsi ekonomis basis pada area banjir dan rawan banjir. ''Kota Semarang memerlukan konsep desain ruang berbasis konservasi alam yang menetapkan arah pemanfaatan lahan,'' katanya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008