Rabu, 22 Oktober 2008

Pembahasan RTRW Diwarnai Isu Lingkungan

BALAI KOTA- Isu-isu lingkungan mengemuka dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2010-2030. Kota dengan morfologi alam perbukitan dan pantai memerlukan pengelolaan lingkungan yang semestinya. Daerah perbukitan terdiri atas tanah bergerak, sementara kota bawah atau pantai mengalami penurunan tanah, banjir, dan rob.

Sudharto P Hadi, Guru Besar Ilmu Lingkungan Undip, mengajukan isu-isu lingkungan dalam penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030. Ia menilai, pembangunan saat ini lebih mengedepankan aspek fisik dan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.


Kota-kota besar termasuk Semarang berorientasi sebagai kota metropolitan. Basis pengembangan kota disandarkan pada modernitas. Kecenderungan itu, terlihat pada prioritas ruang untuk aktivitas ekonomi, seperti mal, jalan tol, mobil pribadi, gedung pencakar langit, real estate hingga apartemen.

Sementara pengembangan infrastruktur komunitas warga ditinggalkan. ''Padahal, perencanaan kota bukan hanya sekadar pembangunan ruang fisik, tetapi juga harus melihat kebutuhan ruang sosial,'' katanya dalam Seminar Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2010-2030, baru-baru ini.

Penurunan Tanah

Kepemerintahan urban yang baik menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Semarang memiliki wilayah pesisir dan perbukitan dengan karakteristik berbeda. Wilayah pesisir terjadi penurunan tanah rata-rata 2,8 cm/tahun di Pasar Johar dan 4 cm/tahun di Pelabuhan Tanjung Emas. Karenanya, diperlukan kebijakan penataan wilayah pesisir harus ada rezonasi untuk kegiatan yang berdampak buruk pada lingkungan, termasuk audit lingkungan.

Ruang terbuka sebagai resapan perlu ditetapkan Pemkot. Sementara kegagalan reklamasi di banyak tempat, seperti Balikpapan, Manado, dan Jakarta, bisa menjadi pelajaran bagi Semarang.

Kawasan perbukitan, penekanan pada kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH). Ia mencontohkan kawasan Mijen. Rencana Induk Kota (RIK) 1975-2000, Mijen diarahkan untuk pengembangan perkebunan, peternakan, dan pertanian.

Namun mulai 1980-an telah berkembang menjadi perumahan dan selanjutnya mendapatkan pengesahan dari RDTRK 1995-2005. Akibatnya run off ke Kali Bringin yang menjadi penyebab banjir di Mangunharjo dan Mangkangwetan.

''Upaya meningkatkan RTH ini bisa mememtakan kebutuhan per wilayah yang kemudian diatur dalam Perda. Bagi pemrakarsa dan pengendali lingkungan bisa dimotivasi dengan pemberian insentif.''

Guru Besar Planologi Undip, Sugiono Soetomo mengatakan, perencanaan kota memerhatikan tiga fungsi utama sinergis, yaitu fungsi ekologis, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial budaya. Pengembangan wilayah memadukan perkotaan, semi perkotaan, dan pedesaan. Regionalisasi Kendal, Ungaran, Salatiga, dan Ungaran (Kedungsapur) disinergikan, dengan pusat utama Kota Semarang.

Masalah bangunan fungsi ekonomis basis pada area banjir dan rawan banjir. ''Kota Semarang memerlukan konsep desain ruang berbasis konservasi alam yang menetapkan arah pemanfaatan lahan,'' katanya.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008