Rabu, 04 Maret 2009

Geger Benteng Vastenburg


Oleh Eko Budihardjo
Agar bisa diperoleh karya cipta arsitektur yang menjadi landmark atau tengeran sebagai jati diri sejarah Kota Surakarta yang baru, kiranya akan lebih baik bila diselenggarakan Sayembara Perancangan Kawasan Benteng Vastenburg.

DALAM Dialog Publik tentang Benteng Vastenburg yang diselenggarakan di Balai Kota Surakarta atas prakarsa Wali Kota Joko Wi beberapa waktu lalu, tampak ada dua kubu yang cenderung berseberangan pendapat secara frontal. Kubu pertama adalah yang menyetujui pembangunan mal dan hotel bertingkat tiga belas (konon kemudian lantas turun menjadi 9 lantai).


Adapun kubu kedua adalah yang menolak keras pembangunan mal dan hotel. Mereka ini menuntut agar Benteng Vastenburg direkonstruksi persis seperti bentuk semula. Bahkan dengan amat keras meminta supaya benteng kuno yang didirikan oleh Belanda pada 1745 itu dikembalikan menjadi milik negara. Kalau perlu lapangan terbuka di dalam benteng dibiarkan saja tetap sebagai taman. Terasa gonjang-ganjing dan geger pro dan kontra ini bisa berkepanjangan.

Saya tidak memihak salah satu dari kedua kubu yang sama-sama ekstrem itu. Orang bijak berpesan arif: Virtus est in medio. Maknanya, segala sesuatu yang baik ada di tengah-tengah. Ekstrem kanan jelek, ekstrem kiri berbahaya. Poros tengah menjadi salah satu alternatif jalan keluar dengan segala kelebihan dan kekurangan. Jika alternatif pertama berupa bangunan bertingkat tinggi, baik 13 lantai maupun 9 lantai, yang dipilih untuk dilaksanakan, saya dan segenap arsitek yang peduli bangunan kuno amat sangat berkeberatan.

Skala bangunan tinggi komersial itu pasti akan mengerdilkan benteng bersejarah yang tidak terlalu tinggi dan notabene masih berdiri kokoh, kendati kurang terawat. Nanti hotel itu akan tampak seperti sumpit yang menjulang dari dalam benteng (baca tulisan saya tentang ”Sindrom Sumpit” Perkotaan, Kompas, 28 Februari 2009). Sangat tidak menciptakan harmoni dan menunjukkan sikap arogan, tidak menghargai keberadaan bangunan kuno bersejarah yang termasuk kategori cagar budaya.

Sebaliknya, jika yang dipilih alternatif kedua, yaitu membeli kembali benteng yang sudah dimiliki pihak swasta melalui proses ruilslag atau tukar guling, pasti Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta tidak akan kuat menyokong dana. Konon diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar 600 miliar rupiah.
Belum lagi kalau harus menanggung biaya rekonstruksi dan biaya pemeliharaan selanjutnya.

Tuntutan dari kubu kedua, yang muncul dari kecintaan luar biasa pada monumen jatidiri sejarah Kota Surakarta memang bisa dipahami. Namun tidak realistis, bahkan nyaris utopis. Sangat berat untuk tidak mengatakan mustahil, mengimplementasikannya. Juga terasa tidak adil jika Pemkot atau Wali Kota Surakarta harus menanggung beban atas proses tukar guling yang sudah berlangsung beberapa dekade sebelumnya, oleh pihak-pihak di luar kompetensi dirinya.

Alternatif Penyelamatan

Manakala alternatif dari kubu pertama dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan alternatif dari kubu kedua dinilai tidak rasional, lantas bagaimana alternatif penyelamatan Benteng Vastenburg yang bisa disodorkan sebagai jalan keluar?

Terus terang, kurang lebih dua puluh tahun silam, saya bersama alamarhum Prof Sidharta pernah diminta merancang kawasan Benteng Vastenburg dengan prinsip pemberian fungsi baru untuk kawasan bersejarah dan bangunan tua. Istilah gagahnya ”new function for historic district and old building”. Adapula, yang menggunakan terminologi lebih singkat dan bernas: ”Adaptive Reuse”.
Contoh-contoh dari mancanegara sudah cukup banyak.

Penjara kuno di kawasan kota tua ”The Rocks” di Sydney yang dimanfaatkan untuk fungsi baru berupa pertokoan, pub, kafe, restoran, pusat hiburan, dan permainan kanak-kanak. Bekas istana pangeran atau kastil di London yang berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan.

Bahkan ada contoh perubahan fungsi yang amat ekstrem di Istanbul, yaitu Masjid Haghia (Aya) Sophia. Dulu bangunan itu adalah gereja dan sat ini telah berubah lagi menjadi museum. Jadi fungsi bisa berubah-ubah, tetapi bangunan kuno tetap bertahan.

Alternatif yang kami usulkan sekitar 1980-an untuk fungsi baru di lapangan dalam Benteng Vastenburg berupa serangkaian komposisi bangunan-bangunan bertingkat dua dan tiga. Fungsinya beraneka ragam.

Ada toko-toko cendera mata; kios-kios untuk jual-beli keris, tombak, pedang kuno; tempat promosi dan berjualan batik atau lurik, berikut selop sampai mondolan; panggung pergelaran seni-budaya; pusat informasi wisata; gardu-gardu istirahat terbuka atau open air cafe; dan lain-lain.

Diusulkan juga agar ada akses naik ke atas dinding benteng, agar pengunjung bisa bebas menikmati pemandangan di dalam maupun ke luar benteng. View ke arah keraton Kasunanan akan menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi jika meriam kuno yang ditempatkan secara amat strategis mengarah ke keraton itu dipasang kembali.

Betapa bangga kita di hadapan anak-cucu, mengisahkan kehebatan persenjataan Belanda dengan meriam dan kanon yang modern itu terbukti tidak berdaya melumpuhkan para pahlawan kita, yang hanya bersenjatakan bambu runcing.

Sayang seribu sayang, usulan kami yang mencoba untuk sekaligus menyelamatkan atau menjaga kelestarian benteng dan pada saat yang sama juga menghidupkan kegiatan ekonomi kreatif rakyat bernuansa budaya lokal, tidak diapresiasi oleh pemberi tugas. Sang pengusaha terus-menerus meminta supaya bangunan-bangunannya dipadatkan, dirapatkan, dijejal-jejalkan.

Kekesalan dan kesebalan memuncak ketika muncul perrmintaan agar dinding benteng yang kokoh selebar dua sampai tiga meter itu disisakan satu meter saja. Maksudnya untuk bisa lebih banyak lagi menyediakan kios-kios pertokoan. Hubungan kami dengan pengusaha itu pun lantas putus, karena tidak tercapai kata sepakat. Dan kita mesti sama-sama maklum, karena memang ”mindset” masing-masing sejak awal sudah beda.

Sayembara Perancangan

Dalam Economic Benefits for Preserving Old Buildings (1995) dikemukakan bangunan-bangunan kuno bersejarah yang sering terabaikan itu memiliki banyak potensi untuk didayagunakan agar bisa menghasilkan keuntungan ekonomi.

Pertama, lokasinya yang amat strategis, mudah dicapai dari segenap penjuru kota. Kedua, jaringan prasarana atau utilitas publiknya sudah tersedia, misalnya listrik, air bersih, telepon, dan pembuangan air kotor. Ketiga, konstruksi bangunannya biasanya masih kokoh, kuat, tahan untuk jangka waktu lama.

Keempat, peluang untuk diberi fungsi baru sesuai tuntutan perkembangan zaman, masih terbuka lebar. Kelima, perkembangan teknologi mutakhir yang canggih memungkinkan para arsitek menggugah imajinasi sebebas mungkin menciptakan karya ”arsitektur cap jempol” atau ”signature architecture” yang mengesankan.

Kelima butir potensi itu seyogianya menjadi landasan berpijak untuk mengatasi gonjang-ganjing tentang nasib benteng itu. Agar bisa diperoleh karya cipta arsitektur yang menjadi landmark atau tengeran sebagai jatidiri sejarah Kota Surakarta yang baru, kiranya akan lebih baik bila diselenggarakan Sayembara Perancangan Kawasan Benteng Vastenburg.

Sayembara tersebut sedapat mungkin berskala nasional, atau bahkan kalau perlu internasional, mengingat Kota Surakarta sudah masuk dalam jejaring global sebagai kota pusaka (heritage city) bersejarah.

Tantangan ini mesti dijawab dengan gegap gempita oleh para arsitek, seniman, dan budayawan, mengingat pesan bahwa ”Architecture is archeology of the future”. Generasi masa kini mesti bisa menciptakan karya-karya arsitektur baru, modern dan pascamodern, yang separo abad kemudian layak ditetapkan sebagai karya arkeologi atau cagar budaya untuk juga ikut dilestarikan. Alangkah indahnya. (35)

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008