Jumat, 31 Oktober 2008

Sanksi bagi Pelanggar Tata Ruang

Oleh Tjoek Suroso Hadi

AKHIR-akhir ini sering kita dengar, banyak orang yang dengan mudah melanggar penggunaan ruang yang mestinya telah disepakati bersama. Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah undang-undang, yaitu UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Sulit mengerti, mengapa orang gampang mengubah tata guna lahan. Peristiwa-peristiwa alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produktif, kawasan perumahan menjadi area industri, kawasan konservasi menjadi kawasan perumahan atau industri, persawahan jadi real estate, dan masih banyak lagi.

Akhirnya, dalam pelaksanaan pembangunan, tata ruang yang telah disepakati itu menjadi semerawut, tidak terkontrol, dan makin acak. Hal ini bisa terjadi di semua wilayah di seluruh pelosok negeri ini.


Kita coba merunut kembali, ketika air sungai Bengawan Solo meluap terjadi banjir bandang yang menggenangi wilayah-wilayah hilir. Tidak tanggung-tanggung, ketika sungai meluap, masyarakat Lamongan (Jawa Timur) melakukan protes, karena daerahnya sering tertimpa banjir kiriman, meski hari tidak hujan.

Padahal dalam UU 26/2007 sudah tertera, secara geografis NKRI berada pada kawasan rawan bencana, sehinga diperlukan penataan ruang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.

Statement dalam UU itu menyiratkan wilayah yang rawan bencana pun harus diantisipasi dalam perencanaan tata ruangnya, agar tak menimbulkan konsekuensi berupa kesengsaraan bagi masyarakat. Sehingga wilayah yang benar-benar sesuai dengan rencana tata ruang justru dilanggarnya.

Dulu pada saat era kerajaan, seorang raja mempunyai otoritas dan kewenangan menata wilayahnya, yang akhirnya harus disepakati dan ditaati semua rakyat. Contoh, pembuatan halun-halun (alun-alun) di depan bangunan kerajaan itu tidak lain merupakan ruang terbuka.

Ketika raja masih berkuasa. ruang itu digunakan sebagai tempat upacara adat atau untuk berinteraksi antara raja dan rakyatnya. Hal itu ditaati, bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Tidak seorang pun berani melanggarnya, misalnya memanfaatkan ruang alun-alun itu diubah menjadi area pertokoan atau mal dan seterusnya.

Kemudian tata ruang itu merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri merupakan susunan pusat-pusat permukiman serta sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.

Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.

Dengan demikian, zona-zona itu dibentuk atas dasar kondisi bentang alam yang tersedia, dan dimanfaatkan sesuai perencanaan kegunaan yang mengacu kepada spesifikasi dan karakteristik tanahnya.

Hutan lindung, misalnya, mestinya benar-benar menjadi wilayah konservasi yang harus dipertahankan. Alih fungsi kini menjadi tren wilayah di setiap wilayah/perkotaan. Dengan dalih meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), pemanfaatan ruang wilayah di masing-masing kota sangat maksimal.

Banyak contoh kasus alih fungsi lahan justru melibatkan para penentu kebijakan. Hal ini bisa dilihat dari konspirasi antara oknum angota DPR dan pejabat daerah untuk meloloskan alih fungsi lahan, dari lahan hutan lindung menjadi hutan produktif di Bangka Belitung.

Kita terperanjat mendengar berita diatas, karena untuk meloloskan alih fungsi lahan sampai melibatkan pejabat negara di tingkat pusat. Padahal UU Tata Ruang merupakan produk hukum yang dibuat DPR dan pemerintah (pusat).

Sanksi

Saya sering mengikuti diskusi atau seminar tentang tata ruang, dengan aneka narasumber mulai dari para pakar, akademisi, praktisi, hinggabirokrat. Dan pada kesempatan itu sering saya lontarkan pertanyaan tentang banyaknya aktivitas alih fungsi lahan yang berlebihan di berbagai wilayah.

Namun jawabannya selalu membingungkan, yang berkesan tidak ada kepastian. Ada yang menjawab pemerintah tidak mempunyai tools dalam pelaksanaan pengawasan dan penindakan para pelanggar tata ruang. Ada pula yang menjawab kita tidak perlu mencari kambing hitam: siapa yang salah dalam aktivitas tersebut.

Mengapa sampai muncul jawaban seperti itu ? Karena aktivitas alih fungsi lahan itu akhirnya dapat melibatkan seluruh stakeholders. Sebagai contoh, produk penataan ruang itu berawal dari pemikiran dan penelitian para pakar melalui konsultan perencana, kemudian antara Pemerintah dan DPR yang akhirnya disepakati menjadi UU.

Dalam pelaksanaan di lapangan, keterlibatan masyarakat juga sangat dominan, terutama untuk menjawab persoalan pekerjaan. Blunder ini sudah sering muncul, sehinga perkataan jangan membuat kambing hitam mungkin ada benarnya.

Untuk kepentingan apa pun, karena produk UU itu belum diamandemen, seluruh elemen masyarakat tetap harus mematuhinya. Tentu sanksi berat bagi pelanggar harus dilakukan. Pada pasal 35 disebutkan, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Sanksi berlaku bagi siapapun. Kalau perlu, perangkat di bawah UU seperti Perpres harus cepat dibuat untuk menjawab makin meluasnya aktivitas alih fungsi lahan.

Menurut pasal 37 (2), izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 37 (3) menyebutkan, izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Ayat selanjutnya, izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pertanyaannya, siapa yang bisa mengawasi dan menindaknya? Karena justru yang terlibat alih fungsi adalah para penentu kebijakan itu sendiri.

Tidak mungkin pemerintah menindak pemerintah (seperti jeruk makan jeruk !).
Contoh konkret adalah dalam konteks otonomi daerah (otda). Otda memberi kewenangan penuh kepada bupati / wali kota untuk menata ruangnya. Tapi, dalam pelaksanaan, mereka yang mestinya mentaati UU itu malah sering melanggarnya, dengan dalih untuk menjawab perkembangan kota maupun PAD.

Untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU itu, perlu dibentuk lembaga pengawas khusus yang independen, yang kewenangannya mirip dengan KPK.

Sanksi bagi pelaku alih fungsi lahan harus benar-benar diterapkan dan mengikat semua elemen masyarakat dan tak boleh ada unsur keberpihakan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jumat, 24 Oktober 2008

Simpanglima sebagai Ruang Publik ''Pluralis''

Oleh: M Agung Ridlo

PEMIKIRAN pakar perencana kota, Kevin Lynch, dalam buku Good City Form, banyak memengaruhi para pakar perencana kota dewasa ini.

Dia melihat kota sebagai suatu "diorama" yang terpampang dalam museum sejarah dan di dalamnya terdapat rentetan peristiwa yang merefleksikan kesan-kesan tertentu.

Dengan kata lain, kota bisa dilihat dari hubungan "diorama kota" dengan sejarah masa lalunya. Penyebaran lokasi permukiman penduduk dan kualitas artefaknya yang berupa gugusan kelompok permukiman, merupakan cerminan dari kelas-kelas sosial masyarakat yang menghuninya. Kelas-kelas sosial masyarakat itu dapat dilihat dari lingkungan huniannya beserta fasilitas penunjang yang dibuat.


Saat itu perencana kota lebih banyak diartikan sebagai perencana fisik (JCS Neider, 1979). Pembangunan plasa (alun-alun), shopping mall, boulevard (jalan-jalan), palace (istana), garden (taman), dan aspek keindahan lain lebih ditonjolkan oleh para perencana kota tanpa dikaitkan dengan aspek-aspek lain, seperti sosial dan ekonomi.

Dalam kurun waktu itulah, para perencana kota ditugasi menerjemahkan gagasan, impian, dan obsesi penguasa dalam usaha mewujudkan jati dirinya yang dituangkan dalam bentuk kota. Penataan kota diukur oleh rasa kepuasan dan pertimbangan dalam skala monumental para urban manager.

Luasnya plaza, nyamannya shopping mall, luasnya boulevard, megahnya istana, teduhnya garden tidak diukur untuk kepentingan semua pihak.

Golongan the have tampaknya akan sangat senang dengan semua itu. Akan tetapi, apakah hal itu bisa dirasakan oleh golongan have not yang proporsinya lebih banyak?

Sebagai contoh, pusat Kota Semarang dahulu adalah Pasar Johar dan sekitarnya (Yaik dan lapangan depan Masjid Kauman). Kemudian pada 1965 oleh Presiden Soekarno diarahkan untuk membuat alun-alun ke selatan ke kaki bukit Candi (Simpanglima saat ini).

Konon ide dan gagasan pembentukan pusat pertumbuhan baru di kawasan Simpanglima adalah sebagai kawasan yang bernuansa religius, budaya, pendidikan, dan sedikit sekali penunjang bangunan bisnis. Harapannya, kelak akan berkembang menjadi aktivitas pluralis. Namun dalam perjalanan waktu dan perubahan urban manager telah terjadi perubahan peruntukan dan fungsi.

Gedung Olah Raga (GOR) pada 1993 berubah menjadi Citraland Mall, open space (lapangan bermain) berubah menjadi Simpanglima Plaza (1988), Wisma Pancasila berubah menjadi Matahari & Hotel Horison, Bioskop Gajahmada (1980) berubah menjadi Ramayana (2003), STM Pembangunan (1980) sekarang namanya SMK 7 kabarnya akan diruilslag? Studi RTBL Kawasan Simpanglima Kota Semarang sudah digulirkan. Akan seperti apakah Simpanglima ke depan? Akan mengakomodasi siapa saja?

Simpanglima dan sekitarnya adalah ruang publik sehingga semestinya menjadi ruang publik. Ruang publik mengandaikan demokrasi pluralis, diharapkan orang menikmati keberadaan bersama orang lain yang berbeda-beda. Peruntukan ruang kemajemukan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Kamis, 23 Oktober 2008

Membangun Sekolah, Mengukir Masa Depan

Catatan Sudharto P Hadi

Mengunjungi tanah rencong bagi saya sungguh merupakan impian. Tahun 2001 saya pernah diundang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) untuk menjadi narasumber pada diskusi tentang pengelolaan sumber alam berkelanjutan. Meskipun makalah telah saya kirim, tetapi karena alasan keamanan, atas saran banyak teman, saya terpaksa membatalkan keberangkatan.

Rasa penasaran untuk merealisasikan kunjungan makin tinggi saat Aceh masih dilanda duka. Seorang teman dari Lhokseumawe yang kebetulan ketemu dalam kunjungan itu seperti mengetahui perasaan saya. Dia mengatakan, ''Beruntung Anda masih bisa menyaksikan Aceh dalam suasana seperti ini.''


Memang, meskipun telah sampai hitungan hari ke-104 setelah bencana tsunami dan tidak tampak lagi mayat-mayat bergelimpangan sebagaimana saya lihat di media elektronik dan cetak, tetapi hati ini merasa masih tersayat. Sejauh mata memandang dari Pantai Ulee Lheue dan Syiah Kuala yang tampak hanyalah puing-puing bangunan yang hancur berantakan.

Di antara luluk-lantak bangunan, masih tampak di sana-sini bangunan masjid dan surau yang tetap berdiri dengan kubahnya. Wilayah Kota Banda Aceh memang menderita paling parah. Ditinjau dari luas daerah bencana, memang hanya mencakup tiga kecamatan. Tetapi, karena penduduknya yang padat, dua pertiga dari jumlah korban di seluruh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, menurut Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh Yunus, adalah dari ibu kota provinsi ini.

Cerita tentang dahsyatnya tsunami rasanya telah banyak diungkap. Satu monumen hidup yang bisa menjadi saksi adalah kapal PLTD Apung berbobot mati 4.000 ton yang terdampar sampai sejauh 3 km dari garis pantai. Kapal ini sekarang teronggok di antara rumah-rumah penduduk. Bisa dibayangkan sebuah tsunami mampu mengangkat kapal raksasa itu di antara atap bangunan dan gedung-gedung.

Di antara bangunan yang berantakan adalah bangunan sekolah. Bencana tsunami bukan hanya menyebabkan warga Aceh kehilangan anak, suami, istri, sanak keluarga, handai-taulan, tetapi juga anak-anak sekolah kehilangan tempat dan fasilitas belajar. Tsunami bukan hanya menyapu bangunan fisik, melainkan peralatan dan sarana belajar.

Membayangkan bagaimana bencana itu terjadi dan menyisakan demikian besar kerusakan, memunculkan perasaan bahwa kita ini hanyalah makhluk yang amat kecil di mata Sang Khalik, apalagi kalau di antara puing-puing reruntuhan itu masih tersisa bangunan masjid dan surau-surau. Hanya mukjizat dan kebesaran Tuhan yang menjadi jawabannya.

***

Berangkat dari kondisi itu, harian Suara Merdeka yang telah berhasil menghimpun dana dari pembacanya sejumlah Rp 8,6 miliar mengalokasikannya untuk membangun gedung sekolah di wilayah Blang Padang, Punge Jurong, Desa Tongkil, Kecamatan Meuraxa, salah satu kecamatan yang paling parah di wilayah Banda Aceh.

Keharuannya karena langkah Suara Merdeka ini merupakan bentuk tindakan nyata dan pertama kalinya untuk membangun sekolah dasar.

Dalam catatannya, sejak Aceh ini diterpa tsunami, banyak pihak yang menyatakan kesediaannya untuk membantu, bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga pihak-pihak asing.

Akan tetapi yang benar-benar merealisasikan masih sangat minim. Hal ini sejalan dengan pengamatan Forum Rektor yang melakukan kunjungan pada akhir Februari bahwa komitmen bantuan baru terealisasi 30%.

Ketua PWI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Adnan NS yang juga anggota DPD Provinsi NAD menyempatkan hadir pada upacara tersebut, meskipun malam harinya masih di Lhokseumawe untuk suatu acara.

''Bagi saya perjalanan empat jam sangat tidak berarti dibandingkan dengan perjalanan dan niat mulia teman-teman Jawa Tengah,'' katanya.

Dengan bantuan pembaca Suara Merdeka ini, dia merasakan bahwa Aceh sekarang tidak merasa sendirian. ''Komitmen yang ditunjukkan oleh berbagai pihak di Tanah Air menunjukkan Aceh adalah bagian dari republik ini,'' katanya.

Pernyataan Ketua PWI ini rupanya sejalan dengan kesan dr. Budi Laksono MHSC, relawan PMI Kota Semarang yang telah sebulan di tengah-tengah pengungsi di Desa Muenasah, Kecamatan Lepong, Aceh Besar. Dia bukan hanya memberikan pertolongan medis, melainkan juga bersama-sama dengan warga membangun rumah sederhana berukuran 4 x 5 m bagi para korban.

Di sela-sela percakapan informal setelah saya menyerahkan bantuan paket buku pelajaran kepada Sekda, Kepala Diknas, para kepala sekolah dan Ketua PWI, saya juga mengatakan mahasiswa Aceh di Undip yang keluarganya tertimpa bencana, kita bebaskan SPP-nya.

Melalui koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta para alumnus Undip, kita juga membantu biaya hidup mereka.

Gedung yang dibangun atas bantuan pembaca Suara Merdeka merupakan gedung SD gabungan. Sebelum tsunami, di lokasi yang luasnya sekitar 6000 m2 itu terdapat tiga SD, yakni SD 2, 10, dan 11. Luas gedung yang akan dibangun mencapai 2100 m2 direncanakan untuk menampung murid-murid ketiga sekolah yang sekarang masih nebeng belajar di berbagai gedung sekolah yang lain seperti SMP 1 yang letaknya tidak di lokasi bencana. Salah satu sisa-sisa bangunan di lokasi itu yang masih berdiri, meskipun tidak lagi tegak, yaitu satu bangunan bertingkat dari salah satu SD.

Pada dinding tangga bangunan ini masih terpampang moto ''Belajar di Waktu Kecil bagai Mengukir di Atas Batu, Belajar di waktu Besar bagai Mengukir di Atas Air''. Makna dari tulisan itu adalah bahwa pendidikan dasar itu sangat penting, karena pengetahuan yang diberikan akan terpateri dalam hati seperti sebuah ukiran di batu dan tidak gampang lenyap seperti ukiran di air. Karena itu, membangun sekolah dasar berarti meletakkan dasar yang kuat untuk masa depan anak-anak kita. Bencana dan kerusakan memang wajar kita ratapi, tetapi jangan biarkan anak-anak kita telantar dan kehilangan kesempatan mengukir masa depan mereka.

Terima kasih kepada teman-teman pembaca, semoga bantuan kita bukan hanya mampu meringankan penderitaan suadara-saudara kita, melainkan juga mampu mengaktualisasikan moto itu menjadi kenyataan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Menurun, Kualitas Lingkungan di Kampus PTN

KAWASAN kampus PTN tumbuh menjadi pusat hunian baru. Populasi mahasiswa yang besar memancing aktivitas ekonomi seperti pendirian warung, asrama mahasiswa, dan properti. Ketersediaan air bersih dan tata ruang perlu diperhatikan.

Tiga kawasan kampus PTN di Semarang yakni Tembalang (Undip dan Polines), Sekaran (Unnes), dan Ngaliyan (IAIN Walisongo) mengalami pertumbuhan populasi yang menakjubkan. Jumlah penduduk membengkak karena keberadaan "kaum urban temporer" yakni mahasiswa.


Pakar lingkungan Prof Sudharto P Hadi MES PHd menyatakan, "kampus merupakan wanted facilities. Berkebalikan dengan tempat pembuangan sampah yang merupakan unwanted facilities," ujarnya.

Ibarat pepatah ada gula ada semut. Populasi mahasiswa yang relatif tinggi memancing pertumbuhan aktivitas ekonomi seperti asrama mahasiswa, warung makan, toko, warung internet, dan aneka penyedia kebutuhan. Perkembangan selanjutnya, kampus menjadi kawasan yang strategis sehingga mendorong minat pendirian properti.

Air dan Tata Ruang

Sekaran Gunungati yang merupakan kawasan Universitas Negeri Semarang (Unnes) bisa menjadi gambaran pengaruh kampus terhadap modernitas. Sebelum tahun 1983, Sekaran hanyalah padang rumput gersang tempat meng-gembala ternak. Fasilitas seperti jalan dan penerangan serba terbatas, gaya hidup masyarakatnya pun masih "bersahaja".

Tiga belas tahun setelah Unnes (IKIP Semarang) boyongan dari Jalan Kelud ke Sekaran, kawasan itu mulai menggeliat. Kini Sekaran merupakan kawasan yang padat. Diperkirakan populasi mahasiswa mencapai belasan ribu, hampir sama dengan populasi penduduk "pribumi". Kondisi serupa juga terjadi di Tembalang dan Ngaliyan.

Penduduk di kawasan kampus menangguk manfaat ekonomi yang besar. Namun ada juga dampak negatifnya. Sudharto mengungkapkan, sesuai teori lingkungan, semakin besar populasi semakin besar pula eksploitasi terhadap alam.

Ketersediaan air bersih dan masalah tata ruang mulai menimbulkan persoalan. Kalangan mahasiswa Unnes mengaku mulai mengalami kesulitan air bersih. Hal itu dialami penghuni kos di sebagian kampung Sekaran dan Banaran.

Debit air dari sumur atau sendang semakin menyusut. Untungnya ada beberapa warga yang memiliki sumur artesis sehingga masalah kekeringan tidak terlampau mengganggu. Meski demikian mahasiswa berharap pihak kampus melakukan langkah nyata untuk menyediakan sarana air bersih.

"Kami berharap kampus memfasilitasi penyediaan sarana air bersih, misalnya dengan menggandeng PDAM," pinta seorang mahasiswa.

Di Ngaliyan, beberapa perumahan yang dijadikan kos mahasiswa juga mengalami kesulitan air bersih. "Terutama kelurahan Bringin dan perumahan baru yang belum memiliki jaringan PDAM," ungkap seorang mahasiswa.

Di kawasan Tembalang, banyak fasilitas ekonomi seperti warung internet yang tidak menyediakan air bersih di kamar kecilnya. Untungnya kos-kosan mahasiswa masih tersedia cukup air.

Problem lain adalah masa-lah tata ruang. Tingginya harga tanah membuat pemilik lahan seakan tak rela ada sejengkal tanah yang "menganggur". Semua dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan. Akibatnya tata ruang kawasan kampus terkesan semerawut.

Lahan Terbuka

Pakar Lingkungan Unnes Drs Kukuh Santoso menyatakan saat ini kualitas lingkungan di Sekaran masih baik. Tetapi ada indikasi terjadi penurunan kualitas. Ia berharap ada perhatian bersama dari semua komponen, yakni pihak kampus, pemerintah kota, dan ma-syarakat untuk menjaga kualitas lingkungan.

"Saat ini kualitas lingkungan masih baik, tetapi lima tahun mendatang, jika tidak ditangani secara serius bisa menjadi masalah besar," ungkapnya khawatir.

Lingkungan di dalam kampus sudah dikelola secara baik. Senat Unnes telah membuat ketetapan untuk mempertahankan lahan terbuka di dalam kampus minimal 40%. Kami juga memiliki hutan kampus, kawasan penghijauan, serta kebun biologi," ujarnya.

Yang menjadi masalah adalah lingkungan di luar kampus. Menurutnya, warga "asli" Sekaran memiliki kearifan dalam menjaga lingkungan. Tercermin dari letak rumah asli milik warga kampung yang agak jauh dari jalan. Serta adanya lahan terbuka dan pepohonan di sekitar rumah. Namun kaum pendatang yang membuka usaha bisnis di Sekaran cenderung mengabaikan kelestarian lingkungan.

Kukuh Santoso menyoroti ulah pengembang yang membangun kompleks perumahan , yang didirikan di lahan kritis. "Para pengembang terkesan arogan, menganggap teknologi bisa mengatasi masalah lingkungan," tudingnya.

Solusi yang ditawarkan oleh Kukuh Santoso adalah pembuatan sumur resapan serta menghindari pavingisasi dan betonisasi. "Selain itu Pemkot juga perlu lebih berhati-hati memberikan IMB," harapnya.

Tren yang cukup positif adalah kecenderungan persebaran hunian mahasiswa yang tidak lagi terpusat di satu titik yakni Sekaran.

Tetapi menyebar ke kawasan yang lebih luas seperti Patemon, Muntal, Ngijo. Ini membuat "beban" yang disangga Sekarang menjadi berkurang.

Pakar lingkungan Sudharto P Hadi menilai kualitas lingkungan di kawasan Tembalang masih baik. Lahan terbuka di kawasan kampus masih ideal, lebih dari 65%. Meski demikian ia menilai, lebih bagus lagi kalau tersedia pasokan air bersih dari PDAM.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Mengapa Menolak Jalan Tol?

Oleh Sudharto P Hadi

Kehadiran jalan tol juga tidak menaikkan nilai properti (tanah dan rumah). Bahkan nilai properti sepanjang jalur yang dilewati tol cenderung menjadi kurang kemedol. SEMUA pihak menyadari bahwa jalan bebas hambatan (tol) Semarang-Solo telah mendesak untuk dibangun mengingat padatnya arus lalu lintas di jalur reguler sekarang ini. Dua kota penting di Jawa Tengah itu hanya berjarak 100 km, tetapi harus ditempuh selama dua setengah jam sampai tiga jam dengan mobil pribadi atau bus umum. Dibanding provinsi lain di Jawa, Jawa Tengah termasuk yang paling minim memiliki fasilitas jalan tol. Tidaklah mengherankan kalau bagi pemprakarsa proyek, jalan tol Semarang-Solo bukan hanya soal kebutuhan melainkan juga menjadi pertaruhan prestis antarprovinsi.


Namun, rupanya tidak gampang merealisasikan gagasan pemerintah provinsi itu. Rencana pembangunan jalan tol kembali menuai hambatan. Setelah warga Klentengsari dan Tirtoagung di wilayah Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, menolak permukiman mereka dilewati, kini giliran warga Kalirejo, Ungaran, meminta dilakukan pengalihan jalur. Sementara itu warga Kelurahan Susukan di kecamatan yang sama meminta ganti rugi atas tanah dan bangunan dengan jumlah yang tinggi alias meminta ganti untung.

Mengapa terjadi penolakan, dan mengapa masyarakat meminta ganti untung?

Unsur Profit

Jalan tol memang untuk kepentingan umum; namun demikian terdapat unsur profit dalam pengoperasiannya. Pengguna jasa jalan tol harus membayar dengan tarif yang selalu naik dari tahun ke tahun. Ada perhitungan untung-rugi di dalam pembangunan dan pengoperasiannya.

Berbeda dari jalan provinsi, kabupaten, dan kota atau jalan negara, yang memang murni untuk kepentingan umum. Dalam kasus jalan tol, menjadi lumrah kalau warga masyarakat kemudian ingin juga memperoleh nilai tambah dari transaksi ganti rugi.

Dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh jalan tol dan jalan reguler juga berbeda. Jalan reguler akan membuka akses, sehingga bisa mendongkrak nilai properti (harga tanah dan rumah), sedangkan pada jalan tol masyarakat justru kehilangan akses terhadap jalan tersebut, karena memang merupakan jalan bebas hambatan.

Kehadiran jalan tol juga tidak menaikkan nilai properti (tanah dan rumah). Bahkan nilai properti sepanjang jalur yang dilewati tol cenderung menjadi kurang kemedol. Bukan hanya karena tidak adanya akses ke jalan tol, tetapi juga karena sebab lain.

Satu-satunya yang membuat selling point adalah warga yang memiliki mobil yang berdekatan dengan gerbang tol, karena akses jalan tol melalui gerbang bisa menghindarkan kemacetan lalu lintas di kota.

Konsekuensi Biaya

Pembebasan lahan dari proyek apa pun senantiasa membawa dampak yang signifikan kepada berbagai bidang kehidupan. Jika yang dibebaskan itu sawah atau ladang, akan mengubah mata pencaharian. Tidaklah mudah bagi warga masyarakat untuk berpindah mata pencaharian; dan itu terjadi karena keterbatasan keterampilan mereka. Sementara itu jika mendapatkan pekerjaan baru, belum tentu tingkat pendapatannya lebih baik dibanding sebelumnya.

Jika yang dibebaskan rumah dan lahan tempat tinggal, berbagai dampak akan dirasakan; di antaranya warga harus pindah ke tempat lain. Perpindahan itu membawa konsekuensi, selain biaya juga waktu dan energi yang besar, karena warga harus mencari tempat baru. Biasanya, harga lahan di tempat lain akan meningkat seiring dengan peristiwa pembebasan lahan. Di lahan baru, mereka harus membangun rumah serta menyesuaikan dengan komunitas baru. Anak-anak kemungkinan juga harus pindah sekolah. Karena itu, pindah tempat tinggal selalu melelahkan, apalagi kalau kepindahan itu dilakukan dengan terpaksa (involuntary resettlement).

Semua konsekuensi tersebut biasanya tidak dikompensasi dengan uang, padahal memerlukan waktu, tenaga, dan menyita pikiran. Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebenarnya sudah memberi ruang untuk mengganti kerugian dalam bentuk lain.

Secara antropologis, tanah itu memiliki keterikatan yang kuat dengan penghuninya, sehingga keberadaannya diperlakukan sebagai sadumuk batuk sanyari bumi. Masih ada orang yang memiliki kepercayaan bahwa mereka harus meninggal di tanah lahirnya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika berbagai kasus pembebasan tanah di banyak tempat berjalan alot.

Kita ingat peristiwa pembebasan lahan di Borobudur untuk keperluan taman wisata candi tersebut pada sekitar 1984 yang menyedot perhatian besar dan menjadi isu nasional. Pembebasan lahan untuk keperluan Waduk Kedungombo pada awal 1980-an, masih menyisakan luka beberapa kelompok masyarakat sampai sekarang. Juga kisah pembangunan Waduk Nipah di Madura yang merenggut nyawa penduduk yang berusaha mempertahankan tanahnya.

Barisan Sakit Hati

Jalan tol memang untuk kepentingan banyak orang dan memiliki kontribusi untuk memacu pertumbuhan ekonomi lokal, regional, bahkan nasional. Namun demikian, rasanya tidak pas kalau atas nama berbagai kepentingan tersebut ada sekelompok masyarakat yang dirugikan. Kebijakan publik yang didasarkan kepada pembobotan (berapa jumlah orang yang mendapatkan dampak positif dan berapa yang terkena dampak negatif), akan menghilangkan rasa keadilan. Da- lam analisis pakar sosiologi Michael Cemea (1989), mereka yang terkena dampak buruk -meskipun jumlahnya sedikit- tidak akan terkompensasi, karena kelompok masyarakat yang lain dalam jumlah yang lebih besar mendapatkan manfaat positif.

Dalam kasus Kedungombo, misalnya, warga masyarakat yang sekarang masih bertahan di sabuk hijau tidak akan terkurangi penderitaannya meskipun petani di Demak, Kudus, dan Grobogan, mendapatkan pasokan air irigasi yang dialirkan dari waduk tersebut.

Lalu apakah kepentingan kelompok kecil masyarakat harus mengalahkan kepentingan yang lebih besar? Yang perlu dicari adalah bagaimana memadukan kepentingan yang berbeda melalui dialog. Pemprakarsa harus secara terbuka menyampaikan deskripsi proyeknya, termasuk di dalamnya rencana rutenya. Hal itu untuk mengurangi spekulasi dan misinformasi. Pengambilan keputusan yang baik adalah yang memungkinkan aspirasi dari berbagai stakeholders diakomodasi. Sekecil apa pun dampak yang akan menimpa warga harus mendapatkan perhatian seksama.

Melalui dialog, memungkinkan dicapainya kesepakatan yang win-win solution. Melalui dialog pula, warga masyarakat akan merasa menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Tentu kita tidak ingin jalan tol kebanggaan Jawa Tengah itu dibangun dengan menyisakan barisan sakit hati seperti yang terjadi di Waduk Kedungombo dan Taman Wisata Candi Borobudur.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Membangun Perguruan Tinggi Kompetitif

Oleh Sudharto P Hadi

PENDIDIKAN tinggi dicirikan oleh kompetisi. Untuk mendapatkan kesempatan belajar di pendidikan tinggi (PT) yang bermutu, para siswa harus bersaing dengan puluhan ribu calon lain. Proses pembelajaran pun dicirikan oleh kompetisi, artinya mereka yang benar-benar cerdas dan disiplin yang akan mendapatkan predikat terbaik.

Ketika mereka lulus dan akan mengaktualisasikan pengetahuan yang didapat dalam lapangan kerja harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan pencari kerja lain. Sampai di sini tugas PT harus mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas yang bukan hanya ahli dan terampil, tetapi juga memiliki wawasan dan sikap sehingga mampu bersaing dan unggul di pasar kerja.


Isu tentang kualitas dan relevansi tersebut menjadi persoalan utama PT di Indonesia. Akar persoalannya sangat beraneka ragam mulai dari terbatasnya dana, sarana dan prasarana sampai pada masih rendahnya budaya akademik.

Sumber persoalan tersebut menjadi pemicu posisi perguruan tinggi kita yang tertinggal dibanding perguruan tinggi lain di Asia tahun 2000. Empat PT yaitu UI, UGM, Undip dan Unair masih masuk jajaran 100 PT terbaik di Asia menurut majalah Asia Week. Tetapi menurut pemeringkatan Shanghai Jiao Tong University Institute of Higher Education tahun 2003 tidak satu pun PT di Indonesia yang masuk dalam jajaran terbaik di Asia.

Masih menyejukkan UGM dikategorikan oleh majalah Times tahun 2005 sebagai PT terbaik urutan ke - 56 di bidang humaniora. Sedangkan ITB masuk dalam daftar 100 PT unggulan di Asia versi Webometrics dilihat dari informasi ilmiah yang menjadi rujukan.

Perlu Otonomi?

Dalam kondisi yang memprihatinkan, untuk mengejar ketertinggalan dalam kualitas dan juga karena keterbatasan dana Pemerintah, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) didorong untuk menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara).

BHMN sebenarnya merupakan pemberian kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri yang dituangkan dalam bentuk status hukum kepada PTN-PTN tertentu yang bersifat publik maupun perdata. Organisasi BHMN dijalankan oleh manajemen yang profesional dan berjiwa wirausaha yang kuat, karena PT BHMN hakikatnya menjalankan usaha dalam bidang pendidikan meskipun diperhalus dengan sebutan kegiatan usaha nirlaba.

Otonomi dalam status BHMN intinya meliputi bidang akademik, keuangan dan kepegawaian. Di bidang akademik PT BHMN diberikan keleluasaan untuk mengelola input (penerimaan mahasiswa, dosen, karyawan, kurikulum, sarana prasarana, sistem informasi) - proses (proses belajar mengajar, praktek, magang) - output (lulusan, hasil iptek) secara profesional dan mandiri.

Di bidang keuangan, PT BHMN dituntut untuk mampu menggali dana-dana dalam rangka membiayai kegiatan akademik menuju kualitas yang baik. Di bidang kepegawaian mulai diterapkan merit system atau mereka yang berprestasi dan kinerjanya baik yang akan memperoleh imbalan lebih tinggi bukan seperti PGPS (Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil) yang sering diplesetkan menjadi Pintar Bodoh Pembayaran Sama.

Trisula BHMN itu memang masuk akal. Untuk meningkatkan kualitas keluaran (lulusan dan ipteks) diperlukan kerja keras dari jajaran pengelola, dosen dan karyawan.

Cucuran keringat itu harus diimbangi dengan imbalan yang memadai. Untuk itu Pimpinan Universitas dan para pengelola setiap unit akademik terus memutar otak mencari sumber-sumber pendanaan agar bisa mencukupi kebutuhan kegiatan proses belajar - mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Mahasiswa

Berkaca dari Perguruan Tinggi (PT) yang sudah lebih dulu menyandang predikat BHMN seperti UI, ITB, IPB dan UGM ternyata mereka memulai mengeduk dana dari sumber yang paling gampang lebih dahulu yakni mahasiswa. Tidaklah mengherankan jika BHMN lalu diindentikkan dengan kenaikan SPP.

UGM misalnya bukan hanya memungut SPP kepada para mahasiswanya, tetapi juga Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang dihitung berdasarkan pada jumlah SKS (satuan kredit semester) yang diambil dengan perincian bahwa untuk mahasiswa jurusan eksak dikenakan Rp 75.000/ sks dan Rp 60.000,-/sks untuk mahasiswa ilmu-imu sosial.

Di ITB dikenal dengan istilah mahasiswa angkatan 45 artinya adalah mereka masuk melalui jalur yang harus memberikan sumbangan sebesar Rp 45 juta.

Di samping sumber mahasiswa, untuk mengisi pundi-pundi pemasukan PT-PT BHMN tersebut mulai membuka berbagai usaha yang tidak selalu terkait dengan urusan akademik misalnya mall, travel biro, toko.

Tahun-tahun pertama dan kedua, sepak terjang PT- PT BHMN memunculkan kontroversi bahkan penolakan bukan saja dari mahasiswa yang tidak setuju dengan kenaikan SPP tetapi juga dari kalangan dosen sendiri yang merasa terusik dengan usaha-usaha yang tidak terkait dengan pendidikan. Sebagian dosen-dosen di salah satu PT BHMN juga mulai resah. Sejak PT mereka berlabel BHMN, curahan kerja lebih keras namun imbalan yang diterima dirasakan belum sepadan.

Unit-unit dipacu untuk menjadi profit centre, tetapi profit itu harus disetor ke tingkat universitas/institut, tetapi tetesan ke bawahnya dirasakan masih seret.

Mencari sumber dana memang layak harus dilakukan karena angka ideal untuk membiayai pendidikan mahasiswa eksak berkisar Rp 18 juta/ mahasiswa per tahun, sedangkan untuk mahasiswa ilmu-ilmu sosial berkisar Rp 15 juta/ mahasiswa per tahun. Sementara itu kontribusi mahasiswa melalui SPP hanya sekitar 20%- 25%. Memang masih ada subsidi dari pemeritnah, tetapi masih belum mencukupi angka ideal di atas.

Persoalannya sekarang bagaimana kiprah BHMN itu agar tidak membebani mahasiswa, tetapi mampu membuat dosen dan karyawan merasa nyaman dan dihargai dalam melaksanakan amanat tri dharma Perguruan Tinggi.

Memulai yang Ada

PT-PT yang telah berkiprah dengan predikat BHMN memang menunjukkan kemampuannya dalam menggali dana masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kepiawaian itu dibarengi dengan peningkatan kualitas?

Pertanyaan itu layak diajukan karena persoalan mendasarnya adalah rendahnya kualitas dan relevansi. Berkaca dari sepak terjang PT-PT BHMN, agaknya lebih pas kalau garis start nya dimulai dengan peningkatan mutu.

Bicara mutu sesungguhnya inheren dengan kegiatan keseharian yang dilaksanakan oleh setiap unit akademik. Misalnya syarat kehadiran 75% bagi mahasiswa untuk bisa mengikuti ujian akhir semester, perlunya setiap mata kuliah dilengkapi dengan GBPP (Garis-garis Besar Pokok Pengajaran), SAP (Satuan Acara Perkuliahan), kontrak perkuliahan, buku ajar, kurikulum disusun berdasarkan basis kompetisi dan sebagainya.

Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian disistematisasikan dalam bentuk standar mutu dengan memasukkan komponen mutu lain mulai dari input-proses dan output. Kaidah mutu itu cukup sederhana yakni kerjakan apa yang ditulis dan tulis yang dikerjakan. Artinya adalah bahwa penentuan standar itu perlu disesuaikan dengan kondisi di masing-masing unit.

Namun demikian prinsip perbaikan berkelanjutan harus dipegang karena setiap siklus evaluasi perlu membandingkan posisi dengan PT lain. Hal ini sebagai pemacu untuk meraih reputasi terhormat baik dalam skala nasional maupun internasional.

Jika kultur mutu telah merasuk dalam sanubari para pengelola, dosen dan karyawan maka secara simultan harus digelindingkan dua trisula lain yakni keuangan dan kepegawaian. Merevitalisasi dan mendayagunakan unit-unit untuk mampu menghasilkan dana (profit centre) harus diagendakan. Dana ini dikelola dengan transparan dan akuntabel untuk membiayai upaya peningkatan kualitas dan imbalan bagi dosen dan karyawan yang bekerja lebih giat.

Memang tidak semua unit bisa dipaksakan untuk menjadi profit centre tetapi keberadaannya dibutuhkan. Di sinilah perlunya pengelolaan dengan prinsip subsidi silang. Kita memang musti bergerak ke sana, namun dengan sikap waspada agar jatidiri PT sebagai lembaga pendidikan yang merakyat tidak pernah luntur.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Reklamasi Marina, Mengapa Diributkan?

Oleh: Sudharto P Hadi

REKLAMASI Pantai Marina menjadi berita hangat beberapa hari ini. Bermula dari kekhawatiran banyak pihak bahwa proyek besar itu akan memperburuk rob dan banjir yang telah menjadi langganan warga pantura Semarang, wacana itu terus berkembang. Terutama setelah ditengarai proyek kontroversial itu belum disertai kajian lingkungan.

Tidak kurang para anggota DPRD Kota yang masih gres turut nimbrung. Sebelum mencermati kemungkinan dampak yang muncul dari reklamasi yang sesungguhnya sudah berjalan tersebut, rasanya cukup arif kalau kita menengok berbagai dampak yang muncul dari kegiatan sejenis di seantero pantai utara Semarang dan sekitarnya.


Wilayah pesisir merupakan daerah yang penting tetapi rentan (vulnarable) terhadap gangguan. Pentingnya wilayah pesisir bisa dilihat dari fungsinya sebagai penyangga wilayah daratan, sebagai tempat pemijahan biota air, sebagai penangkal gelombang.

Makna reklamasi dalam arti yang sebenarnya adalah upaya memperbaiki daerah yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sebagaimana disebutkan di atas (Ensiklopedia Nasional Indonesia dalam Pratikto, 2004). Reklamasi, karena itu, merupakan upaya meningkatkan sumber daya alam lahan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan cara pengurangan atau dengan pengeringan lahan. Praktiknya, reklamasi yang banyak dilaksanakan di Indonesia tidak memenuhi kriteria definisi tersebut. Dengan reklamasi justru timbul berbagai dampak sosial dan lingkungan. Mari kita cermati beberapa reklamasi di sepanjang pantura Semarang dan sekitarnya.

Dampaknya

Di Kota Semarang, pengurugan tambak, reklamasi (dalam bentuk penambahan areal daratan) dilakukan pada sekitar tahun 1985 untuk memfasilitasi perumahan mewah, PRPP (Pekan Raya Promosi dan Pembangunan), Taman Mini Jawa Tengah yang disebut Maerokoco, Taman Marina, dan Studio 21.

Di samping itu, dilakukan penyudetan Sungai Tawangmas dan Ronggolawe serta pembelokannya ke Banjirkanal Barat yang hampir 90 derajat. Kegiatan ini menyebabkan banjir di kawasan Tawangaglik Lor, Tawangaglik Kidul, dan Tawangrejosari. Di sisi timur Pantai Marina terlihat daerah terabrasi.

Akibat signifikan reklamasi dan pembelokan ini, hilangnya alur Sungai Tawangmas ke muara yang sebelumnya dipergunakan nelayan sebagai landing place. Kawasan pantai yang telah direklamasi kini dikuasai pihak swasta. Masyarakat yang ingin menikmati ruang publik di sekitar PRPP harus membayar biaya masuk. Menurut catatan seorang anggota DPRD Kota Semarang, lebih dari 60% ruang publik pantai di Kota ATLAS ini dikuasai swasta.

Di wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal, menurut Sutrisno (2000), kerusakan pantai diduga disebabkan oleh salah satu industri yang mereklamasi dan membelokkan sungai. Daerah yang cukup parah mengalaminya adalah Desa Mangunharjo dan sebagian Mangkangwetan. Luas tambak yang rusak 65 hektare dengan jumlah pemilik tambak 38 orang. Terdapat 6 pemilik yang tambaknya hilang (menjadi laut) dan kehilangan mata pencaharian serta pendapatan. Sebagian besar yang lain, karena tambaknya tidak lagi produktif, pendapatannya berkurang secara signifikan.

Abrasi pantai juga terjadi di Desa Kartikajaya, Patebon, Kendal. Menurut catatan Pemkab Kendal (2001), luas wilayah pesisir yang terkena abrasi 1,30 km atau 15 ha. Abrasi diduga di antaranya disebabkan perubahan pola arus yang diakibatkan anjungan/pemecah ombak yang dibangun sebuah industri di sebelah barat desa. Petambak (pemilik dan penggarap) yang hidupnya bergantung pada sumber daya pesisir mengalami kerugian akibat berkurangnya lahan tambak dan penurunan pendapatan akibat menurunnya produksi tambak dan tangkapan yang dipicu oleh abrasi dan pencemaran.

Pantai Marina

Reklamasi yang sedang diributkan terletak di sebelah barat Pantai Marina yang akan menambah areal sekitar PRPP. Pengembang telah menguruknya dan dari kejauhan telah tampak daratan memanjang. Di sisi barat lokasi reklamasi mengalir Sungai Silandak. Terdapat beberapa isu penting yang perlu dicermati.

Pertama, terjadinya alur sungai yang makin panjang sehingga memperlama genangan yang memicu banjir. Yang juga patut dicermati, sisi barat sungai merupakan areal Bandara Ahmad Yani yang baru saja menyandang predikat bandara internasional. Kedua, jika dilihat dari pola dampak yang muncul di tempat lain, kemungkinan terjadinya abrasi karena perubahan pola arus sangat besar.

Ketiga, perubahan ruang pesisir menjadi daratan menyebabkan hilangnya biota laut yang berarti populasi ikan akan berkurang. Jika sepanjang Pantai Marina merupakan daerah penangkapan, itu berarti mengancam gantungan hidup nelayan.

Keempat, daerah yang direklamasi akan berpotensi menjadi daerah privat yang bertentangan dengan kaidah pantai sebagai ruang publik. Kalau areal PRPP dan sekitarnya telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial, tambahan luasan daratan ini diperkirakan akan menambah akumulasi dampak buruk.

Bukan Amdal-amdalan

Berbagai catatan di atas makin menambah keyakinan, reklamasi harus disertai analisis dampak lingkungan (amdal). Dalam Kepmen No 17 Tahun 2001 tentang Proyek-proyek Wajib Amdal ditetapkan, reklamasi dengan luasan lebih dari atau sama dengan 25 ha harus dilengkapi amdal. Melihat begitu signifikan dampak reklamasi, studi amdal harus dilakukan dengan cermat dan sungguh-sungguh, bukan amdal-amdalan. Esensinya, amdal merupakan kajian lingkungan yang dilakukan pada tahap perencanaan, yakni sebelum proyek dimulai.

Amdal memberikan dua kemungkinan hasil. Pertama, proyek yang diamdal dinyatakan tidak layak sebagaimana pada reklamasi di pantai Jakarta. Kedua, reklamasi layak dengan persyaratan dilakukan pengelolaan pada setiap fase kegiatan. Dengan demikian, tidak boleh kegiatan mendahului kajian sebagaimana yang kita saksikan pada reklamasi di Pantai Marina saat ini.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Transportasi Berwawasan Lingkungan

Oleh : Prof. Sudharto P Hadi, PhD

TRANSPORTASI berwawasan lingkungan masih merupakan dambaan, namun bisa menjadi kenyataan jika semua mengupayakannya. Mendampingi walikota Semarang mengikuti Asian Mayor's Policy Dialog for the Promotion of Environmentally Sustainable Transport (EST) in Cities di Kyoto, Jepang belum lama ini, saya catat beberapa hal yang menarik untuk dikaji.

Dari Indonesia, selain Semarang, kota lain yang diundang adalah Yogyakarta dan Surabaya. Forum diikuti oleh 28 kota dari 16 negara di Asia dengan sponsor utama Badan PBB untuk Pembangunan Regional (United Nations Centre for Regional Development) dan Kementerian Lingkungan Jepang. Keikutsertaan Kota Semarang tentu saja membanggakan tetapi sekaligus juga menjadi tantangan. Membanggakan karena, merupakan kesempatan Kota Semarang berbagi pengalaman dalam mengelola transportasi pada skala internasional, apalagi kota ini lagi getol dengan program SPA-nya (Semarang Pesona Asia).


Merupakan tantangan, karena Walikota Semarang menjadi salah satu penandatangan Deklarasi Kyoto yang berkomitmen untuk melaksanakan Transportasi Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Mengapa Yogyakarta, Semarang dan Surabaya, dan bukan Jakarta yang telah diakui keberhasilannya meluncurkan bus way? Ketiga kota itu bisa dibilang kota lapis kedua, baik dalam jumlah penduduk maupun luas wilayah.

Ketiganya masih dipandang sebagai kota medium berpenduduk antara 500.000 jiwa - 3.000.000 jiwa. Dengan kondisi seperti itu diharapkan masih belum terlambat mengantisipasi perkembangan transportasi yang sangat cepat.

Enviromentally Sustainable Transport (EST) atau Transportasi Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan adalah transportasi yang mampu memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan kepentingan dan kebutuhan generasi yang akan datang. Definisi yang diadopsi dari pembangunan berkelanjutan ini menyiratkan kritisnya transportasi perkotaan yang telah mengarah ke kondisi yang tidak berkelanjutan.

Ditengarai sektor transportasi menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan menyumbang sampai dengan 25%. Di samping polusi udara, kegiatan transportasi menghasilkan kebisingan, debu, getaran yang menurunkan kualitas kesehatan dan produktivitas kerja.

Penyebab Utama Kematian

Transportasi menjadi penyebab utama kematian. Setiap tahun 1,2 juta jiwa melayang karena kecelakaan lalu lintas. Negara di Asia memiliki angka kecelakaan lalu lintas 80 kali dibanding Eropa. Di ASEAN, diperkirakan 75.000 jiwa melayang setiap tahun karena kecelakaan lalu lintas dan 4,7 juta orang mengalami luka-luka. Badan PBB untuk Kesehatan (WHO) mencatat setiap hari terdapat 1.049 anak usia muda (di bawah 25 tahun) meninggal karena kecelakaan dan setiap tahun hampir 400.000 anak usia muda meninggal di jalan.

WHO menyimpulkan kecelakaan lalu lintas menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan kerugian ekonomi karena tragedi kecelakaan lalu lintas mencapai US$ 15.1 miliar. Di Jawa Tengah sebagaimana dikutip dari pernyataan Direktur Poltas, Polda Jawa Tengah, tahun 2005 jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas 4.580 orang.

Meningkatnya jumlah kendaraan menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas yang menurunkan produktivitats dan stres. Penggunaan kendaraan yang terus meningkat mendorong terjadinya penggunaan bahan bakar dari energi fosil yang jumlahnya makin terbatas.

Kota-kota di negara berkembang umumnya mengalami masalah transportasi yang hampir sama. Pertama, moda transportasi ditandai dengan makin banyaknya kendaraan bermotor (mobil pribadi dan sepeda motor). Di Kota Semarang pertumbuhan kendaraan tiap tahun 6% dan didominasi kendaraan pribadi dan sepeda motor 77%, sedangkan mobil penumpang hanya 19%.

Disamping jumlahnya yang tidak memadai, kondisi transportasi umum juga masih belum nyaman, belum aman, dan belum terjangkau. Kondisi itu mendorong orang untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dan sepeda motor. Penggunaan kendaraan pribadi dan sepeda motor juga disebabkan oleh kenyataan bahwa tata ruang kita memisahkan antara tempat produksi (tempat kerja, sekolah, belanja, rekreasi) dengan tempat konsumen (tempat tinggal). Sebagian besar warga kota harus nglajo dari pinggiran kota ke pusat kota. Kendaraan pribadi para penglajo tidak efisien, karena hanya dimuati 1 orang dan maksimal 2 orang.

Penelitian saya tahun 1996 di lima gerbang Kota Semarang (Jatingaleh, Siliwangi, Pedurungan, Genuk, dan Jalan Hasanuddin) menunjukkan occupancy rate (jumlah penumpang pada setiap kendaraan pribadi) sangat rendah yakni sekitar 50%-60% kendaraan hanya berpenumpang 1 orang. Sekitar 30%-35% kendaraan berpenumpang 2 orang.

Kehidupan di kota menjadi mekanis dan tidak humanis, karena warga kota menjadi sangat tergantung pada kendaraan bermotor. Di beberapa ruas jalan masuk seperti Jalan Teuku Umar, Jatingaleh, Jalan Siliwangi, Semarang Barat, kawasan Pedurungan dan Genuk pada pagi dan sore hari macet yang makin hari makin parah.

Persoalan kedua, tingkat pencemaran makin tinggi. Motorisasi alat angkutan memang membawa kemudahan dan mobilitas yang memicu pertumbuhan ekonomi. Namun demikian motorisasi alat angkutan membawa serta pencemaran udara.

Di Semarang, parameter lingkungan yang terlampau ambang batasnya adalah particulatematic (PM 10). Dari uji emisi yang dilakukan pada tahun 2005 menunjukkan dari 800 kendaraan sampel, 50%-nya melebihi ambang batas. Secara rinci menunjukkan, kendaraan berbahan bakar bensin terdapat 42,16% yang tidak lulus uji, sedangkan yang berbahan solar yang tidak lulus uji sebanyak 99,4%.

Jumlah karbonmonoksida 889,334 atau 0,6 ton per jiwa. Angka ini setara dengan volume CO2 di Kota Surabaya. Dominannya kendaraan pribadi bukan hanya menyebabkan pencemaran udara tetapi juga kemacetan lalu lintas.

Data ini mengingatkan temuan Bapedal Pusat tahun 1996, bahwa Semarang menempati peringkat ketiga dalam tingkat pencemaran udara setelah Jakarta dan Bandung. Persoalan ketiga adalah munculnya pertumbuhan pusat kegiatan yang tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas dan pembukaan akses, sehingga menimbulkan kemacetan dan konsentrasi pencemaran udara.

Program Terintegrasi

Forum pertemuan menetapkan 12 butir program terintegrasi dalam mencapai EST di antaranya pemeliharaan dan keselamatan jalan, memperbaiki manajemen lalu lintas, menciptakan transportasi yang memperhatikan kesetaraan gender dan keadilan. Disamping itu juga mengintegrasikan kebijakan transportasi umum dengan tata guna lahan dan tata ruang. Juga memprakarsai dan memfasilitasi angkutan tidak bermotor seperti sepeda, memelopori penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, melaksanakan pemantauan pencemaran udara, uji emisi, serta memperkuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat.

Di antara butir-butir agenda yang harus dilaksanakan, sebenarnya Semarang telah melakukan beberapa program di antaranya uji emisi kendaraan, mengganti bus umum yang bermuatan lebih banyak serta meluncurkan bus umum ber-AC. Butir kedua dimaksudkan untuk mendorong warga kota menggunakan kendaraan umum sehingga bisa mengurangi arus lalu lintas dan pencemaran udara.

Dalam upaya mengintegrasikan kebijakan transportasi dengan tata guna lahan, pembangunan rumah susun di pusat kota seperti Bandarharjo, Pekunden, dan Genuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk tidak nglajo ke tempat kerja atau jika harus menggunakan kendaraa umum, cukup accessible.

Dari kota-kota peserta, Singapore, Kyoto dan Seoul dinyatakan sebagai kota-kota yang berhasil melaksanakan elemen EST. Tiga kota ini dengan cepat mampu menyediakan transportasi publik beragam (bus, sub-way) yang nyaman, aman dan terpercaya serta terjangkau. Tingkat kebisingan dan pencemaran udara juga bisa ditekan seminimal mungkin dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan uji emisi secara rutin dan teratur.

Kyoto yang dinobatkan sebagai kota budaya dengan penduduk yang hampir sama dengan Kota Semarang yakni 1,4 juta jiwa tetapi mampu meraup turis sebanyak 47 juta orang per tahun, berhasil dalam mendorong penggunaan sepeda sebagai moda transportasi. Meskipun angkutan kotanya sangat memadai, namun penggunaan sepeda sangat intensif. Di kantor, mall, stasiun, kampus, disediakan parkir sepeda yang memadai. Semua jalan selalu tersedia jalur khusus untuk sepeda.

Bernuansa Top-Down

Jika elemen-elemen EST itu dicermati, sebagian besar merupakan kebijakan yang harus diprakarsai oleh Pemerintah Kota. Melihat persoalan transportasi yang demikian kompleks sesungguhnya terlalu berat kalau hal itu hanya dibebankan ke pundak Pemerintah Kota. Prakarsa transportasi berwawasan lingkungan juga bisa datang dari warga masyarakat.

Misalnya antar-jemput anak sekolah. Program ini bisa mengurangi volume kendaraan dan pencemaran udara karena lebih efisien. Daripada masing-masing anak diantar dan dijemput dengan kendaraan pribadi, akan lebih efisien jika berangkat dan pulang bersamaan dengan teman-teman yang tempat tinggalnya masih berada di satu kawasan atau satu jalur.

Program ini secara ekonomis lebih menguntungkan dan secara ekologis memberikan sumbangan bagi kelestarian lingkungan. Program yang sama juga dilakukan oleh beberapa instansi Pemerintah Provinsi yang menjemput dan mengantar karyawannya di beberapa tempat dalam satu jalur. Pemerintah Kota Semarang tahun depan akan mencanangkan program ini untuk karyawannya.

Di Jakarta, para penglajo yang tinggal di Bekasi, Tangerang, Depok memprakarsai program car poll. Mengepol kendaraan (biasanya mini bus atau kijang) di satu tempat, lalu mereka berombongan berangkat menuju pusat Kota (Jakarta) dan kembali juga bersama-sama pada sore hari. Langkah ini lebih menghemat, karena para anggota car poll bisa berbagi beban untuk membayar bahan bakar dan biaya tol.

Di Semarang beberapa tahun yang lalu, warga masyarakat di Srondol pernah melakukan hal yang sama. Fenomena ini sudah selayaknya ditangkap oleh Pemerintah Kota untuk difasilitasi dalam bentuk subsidi bahan bakar dan penyediaan parkir khusus di mana car poll ini ngetem.

Dialog walikota di Kyoto ini disamping rada bernuansa top down yaitu menekankan pentingnya prakarsa Pemerintah Kota, juga nampak bernuansa developed country based. Dalam Deklarasi Kyoto sebanyak 9 butir semula tidak ada klausul tentang perkembangan jumlah sepeda motor yang sangat signifikan yang terjadi di kota-kota di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Cambodia, Laos, India, Sri Lanka, Cina yang harus diantisipasi dampaknya.

Malaysia memandang sepeda motor merupakan jawaban atas masih buruknya transportasi umum. Namun demikian dampak penggunaan sepeda motorlah yang harus diantisipasi, misalnya dengan menyediakan jalur khusus untuk mereka dan meng-enforce uji emisi secara rutin. Fenomena sepeda motor memang tidak nampak di kota sekaliber Singapore, Tokyo maupun Seoul.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Rabu, 22 Oktober 2008

Perlu BTS Terpadu agar Tak Tampak Semrawut

Semarang, Kompas - Pemasangan menara pemancar atau base transceiver station atau BTS yang sangat semrawut di Kota Semarang wilayah atas menunjukkan penataan kota belum terencana secara matang. Agar tak semrawut, pemkot seharusnya memfasilitasi pemasangan BTS terpadu bagi perusahaan telekomunikasi.

"Suatu kota yang telah memikirkan kemajuan teknologi informasi seharusnya memiliki bangunan atau menara untuk pemasangan pemancar bersama. Di perbukitan atau pegunungan juga hanya ada satu menara relai untuk memperluas jaringan," ujar pemerhati Kota Semarang Dr Eddy Prianto DEA CES, Sabtu (15/7).


Menanggapi kesemrawutan pemasangan BTS di Kota Semarang yang mencapai lebih dari 114 buah (Kompas, 14/7), Eddy mengatakan, hal ini karena regulasi yang kurang memerhatikan nilai estetika kota.

Dengan penerapan aturan main yang jelas dan pas, pemasangan BTS tak akan hanya menggunakan surat izin mendirikan bangunan (IMB). "IMB itu berlaku seumur hidup selama bangunan tak berubah. Menara pemancar akan tetap seperti itu. Namun, lambat laun, karena konstruksi atau bahan kurang berkualitas, jatuh menimpa sekitarnya. Ini tanggung jawab siapa?" tanya Eddy.

Karena itu, Eddy menyarankan pemberian IMB menara pemancar diberlakukan khusus. Sekretaris Program Pascasarjana Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro Semarang ini menyarankan, perhitungan luasan bangunan diambil dari tinggi menara sebagai jari-jari.

Menurut Eddy, Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Jawa Tengah sudah saatnya memegang peran pemberian izin. Selama ini, terkait keselamatan penerbangan, dinas ini hanya menjadi institusi yang memberi rekomendasi.

Ditemui terpisah, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Semarang Widi Widodo didampingi Kepala Bidang Analisis Pencegahan Dampak Lingkungan Hening Swaskito, mengatakan belum pernah menerbitkan dokumen lingkungan untuk pendirian BTS. "Secara teknis, pendiriannya hanya (berdasar) perda bangunan," kata Widi.

Sumber : Kompas

Read more.....

Arsitektur Rumah Tropis untuk Merespon Perubahan Iklim

Arsitektur rumah tropis ternyata mampu berkontribusi untuk menurunkan gas rumah kaca di atmosfer. Menurut Dr. Ir. Eddy Prianto CES, DEA, rumah tropis merupakan bentuk tanggapan atas konteks sosial yang terjadi, yaitu krisis listrik, gerakan hemat listrik, dan pemanasan global.

Rumah tropis hemat energi untuk hadapi pemanasan global

Rumah tropis hemat energi untuk hadapi pemanasan global
Salah satu solusi untuk mengurangi dampak pemanasan global, adalah dengan menerapkan disain rumah tropis hemat energi. Faktanya, rumah yang boros energi, sekitar 80% berasal dari kesalahan desain arsitektur. Berbagai aspek tentang disain rumah tropis hemat energi dibahas dalam kegiatan Seminar Sehari "Home Design Going Green" (HDGG), di Hotel Ciputra, Jakarta pada 5 September 2007.


Kegiatan yang diselenggarakan oleh Ciputra, Century 21 Indonesia, Majalah TREN, dan Tabloid Bintang HOME ini merupakan bentuk kepedulian praktisi dunia desain, dalam menghadapi masalah pemanasan global. Harapannya, peserta dapat mempengaruhi lingkaran jejaring yang lebih luas dan mempromosikan pembangunan rumah hemat energi kepada para kliennya. WWF-Indonesia sangat mengapresiasi partisipasi praktisi dunia desain sumbangan dalam menghadapi masalah Pemanasan Global.

Hemat Enegi

Dr. Ir. Eddy Prianto CES, DEA, salah satu pembicara yang mendapatkan award dari Persatuan Insinyur Indonesia 2007 untuk konsep Rumah Hemat Energi, menyampaikan, " Desain arsitektur rumah yang respek terhadap kondisi iklim setempat, sinar matahari dan gerakan udara untuk kenyamanan penghuni dalam beraktifitas merupakan satu langkah maju. Rumah tropis hemat energi juga bentuk tanggapan atas konteks sosial yang terjadi, yaitu krisis listrik, gerakan hemat listrik, dan pemanasan global."

Dalam diskusi terungkap bahwa konsumsi listrik memberi sumbangan kenaikan emisi CO2 sebesar 19%. Di rumah tinggal, penggunaan pendingin ruangan menempati urutan pertama konsumsi listrik (38%) , diikuti oleh komputer (10%); penanak nasi (10%); mesin cuci (9%); setrika (9%); mesin air (6%); lampu (5%); pemanas air (4%); kipas: 3%; lemari es dan televisi (2%) serta radio/tape (1%). Sementara untuk gedung, penggunaan AC mencapai (39%), lampu (24%); kipas angin (17%); lift ( 7%) dan perlengkapan lainnya sebesar 1(3%).

Upaya untuk menghemat listrik dapat dilakukan dengan cara beradaptasi dengan lingkungan dan mengurangi panas yang datang dari luar, lalu diikuti dengan perbaikan konfigurasi arsitektural. "Saat ini 2/3 panas ruangan disebabkan oleh desain atap yang salah, padahal penggunaan atap bening dapat menyerap hingga 90% panas", jelas Prianto.

Tantangan Utama

Bagi Indonesia, dengan iklim tropis, perlu diterapkan pendekatan enam strategi rumah hijau, yaitu mencakup pelapis bangunan, penerangan, pemanasan, pendinginan, konsumsi energi, dan pengelolaan limbah.

Rumah dengan sistem pencahayaan hijau dapat mengurangi konsumsi energi. Karena semakin banyak pepohonan tumbuh di sekitar rumah, semakin berkurang intensitas panas. Selain kenyamanan dari sisi thermal, tersedia juga kenyamanan dari sisi visual.

Energi matahari yang melimpah dimanfattkan untuk menciptakan kemandirian energi di rumah. Salah satunya, dengan aspek desain yang menempatkan solar panel di sisi rumah yang menghadap barat yang mendapatkan terpaan sinar matahari paling tinggi dan lama. Selain memanfaatkan energi, hal ini dapat mengurangi panas yang merambat di dinding rumah, dan mengurangi penggunaan pendingin ruangan.

Diakui peserta bahwa bagian tersulit dalam menciptakan rumah hemat energi adalah mengubah aspek kebiasaan individu. Jika menyangkut kebiasaan, cara paling efektif untuk mengajak individu agar berubah adalah dengan contoh. Para praktisi dunia desain juga menyadari, mereka harus memiliki posisi tawar yang kuat dihadapan klien, sehingga klien dapat menerima rancangan rumah tropis hemat energi.

Seminar "Home Design Going Green" ini merupakan langkah awal dari serial seminar untuk mempopulerkan desain Rumah Tropis Hemat Energi. Jika semakin banyak masyarakat yang bersedia menerapkannya, semakin hemat energi yang digunakan, semakin nyaman bumi kita.

Sumber : Satu Dunia

Read more.....

Kota Semarang Butuh Peta Peringatan Bencana

Semarang, Kompas - Seringnya bencana longsor yang terjadi di Kota Semarang sebagai efek pembangunan fisik itu mengindikasikan terjadinya pelanggaran prinsip penataan ruang, yaitu mengubah lahan konservasi menjadi lahan terbangun. Untuk mengatasi hal ini, perlu disusun peta peringatan yang dapat memberikan informasi daerah rawan bencana secara akurat.

Pakar perencanaan kota Universitas Diponegoro (Undip), Prof Sugiono Soetomo, menjelaskan, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang perlu menginventarisasi ulang daerah-daerah rawan bencana dan mengkomparasikannya dengan peta penggunaan lahan yang ada.

Peta hasil komparasi itu akan memberikan informasi daerah-daerah yang perlu selalu diwaspadai, dijaga kelestariannya, dan yang dapat dimanfaatkan. Peta itu juga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian izin pemanfaatan lahan agar tidak terjadi kerusakan alam yang lebih parah.


"Pertumbuhan kota harus mempunyai batas yang jelas agar tidak berbenturan dengan alam," katanya.

Pendapat serupa juga dikemukakan pakar hidrologi Undip Robert J Kodoatie. Menurut dia, sekitar 40 persen wilayah Kota Semarang memiliki kerentanan tanah yang tinggi. Kondisi itu dapat menciptakan bencana longsor dan banjir setiap musim hujan.

Kodoatie mengatakan, sudah saatnya rencana tata ruang Kota Semarang berorientasi pada daya dukung alamiah dan bukan melulu pada kepentingan ekonomi. "Biaya rehabilitasi lingkungan dan fisik dapat menjadi lebih mahal daripada keuntungan pembangunan yang didapat jika batasan alamiah dilanggar," katanya.

Peta itu harus disusun dalam skala 1:500 sampai 1:1.000 agar dapat dilihat dengan jelas pada tingkat kelurahan. Peta peringatan itu juga harus disosialisasikan secara luas dengan membuka suatu ruang publik yang memungkinkan bagi masyarakat dan pengembang untuk melihat daerah yang diizinkan atau dilarang untuk dimanfaatkan.

Dengan cara itu, masyarakat dapat berlaku sebagai pengawas pemanfaatan lahan di sekitar tempat tinggalnya, sedangkan pengembang dapat merumuskan sendiri lokasi dan jenis aktivitas yang dapat dikembangkan.

Evaluasi rencana tata ruang

Menanggapi seringnya terjadi bencana longsor, Kepala Seksi Pengembangan Kawasan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang M Farkhan mengatakan, ketidaksesuaian antara daya dukung dan peruntukan lahan disebabkan perencanaan kota dilakukan sebelum Pemkot Semarang memiliki data dan peta geologi yang valid.

Hal itu menyebabkan sering terjadinya kekeliruan perizinan, yaitu mengizinkan aktivitas budi daya di kawasan konservasi. Selain itu, pertumbuhan kota yang cepat membutuhkan lahan yang luas sehingga daerah konservasi ikut terjamah.

Dengan ketersediaan peta geologi dan rawan bencana pada tahun 2000, pemkot akan melakukan evaluasi Rencana Detail Tata Ruang Kota Periode 2000-2010. Evaluasi itu untuk mengatur ulang pemanfaatan lahan di daerah yang memiliki kerentanan tanah tinggi.

Selain itu, pemerintah juga akan membatasi pemanfaatan lahan di daerah rawan dengan mekanisme pengendalian izin. Daerah yang memiliki kemiringan 40 derajat atau kerentanan tanah yang tinggi akan dilindungi dan dipertahankan menjadi lahan konservasi.

Sumber : Kompas

Read more.....

Kawasan Sub Urban akan Berkembang Jadi Perkotaan

Kawasan atau ruang sub-urban akan menjadi tumpuan sekaligus masa depan perkembangan kota-kota di Indonesia, mengingat beban ekologis, sosial dan ekonomi perkotaan sekarang sudan amat berat.

"Ruang sub-urban ini akan menjadi kumuh atau menjadi kawasan kota di pedesaan yang nyaman, itu sangat tergantung bagaimana kita merencanakan tata ruang dengan faktor terkait lainnya," kata guru besar perencanaan kota dan wilayah, Prof Dr Ir Sugiono Soetomo CES, DEA, di Semarang, Jumat.

Faktor terkait tersebut, antara lain meliputi penegakan hukum dalam penataan ruang, sosialisasi, pendekatan dan pemberdayaan masyarakat dan upaya menciptakan pembangunan terpadu, katanya.


Sugiono yang Sabtu pekan ini akan menyampaikan pidato pengukuhan guru besar arsitektur Undip Semarang itu memprediksi, pada tahun 2025, lebih dari 50 persen penduduk di Indonesia tinggal di perkotaan. Beban berat akan diemban Pula Jawa yang dihuni 60 persen penduduk negeri ini.

Pada saat itu, katanya, DKI Jakarta dan D.I. Yogyakarta 100 persen sudah menjadi wilayah perkotaan (urban), sehingga dengan kecenderungan umum yang terjadi di berbagai kota, pemekaran wilayah perkotaan di Jawa semakin cepat terjadi.

"Pulau Jawa sebagai penghasil beras terbesar nasional akan menghadapi konflik dalam penggunaan lahan pertanian. Kemudian terjadi pula perubahan pekerjaan dari petani ke nonpetani dan tekanan ekologi juga semakin dahsyat," katanya.

Ia menjelaskan, wilayah kota-kota besar akan semakin melebar. Kasus di Kota Bandung menunjukkan, meski terjadi pelambatan pertumbuhan penduduk, namun di daerah pinggiran (hinterland) Kota Bandung terjadi pertumbuhan amat tinggi.

"Kasus ini menunjukkan terjadi pemekaran ruang yang terbangun secara luar biasa. Daerah pinggiran Bandung terus tumbuh dengan menimbulkan masalah yang kompleks," katanya.

Sumber : Gatra

Read more.....

Pembahasan RTRW Diwarnai Isu Lingkungan

BALAI KOTA- Isu-isu lingkungan mengemuka dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2010-2030. Kota dengan morfologi alam perbukitan dan pantai memerlukan pengelolaan lingkungan yang semestinya. Daerah perbukitan terdiri atas tanah bergerak, sementara kota bawah atau pantai mengalami penurunan tanah, banjir, dan rob.

Sudharto P Hadi, Guru Besar Ilmu Lingkungan Undip, mengajukan isu-isu lingkungan dalam penyusunan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah 2010-2030. Ia menilai, pembangunan saat ini lebih mengedepankan aspek fisik dan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial.


Kota-kota besar termasuk Semarang berorientasi sebagai kota metropolitan. Basis pengembangan kota disandarkan pada modernitas. Kecenderungan itu, terlihat pada prioritas ruang untuk aktivitas ekonomi, seperti mal, jalan tol, mobil pribadi, gedung pencakar langit, real estate hingga apartemen.

Sementara pengembangan infrastruktur komunitas warga ditinggalkan. ''Padahal, perencanaan kota bukan hanya sekadar pembangunan ruang fisik, tetapi juga harus melihat kebutuhan ruang sosial,'' katanya dalam Seminar Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Semarang 2010-2030, baru-baru ini.

Penurunan Tanah

Kepemerintahan urban yang baik menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Semarang memiliki wilayah pesisir dan perbukitan dengan karakteristik berbeda. Wilayah pesisir terjadi penurunan tanah rata-rata 2,8 cm/tahun di Pasar Johar dan 4 cm/tahun di Pelabuhan Tanjung Emas. Karenanya, diperlukan kebijakan penataan wilayah pesisir harus ada rezonasi untuk kegiatan yang berdampak buruk pada lingkungan, termasuk audit lingkungan.

Ruang terbuka sebagai resapan perlu ditetapkan Pemkot. Sementara kegagalan reklamasi di banyak tempat, seperti Balikpapan, Manado, dan Jakarta, bisa menjadi pelajaran bagi Semarang.

Kawasan perbukitan, penekanan pada kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH). Ia mencontohkan kawasan Mijen. Rencana Induk Kota (RIK) 1975-2000, Mijen diarahkan untuk pengembangan perkebunan, peternakan, dan pertanian.

Namun mulai 1980-an telah berkembang menjadi perumahan dan selanjutnya mendapatkan pengesahan dari RDTRK 1995-2005. Akibatnya run off ke Kali Bringin yang menjadi penyebab banjir di Mangunharjo dan Mangkangwetan.

''Upaya meningkatkan RTH ini bisa mememtakan kebutuhan per wilayah yang kemudian diatur dalam Perda. Bagi pemrakarsa dan pengendali lingkungan bisa dimotivasi dengan pemberian insentif.''

Guru Besar Planologi Undip, Sugiono Soetomo mengatakan, perencanaan kota memerhatikan tiga fungsi utama sinergis, yaitu fungsi ekologis, fungsi ekonomi, dan fungsi sosial budaya. Pengembangan wilayah memadukan perkotaan, semi perkotaan, dan pedesaan. Regionalisasi Kendal, Ungaran, Salatiga, dan Ungaran (Kedungsapur) disinergikan, dengan pusat utama Kota Semarang.

Masalah bangunan fungsi ekonomis basis pada area banjir dan rawan banjir. ''Kota Semarang memerlukan konsep desain ruang berbasis konservasi alam yang menetapkan arah pemanfaatan lahan,'' katanya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Kondisi Air Tanah Kita

Kontribusi Dari Parfi Khadiyanto (Angkatan 01)

Jangan salah baca, kali ini kita akan bicara mengenai kondisi air tanah, bukan tanah air kita. Mengapa? Karena masalah ini begitu penting, hingga tak dapat diabaikan begitu saja. Tuhan menciptakan bumi, dengan komposisi air yang jauh lebih besar daripada tanah. Dua pertiga bagian bumi adalah air. Namun, hanya sekitar dua persennya saja yang dapat dimanfaatkan langsung sebagai air minum. Jumlah itu, kini
semakin berkurang jumlahnya.

Menurut penelitian, konon perbandingan kebutuhan air dengan ketersediaan air di Pulau Jawa sudah pada posisi 1 berbanding 1,5. Artinya, ketersediaannya hanya 2/3 dari kebutuhan, atau istilah dagangnya, sudah tekor. Banyak sumur yang sudah mulai kering pada bulan September hingga Desember. Hingga banyak yang menyebut September sebagai sat-sating sumber (sekering-keringnya air).


Harga air, khusunya air minum dalam kemasan, baik kemasan gelas, botol ataupun galon, sudah mahal sekali untuk ukuran wilayah yang dikelilingi lautan, dan selalu banjir apabila musim hujan datang. Aneh, sering tergenang banjir tapi harga air mahal.

Di Kota Semarang, tidak semua penduduk mendapatkan akses pelayanan air bersih dari pemerintah kota. Akibatnya banyak dari mereka yang ambil air tanah melalui sumur dangkal atau sumur dalam, antara 10 hingga 40 meter di bawah permukaan tanah. Masyarakat berlomba memperdalam sumur, dengan harapan dapat lebih mampu menjangkau air tanah. Namun, diperlukan dana tidak sedikit untuk membuat sumur dengan kedalaman cukup. Perlu puluhan juta rupiah. Bagi yang tak punya cukup uang, harus pasrah dengan air sungai yang kotor, air sendang, dan sumber air lainnya.

Mencoba mengatasi permasalahan itu, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah kota Semarang mengadakan program pembuatan sumur artesis. Proyek yang dikawal Dinas Pekerjaan Umum itu diberikan kepada warga di wilayah yang kesulitan mendapatkan air bersih.

Program itu efektif. Dalam hitungan waktu yang relatif pendek, masyarakat senang karena mendapat air bersih. Tetapi, apakah sudah dipikirkan dampak jangka panjangnya? Program tersebut sebenarnya termasuk dalam kegiatan pengurasan potensi air tanah yang ada di wilayah itu.

Mestinya, ketika Pemkot memberikan bantuan sumur artesis, harus sekaligus dalam satu paket pembuatan sumur resapan atau biopori, agar terjadi proses konservasi sumberdaya air. Air tanah diambil untuk kebutuhan domestik, tetapi sekaligus menyiapkan instrumen untuk menjaga kelestarian air tanah di wilayah proyek.

Bayangkan kalau sekarang saja di Pulau Jawa ini, air yang tersedia sudah dikuras sepertiganya untuk kebutuhan konsumsi domestik, dengan ketersedian yang hanya 2/3 dari kebutuhan, beberapa tahun lagi wilayah Jawa akan menjadi kering kerontang?

Untuk itu marilah kita hemat air, masukkan air secepatnya dan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah lagi. Buatlah sumber resapan, biopori, dan tandon penyimpanan air hujan. Sedapat mungkin manfaatkan setiap tetes air, jangan sampai terbuang percuma.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Selasa, 21 Oktober 2008

Sosok Rektor yang Dilantik Mahasiswa


Seribu Wajah Eko Budihardjo

Rektor Undip Eko Budihardjo genap berusia 60 tahun. Undip merayakan ulang tahun itu agak istimewa, dengan menggelar pesta rakyat mulai 7 hingga 9 Juni. Berikut tulisan wartawan Suara Merdeka Saroni Asikin yang mengupas sosok rektor yang satu ini.

SIAPA sih sebenarnya Prof Ir Eko Budihardjo MSc itu? Kalau lihat gelar yang pada namanya, kentara sekali dia seorang akademikus dan intelektual. Memang dia menggenggam atribut itu. Sebagai akademikus, dia adalah Rektor Undip sejak 1998. Intelektual? Ya, intelektualitasnya terlihat pada banyak buku yang ditulisnya seputar arsitektur dan tata kota (planologi). ''Prof Eko'', sebutan akrab orang padanya sudah menjelaskan banyak tentang itu.


Namun, itu belum cukup untuk menggambarkan sosok lelaki kelahiran Banjarnegara, 9 Juni 1944 itu. Masih seabrek atribut yang bisa diberikan kepadanya. Dia bisa ndakik-ndakik berbicara seputar arsitektur atau soal planologi, buah dari kerja kerasnya belajar di Department of Town Planning pada University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff Inggris dengan gelar MSc. Kalau mengutip tulisan Drs Sutrisna, Redaktur Senior Suara Merdeka dalam buku untuk ultah ke-60 Prof Eko, ia adalah manusia dengan seribu wajah.

Ya, di luar itu, dia juga pandai menghibur dan ''menyengat'' lewat puisi, bahkan ketika berhadapan dengan kalangan nonseniman. Atribut seniman dan budayawan pun akhirnya lekat pada dirinya. Jabatannya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) sejak 1993 dan perbaurannya dengan kalangan seniman meneguhkan hal itu.

Kiprahnya di DKJT memberi bukti bahwa Prof Eko adalah intelektual yang mampu menjadi jembatan bagi kepentingan seniman, khususnya ketika berhadapan dengan kalangan birokrat.

''Blak-blakan saja, seniman itu kalau sudah bicara dalam diskusi misalnya, pragmatika yang keluar begitu pedas dan keras. Itu tak disukai kalangan birokrat. Sebaliknya, kalangan seniman juga tak begitu menyukai birokrat, sehingga itu butuh jembatan. Ya, sudah saya dipilih untuk itu. Padahal, ketika ada rencana pembentukan DKJT, saya ini kuda hitam. Tak ada yang tahu,'' tutur dia saat ditemui di rumah dinasnya Jl Imam Barjo, Semarang.

Lebih dari satu dekade berada di posisi itu tak bisa dianggap sepele. Keberhasilannya ''menekan'' Pemprov Jateng untuk membuat gedung khusus untuk seniman seperti Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang hampir rampung tak bisa dianggap enteng. Meskipun sepanjang menjabat Ketua DKJT, angin tak selalu berpihak padanya. Selalu muncul kontroversi ketika dia mengeluarkan gagasan tertentu.

''Sebagian seniman bilang mereka tak butuh tempat untuk pentas. Mereka lebih butuh dana untuk pentas. Bagi saya itu bukan opsi yang harus dipilih salah satu, tapi keduanya sama-sama penting.''

Kesengsem Puisi

Ya, perjumbuhannya dengan kalangan seniman memang memberi warna yang menggairahkan dalam hidupnya. Kegairahan hidup itu boleh jadi dimulai ketika dia kesengsem kepada puisi. Itu diakui Prof Eko mulai dilakukan setelah menjadi Ketua DKJT.

Baca saja apa yang ditulis istrinya Ir Sudanti Hardjohoebojo MSc dalam buku Mengalir dengan Cinta terbitan Patriot (2004), buku yang khusus diterbitkan untuk menyambut ultah ke-60 sang profesor.

''Kalau ada waktu luang di rumah, dulu beliau suka main tenis di dekat rumah dan olahraga waitankung. Hobi beliau yang lain, kalau tak ada acara selalu nulis puisi, membaca, dan surat-menyurat. Nah, ngomong-ngomong tentang puisi, banyak yang bilang 'jatuh cinta karena puisi'. Kelihatannya nggak juga. Sebab, dulu puisi beliau belum dibuat. Setelah jadi Ketua DKJT itulah mulai tampak banget cintanya pada puisi,'' tulis sang istri.

Bukan tanpa alasan kalau Prof Eko menulis puisi dan membacakannya pada setiap forum yang diikutinya, bahkan forum itu sangat formal seperti Forum Rektor. Aktivitas yang lalu membuatnya dikomentari sebagai ''rektor yang hanya bisa berpuisi''.

Prof Eko bercerita, dia kesengsem kepada puisi ketika membaca sajak Ikranegara berjudul ''Merdeka''. ''Unik sekali! Sajak itu hanya berisi satu kata, yaitu 'Belum'. Hanya satu kata itu tapi maknanya sangat dahsyat. Kalau boleh saya bilang, puisi itu ibarat lebah kecil yang menyengat tapi bermadu.''

Dengan jujur pula diakui, pada awalnya dia tak berkehendak menulis puisi. Dia ingat pasti sebuah ''sajak'' yang dibacakannya kali pertama di hadapan para mahasiswa yang melantik dia sebagai rektor pada 1998.

''Saya ini satu-satunya rektor yang dilantik mahasiswa,'' ujarnya sembari tertawa, ''Pasalnya, ketika itu saya akan dilantik di Jakarta tapi mahasiswa saya menginginkan saya dilantik mereka. Ya sudah, saya terima.''

Di situ dia baca sesuatu yang akhirnya membuatnya terkejut sendiri karena membaca sajak Taufiq Ismail yang sangat mirip dengan karyanya itu. Bunyinya: Mahasiswa takut pada dosen/Dosen takut pada Ketua Jurusan/Ketua Jurusan takut pada Dekan/Dekan takut pada Rektor/Rektor takut pada Menteri/Menteri takut pada Presiden/Presiden takut pada mahasiswa.

Kalimat-kalimat yang sederhana tapi kontekstual dan menyengat. Bak lebah, ungkapan itu menyengat tapi tetap bermadu. Pasalnya, ketika itu Soeharto baru saja ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa. Ya, setelah itu, Prof Eko selalu berpuisi. Dan dia hanya tertawa disebut ''rektor yang cuma bisa berpuisi.'' Tak termungkiri pula, predikat budayawan sangat layak digenggamnya.

''Kalau melihat rektornya, nuansa kampus UGM itu politis. USU itu pencetak usahawan, saya bangga Rektor Undip disebut rektor budayawan,'' kata ayah dari Dr Holy Ametati dan Aretha Aprilia ST itu.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Ramadan yang Puitis

Oleh : Prof. Ir. Eko Budihardjo, M. Sc (Rektor Universitas Diponegoro, Semarang/1998-2007)

KULANUWUN. Dalam bulan Ramadan tahun ini, lebih dahsyat daripada tahun-tahun yang silam, saya memperoleh kiriman banyak sekali SMS yang puitis. Kalimat dan rangkaian kata-katanya indah-indah, menyentuh hati, menggetarkan senar-senar emosi, menggugah rasa. Tidak hanya yang berbahasa Indonesia, ada pula yang berbahasa Inggris, dan banyak yang berbahasa Jawa.

Saya cuplikkan beberapa saja, karena kalau semuanya pasti habis ruangan di Koran Suara Merdeka yang terbesar dan tersebar di Jawa Tengah ini.

"To my beloved relatives & friends: The holy month of Ramadan has come around again/ Let's welcome it with open arms/ Knowing that at the end of it the rewards are a thousand-fold: a healthier body, a cleaner soul/ and above all Allah's promise to absolve us of our past sins & mistakes/ Have a Happy & Prosperous Ramadhan."

Bagi yang kurang paham berbahasa Inggris, bisa konsultasi tentang arti dari beautiful poem tersebut di atas kepada Prof Retmono, sang pengirim SMS.


Kiriman lain berbahasa Indonesia dari Mas Asep Ridwan mantan Ketua Senat Undip: "Jika hati sejernih air/ jangan biarkan ia keruh/ Jika jiwa seputih awan/ jangan biarkan ia gelap/ Jika iman seindah bulan/ jangan biarkan ia redup/ Dan jika ada langkah membekas lara/ Ada kata merangkai dusta/ mohon dimaafkan."

Bu Hasta sebagai seorang psikolog kondang dari Undip yang banyak mendampingi mahasiswa dan remaja-remaja bermasalah, tak mau kalah, kirim SMS gaul kepada rektornya:

"Hatiku gak sebening XL/ Jiwaku gak secerah MENTARI/ Banyak khilaf yang buat FREN kecewa/ Kuminta SIMPATI-nya untuk BEBAS-kan kami dari dosa/ semoga kita dapat HOKI dan acungan JEMPOL dari 4JJ...."

Banyak juga yang kirim pesan Ramadan dalam bahasa Jawa, berupa geguritan, yang tidak kalah indah. Kebetulan kan baru saja Pemprov Jateng bersama tokoh-tokoh budayawan ramai-ramai menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa. Salah satunya saya cuplik dari Dimas Yung Hadiyanto, Kepala Biro Pusat Statistik Jateng:

"Gilir gumanti sumunaring surya padhang tetrawangan/ Surya kapisan sugeng siyam, sugeng karaharjan, kasaenan, ugi katentreman sarta iman/ Nyuwun gunging pangaksami sadaya kalepatan..."

Bila dipikir-pikirkan, hanya ada tak lebih dari 26 huruf mulai A sampai Z, tetapi begitu banyak untaian kata-kata indah yang diciptakan. Begitu pula hanya ada tujuh not dari Do sampai Si, namun tak terhitung berapa banyak lagu-lagu mendayu-dayu yang dinyanyikan. Angka pun hanya ada 10 biji dari 0 sampai 9, tetapi begitu banyak jumlah uang yang bisa dikumpulkan oleh konglomerat hitam, bisa untuk tujuh juta turunan (kalau cuma tujuh turunan kan terlalu sedikit ya?)

Mencermati semua itu, dalam bulan Ramadan yang indah ini, sepantasnyalah kita semua bersyukur, selain memang mesti tetap juga terus berpikir dan berzikir. Memang, begitu banyak musibah yang berturut-turut menimpa bangsa kita belakangan ini. Lumpuh layuh, flu burung, sapi gila, gizi buruk, gempa, tsunami, longsor, banjir, kekeringan, lumpur panas ... seolah takkan ada hentinya. Namun kita mesti tetap optimistis, dengan dada tegak kita coba atasi segala masalah yang menimpa kita semua.

Waktu tampil sebagai pembicara dalam Kongres Bahasa Jawa bersama Prof Dr Damardjati Supadjar dari UGM dan Gusti Dipokusumo dari Kasunanan Surakarta, saya sampaikan tentang aneka kearifan Jawa, yang menunjukkan keandalan nenek moyang kita.

Bila untuk bau busuk, dalam bahasa inggris hanya dikenal kata-kata smelly, bad smell, atau foul, dalam bahasa Jawa tak terhitung padanannya. Beberapa di antaranya adalah: bacin, badeg, baseng, pesing, penguk, prengus, kecut, sengak, sengir, asem... di sela-sela acara Promosi Doktor Yos Johan Utama SH, Prof Tjip sempat nambahi, kalau tentang bawa-membawa, dalam bahasa Inggris paling ya to bring atau to carry, tapi dalam bahasa Jawa ada mikul, njinjing, ngenthit, nyangking, ngempit, nggendhong, mbopong, manggul...

Dalam urusan doa pun, kendati agama Islam berasal dari Negara Arab, dan ketika shalat pun wajib menggunakan bahasa Arab (tak boleh pakai bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, Prancis, Mandarin, Jepang), namun tatkala berdoa sendiri-sendiri boleh pakai bahasa ibu masing-masing.

Bila akan tidur, saya memang diajari ustad untuk berdoa dalam bahasa Arab: Bismikallohuma ahya wa bismika amut. Artinya kurang lebih: Dengan nama Allah maka hamba hidup, dan dengan nama Allah pula maka hamba mati."

Nah, Nenek dan Ibu saya almarhum dari desa memberi warisan doa sebelum tidur dalam bahasa Banyumas cekek seperti berikut:

"Nataena, sukma gumuling, cahya ngadeg, badan turu, ati tangi, nyawa semendhe, semendhe kersaning Allah. Laillahailallah Muhammadar Rasulullah."

Lo, begitu indahnya, dan berarti juga setiap kali menjelang tidur otomatis putra-wayahnya membaca kalimat syahadat. Memang bila dicermati doa-doa yang menyentuh jiwa, kebanyakan merupakan untaian kata-kata yang puitis.

Liding dongeng, marilah kita nikmati bersama bulan Ramadan yang indah penuh berkah ini, dengan iktikad baik untuk menambah keindahan lahir-batin pada lingkungan sekitar kita. Samanten rumiyin atur kula, kepareng, nuwun.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Pendidikan Kita, Konsep dan Realitas

Oleh : Prof. Ir. Eko Budihardjo, M. Sc (Rektor Universitas Diponegoro, Semarang/1998-2007)

BERBICARA tentang pendidikan kita di tanah air tercinta, serupa saja dengan mengupas bawang. Semakin dikupas, semakin deras air mata yang menetes. Tatkala mewakili para rektor berbicara di depan Komisi IX DPR, saya sampaikan bahwa guru dan dosen termasuk kategori profesional yang dizalimi pemerintah.

Guru dan dosen, bahkan sampai ke jenjang jabatan tertinggi sebagai professor, guru besar, atau mahaguru, tidak bisa hidup layak hanya dari gaji yang diperolehnya. Padahal kalau memang pemerintah mengakui keberadaan guru dan dosen sebagai tenaga profesional, yang berarti bukan amatir, mestinya kan sembada memberikan imbalan atau gaji yang layak untuk bisa hidup secara bermartabat.

Kita amat prihatin mendengar imbalan buat guru bantu di berbagai daerah yang tidak lebih dari Rp 460.000 per bu-lan, yang berarti lebih rendah dari upah minimum regional.


Gaji serendah itu pun beberapa waktu yang silam pembayarannya sempat terlambat enam bulan, sampai-sampai harus meminta dana talangan dari pemerintah provinsi.

Waktu jadi panelis acara Debat Calon Presiden, saya sempat menyoal Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang gaji profesor yang cuma sekitar Rp 2.500.000. Bandingkan dengan gaji direktur pertamina yang mencapai Rp150 juta per bulan. Berarti satu bulan gaji seorang direktur pertamina sama dengan gaji seorang guru besar selama 5 tahun.

Saya ingat, Pak SBY saat itu hanya menjawab bahwa bilamana beliau menjadi seorang presiden, bertekad akan memperbaiki nasib guru dan dosen secara bertahap.

Aneka konsep gagasan, ide, pokok-pokok pikiran tentang peningkatan kualitas pendidikan sudah sering dilontarkan. Ada kurikulum berbasis kompetensi, ada manajemen berbasis sekolah, ada problem based learning, quantum learning, dan lain sebagainya.

Prof. Dr. Bambang Sudibyo selaku Menteri Pendidikan Nasional pun belum lama ini dengan berapi-api menyampaikan konsepnya tentang peningkatan kualitas pendidikan dan sumberdaya manusia (SDM) di depan para rektor PTN seluruh Indonesia. Saya nekat menyampaikan unek-unek saya bahwa konsep yang andal tentang perbaikan sistem dan peningkatan SDM (sinten, Jw) tidak akan berjalan dengan baik bila imbalannya (pinten, Jw) tidak memadai.

Segitiga sistem-sinten-pinten mesti dikembangkan bersama-sama. Salah sa-tu rusuk saja dari segitiga itu tidak ada, ya punten saja, tidak ada gunanya bicara berbusa-busa tentang peningkatan kualitas pendidikan, karena tak akan bisa direalisasikan.

Melanggar UU

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah jelas-jelas secara amat eksplisit ditetapkan bahwa minimal 20% dari dana APBN dan APBD (Provinsi maupun Kabupaten) mesti disisihkan untuk pendidikan.

Memang, beberapa waktu terakhir ini, dari tahun ke tahun telah terjadi pe-ningkatan anggaran nasional untuk pendidikan, mulai dari 4%, 6% sampai de-ngan sekitar 8% tahun ini. Tetapi kan masih amat jauh dari ketentuan 20%.

Di daerah sudah jauh lebih baik karena menurut kabar dari media masa di Jawa Tengah persentase dana untuk pendidikan dari APBD sudah mencapai 15%. Biarpun masih belum mencapai target 20%.

Dari angka-angka tersebut terlihat jelas, pemerintah telah melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri. Padahal di negara jiran terdekat kita, Malaysia, anggaran untuk pendidikan dari APBN mereka sudah mencapai 26%.

Bila alasan pemerintah adalah masih terbatasnya dana pemerintah, kenapa bisa ada tambahan tunjangan 10 juta rupiah per bulan bagi para wakil rakyat? Kenapa anggaran untuk Presiden dan Wakil Presiden bisa meningkat secara signifikan? Kenapa dana untuk studi banding dari pa-ra wakil rakyat bisa beberapa kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya?

Kalau di zaman Orde Lama dulu hampir setiap kampus ada perumahan dosennya (kawasan perumahan Bulaksumur di UGM, kawasan perumahan Erlangga di Undip), sekarang ini tak ada lagi pembangunan perumahan dosen. Waktu masih kuliah di UGM Yogyakarta tahun 1960-an, sudah ada asrama mahasiswa Dharmaputera dan Realino. Sekarang, tak ada lagi pembangunan asrama mahasiswa baru. Ironisnya, mulai tahun 2005 ini malah daerah-daerah saling berlomba memasukkan dalam APBD dana perumahan bagi para wakil rakyat yang notabene masa baktinya hanya 5 tahun setiap periodenya. Ada yang memperoleh 4 juta per bulan, lebih besar dari gaji seorang guru besar.

Memang agak risi juga mengungkap tentang gaji, upah, imbalan, honorarium, tunjangan. Tetapi kalau sudah keterlaluan, apa boleh buat, mesti disampaikan realita apa adanya.

Baru-baru ini saya mendapat surat dari seorang guru besar tersohor dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Isinya menanyakan tentang kebijakan Undip bagi para dosen yang akan membeli rumah dinas yang ditempatinya. Soalnya beliau berniat mengangsur pembelian rumah dinasnya, tetapi ternyata uang angsuran bulanan yang ditetapkan oleh lembaga untuk dibayar, jauh lebih besar daripada uang pensiun yang diterimanya setiap bulan.

Bayangkan, seorang profesor ternama dari suatu PTN besar, sampai akhir hayatnya tidak bisa memiliki rumah sendiri. Sungguh tragis dan menyakitkan.

Macan Kertas

Undang-undang tentang Guru dan Dosen sudah disahkan. Saya masuk dalam Tim Kecil mewakili para rektor se - Indonesia, bersama Rektor ITB Prof. Dr. Djoko Santoso dan Rektor Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Haris Supratno.

Beberapa kali kami kumpul mengusulkan penyempurnaan dan kemudian paparan di depan Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU tersebut khususnya dari Komisi X DPR.

Perdebatan berlangsung hangat, malah kadang-kadang panas, tapi lantas bisa diinginkan kembali, antara lain dengan puisi.Saya sempat baca puisi di depan tokoh-tokoh wakil rakyat itu sebagai berikut:

Tanganku gemetar / badanku bergetar / hatiku berdebar / sukmaku mendamba Undang-Undang Guru dan Dosen / yang mampu membuat para pahlawan tanda jasa itu tersenyum dan ketawa lebar.

Kami mencermati bahwa draft RUU Guru dan Dosen versi terakhir yang kami terima masih jauh dari sempurna. Seperti komentar Prof. Satjipto dan Prof. Nyoman, selain tidak tercantumnya asas yang mestinya justru menjadi roh RUU, juga banyak pasar karet yang multitafsir, dan ketentuan dalam ayat-ayat yang tidak mungkin bisa dilaksanakan.

Kalau orang Barat bilang ibarat the barking dogs that never bite, alias anjing yang gonggongannya saja yang keras, tapi tidak pernah menggigit. Kalau kita bilang ibarat macan kertas.

Lantas apa gunanya UU Guru dan Dosen terburu-buru disahkan, bila dalam realitasnya jelas-jelas takkan bisa dilaksanakan. Misalnya tentang guru dan dosen serta anak-anaknya yang dibebaskan dari biaya pendidikan.

Memang ideal, namun tipis kemungkinannya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Kita akan mengulangi lagi kesalahan penyusunan UU tentang Sisdiknas yang hanya bagus di kertas tetapi tidak mengejawantah. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan dunia usaha atau kalangan industriwan mesti bahu-membahu, tanggung renteng, bersama-sama masyarakat bertekad memperbaiki nasib guru dan dosen, meningkatkan kadar profesionalisme mereka, sembari memperbaiki sistem, sarana dan prasarananya dengan lebih bersungguh-sungguh.

Memang awalnya berat dan pahit, tapi pada akhirnya nanti akan amat menentukan nasib bangsa agar bisa segera keluar dari krisis berkepanjangan. Orang Barat mengatakan The roots of education are bitter, but the fruits are sweet.

Marilah kita renung dan resapi petuah HG Wells bahwa masa depan suatu bangsa adalah perlombaan antara pendidikan dan bencana. Kita tak boleh sekadar tarik-ulur tentang peraturan dan perundang-undangan semata, melainkan juga mesti menyiapkan strategi yang manjur untuk betul-betul mengangkat harkat dan martabat guru maupun dosen. Semoga semua pihak sadar.(11)

Sumber : Suara Merdeka



Read more.....

Senin, 20 Oktober 2008

Tak Selamanya Mengerikan


Wisata Bersama : Dr. Ir. Gagoek Hardiman (Sekretaris Progdi S3 ARSKOT/2008-2012)

Beberapa masjid di Arab Saudi yang dikenal masyarakat Indonesia antara lain Masjidil Haram, Masjid Kucing, dan Masjid Jin di Makkah atau Masjid Nabawi, Masjid Quba, dan Masjid Qiblatain di Madinah. Di Kota Jeddah pun ada masjid yang sering dikunjungi jamaah haji dan umroh dari Indonesia, yaitu Masjid Qisosh dan Masjid Terapung di laut Merah.

Dari beberapa masjid tersebut, nama Masjid Qisosh patut dituliskan karena keunikannya sebagai salah satu tempat pelaksanaan hukum qisosh(pemotongan sebagian anggota tubuh atau pemenggalan kepala di depan umum). Lokasinya sangat strategis karena berada di tepi danau indah, di samping taman kota yang asri, dekat dengan bangunan-bangunan kuno yang dilestarikan, serta dekat pula dengan pusat perbelanjaan Balad.


Sesuai dengan sebutannya, di halaman masjid itu secara periodik dilaksanakan eksekusi berdasarkan hukum Islam yang diterapkan secara ketat di Arab Saudi terhadap narapidana. Biasanya itu berlangsung pada hari Jumat.
Pada tahun 2007, jumlah hukuman pancung kepala di seluruh Saudi Arabia tercatat 153 orang. Berita memilukan datang pada kita di awal tahun ini ketika seorang TKW bernama Yanti dihukum pancung. Itu pemancungan kedua di tahun ini yang dilaksanakan di provinsi yang ada di barat daya Kota Assir.

Kalau di Indonesia hukuman mati dilaksanakan di tempat yang sangat dirahasiakan dan tertutup untuk umum, di Arab Saudi justru dilaksanakan di tempat terbuka dan dapat disaksikan khalayak ramai. Kita mungkin ngeri menyaksikan hukuman qisosh itu. Tapi bagi orang Arab Saudi, eksekusi seperti itu adalah pemandangan yang galib.
Pelaksanaan hukuman di tempat terbuka itu tentu bertujuan agar masyarakat takut berbuat jahat dan pelaku kejahatan jera mengulangi kesalahannya. Meski begitu, aspek kemanusiaan pun tetap diperhatikan. Jadi, misalnya berdasarkan keputusan pengadilan, seseorang harus dipotong lengannya, setelah eksekusi dia langsung dibawa ambulans ke rumah sakit dan dirawat sampai sembuh 100%.

Yang jelas, kalau melihat eksekusi qisosh, kita tak boleh mengabadikan dengan kamera. Rambu bertulisan "No photography" terpasang di beberapa tempat di sekitar pendapa pelaksanaan eksekusi. Di luar jadwal eksekusi, asal tidak ada askar (polisi Arab Saudi) yang melihat, dan kalau berani, bisa mencoba mengambil foto lanskap di situ. Tentu saja risiko ditanggung sendiri. Namun saat ada pelaksanaan eksekusi qisosh, jangan coba-coba memberanikan diri mengambil foto kalau masih menginginkan lengan dan tangan kita tetap utuh.

Lokasi Masjid Qisosh memang sangat strategis. Sekitar 100 meter di utara masjid, terdapat Hotel Al Azhar. Seperti yang terjumpai di penginapan (maktab) Makkah dan Madinah, di halaman hotel dan halaman Masjid Qisosh selalu ada pedagang makanan dan kue khas Indonesia yang menggelar dagangan ala kaki lima. Ada kerupuk, kacang hijau, tahu, tempe, sayur lodeh, nasi kuning, nasi goreng, nasi gurih, sate ayam, sate kambing, dan banyak lagi lainnya. Tiap bungkus atau potongnya dijual seharga satu real Arab Saudi.

**

DI kala tidak ada eksekusi, Masjid Qisosh merupakan kawasan yang sangat indah dan menarik. Di sekitar lahan eksekusi terdapat danau indah dan taman kota yang cantik menarik. Bahkan, di dekat masjid terdapat kawasan kota lama yang eksotis dan pusat perbelanjaan Balad yang sangat diminati oleh wisatawan.

Memang, berkat kemajuan teknologi serta dana yang memadai, lanskap di sekitar Masjid Qisosh bukan lagi berupa gunung batu dan padang pasir khas Arab Saudi melainkan tampak bagai "taman firdaus" dengan berbagai pohon, bunga, plus air mancur memesona.
Penanaman pohon menerapkan teknologi canggih dengan biaya besar. Areal yang direncanakan untuk taman harus digali dan diisi dengan tanah yang didatangkan dari negara lain sehingga sistem pelaksanaannya menyerupai pembuatan pot raksaksa.

Mengingat curah hujan yang sangat kecil sesuai iklim tropis kering, prasarana irigasi untuk taman pun sangat canggih, jaringan air dilengkapi keran untuk memancarkan air yang dapat menyiram setiap jengkal areal taman. Air itu berasal dari air laut yang diproses menjadi air tawar. Jenis tanaman eksotis yang terdapat dalam taman antara lain tanaman yang umumnya hidup di daerah tropis lembab, misalnya pohon kamboja (Plumeria acuminata), kelapa (Cocos nucifera), dan banyak lagi lainnya.

Taman di Jeddah pada umumnya dilengkapi dengan patung. Namun sesuai dengan aturan setempat, patung berwujud makhluk hidup baik binatang maupun manusia tidak diperkenankan. Taman di seberang jalan Masjid Qisosh juga dilengkapi dengan patung komposisi tiga kubah masjid yang terlihat artistik. Sebagai landmark atau tetenger, di sebelah barat masjid terdapat patung cangkang kerang laut yang terletak di tepi danau. Patung-patung tersebut sangat jelas dipandang dari pendapa pelaksanaan eksekusi qisosh karena jaraknya hanya sekitar 50 meter.

Salah satu patung di kota pelabuhan Jeddah yang paling terkenal di kalangan jamaah haji Indonesia adalah patung sepeda raksaksa yang tingginya lebih kurang 10 meter. Patung yang diperkenalkan kepada para jamaah haji dalam paket "city tour" sebagai "sepeda Nabi Adam". Tentu saja itu hanya sebuah lelucon. Yang jelas paket wisata keliling kota itu sudah termasuk dalam paket ONH sehingga sayang kalau dilewatkan. Apalagi tujuan kunjungannya begitu penting seperti Makam Siti Hawa, Laut Merah, atau Masjid Terapung.

Keindahan lingkungan sekitar Masjid Qisosh semakin lengkap karena di sebelah baratnya terhampar danau yang sangat indah dengan warna biru lazuardi yang bening serta efek pantulan cahaya matahari yang keperak-perakan. Selain itu, tepat di halaman masjid di samping danau, wisatawan yang datang berkesempatan naik unta yang dihias dengan sangat artistik sekaligus difoto dengan kamera langsung jadi dengan biaya 10 real Arab Saudi. Kalau ingin berkeliling danau yang luas dengan naik unta itu, tentu kita mesti mengeluarkan biaya yang sangat besar. Selain dengan unta, perahu dayung juga tersedia untuk menikmati keindahan panorama sekeliling danau. Panasnya Jeddah di siang hari seperti tak terasa kalau kita menatap panorama danau yang sejuk, nyaman, dan segar.

Yang pasti, komposisi antara keanggunan Masjid Qisosh, biru lazuardi air danau, dan hijau jamrud taman kota, saling bersinergi secara positif membentuk fenomena lingkungan yang sangat menarik dan menawan hati. Walhasil, pendapa masjid yang pada hari jumat sering dipergunakan untuk qisosh, terasa jauh dari kesan seram atau angker. Apalagi di sekitar tempat itu banyak mukimin warga negara Indonesia yang sebagian besar orang Madura yang berjualan nasi pecel, gado-gado, atau sate ayam.

Sumber : Suara Merdeka


Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008