Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 April 2009

Arsitektur Unik Warisan Dinasti Seljuk


Jejak-jejak kejayaan Islam dapat dirunut dari peninggalan arsitektur Islam di berbagai wilayah di dunia. Peninggalan arsitektur Islam ini tidak hanya terpusat di jazirah Arab sebagai tempat lahirnya kebudayaan Islam, tetapi juga menyebar ke arah timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki, hingga lembah Sungai Indus. Sedangkan ke arah barat masuk ke Siria, Mesir, Spanyol, Marokko, hingga merambah ke berbagai benua, memasuki Cina, Indonesia, dan daratan di Eropa.

Kejayaan Islam dalam bidang kebudayaan tersebut hingga kini masih bisa kita saksikan dalam wujud bangunan, baik berupa masjid, istana, makam, madrasah (sekolah), maupun bangunan lainnya peninggalan Khilafah Islamiyah.


Sejarah mencatat orang-orang Turki dikenal sebagai bangsa yang banyak memiliki andil dalam pengembangan arsitektur Islam ke negara-negara lainnya. Andil mereka dapat dilihat pada bangunan-bangunan yang telah berdiri sejak Dinasti Seljuk memegang tampuk kekuasaan Khilafah Islamiyah pada abad ke-11 M hingga 14 M. Dinasti ini merupakan kekaisaran Islam pertama Turki yang memerintah dunia Islam. Kekuasaan yang digenggamnya begitu luas meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah, terbentang dari Anatolia hingga ke Punjab di belahan selatan Asia.

Kekaisaran Seljuk memang dikenal sangat mendukung dan mendorong perkembangan kebudayaan, salah satunya seni bina bangun atau arsitektur. Tak heran, bila pada era kekuasaan Dinasti Seljuk, banyak berdiri karya arsitektur yang mengagumkan. Dinasti ini mampu menghidupkan kembali pencapaian Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah dalam bidang arsitektur.

Variasi dan kualitas ornamen-ornamen serta bentuk dan teknik arsitektur peninggalan Dinasti Seljuk mampu menjadi inspirasi bagi para arsitek Muslim dan para ahli batu di seluruh dunia. Keunggulan dan kehebatan arsitektur warisan Dinasti Seljuk dapat disaksikan dari bangunan-bangunan peninggalan bersejarah di Iran, Anatolia, serta wilayah Asia minor Muslim.

Para arsitek dunia mencatat ada dua karya seni arsitektur yang paling unik warisan Dinasti Seljuk, yakni caravanserai (tempat singgah bagi para pendatang) serta madrasah. Caravanserai banyak berdiri di wilayah kekuasaan Seljuk lantaran dinasti itu amat mendorong perdagangan dan bisnis. Sedangkan gedung madrasah yang menyebar di daerah kekuasaan Kerajaan Seljuk, mencerminkan geliat aktivitas pendidikan.

Kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur begitu besar. Sejarah mencatat beberapa kontribusi Dinasti Seljuk dalam bidang arsitektur, antara lain: pertama, memperkenalkan konsep baru tempat iman masjid. Kedua, mengembangkan dan memperbanyak madrasah untuk sarana pendidikan. Ketiga, memperkenalkan caravanserai. Keempat, mengembangkan dan mengkolaborasi arsitektur makam.

Kelima, keberhasilan membangun kubah berbentuk kerucut. Keenam, mempromosikan penggunaan motif-motif (muqarnas). Ketujuh, memperkenalkan elemen pertama seni (baroque) yang menyebar ke seluruh Eropa di abad ke-16 M. Karena itu, kehebatan dan keunikan gaya ersitektur Seljuk telah diakui dunia, termasuk arsitektur modern. Para arsitek Barat pun banyak belajar dari arsitektur Seljuk.


Ragam Arsitektur Seljuk

Caravanserai

Penguasa Dinasti Seljuk begitu banyak membangun caravanserai atau tempat singgah bagi para pendatang atau pelancong. Caravanserai dibangun untuk menopang aktivitas perdagangan dan bisnis. Para pelancong dan pedagang dari berbagai negeri akan dijamu di caravanserai selama tiga hari secara cuma-cuma alias gratis.

Di caravanserai itulah, para pendatang akan dijamu dengan makanan serta hiburan. Secara fisik, bangunan caravanserai terdiri atas halaman, bangunan gedungnya dipercantik dengan membentuk pola lengkungan. Dalam caravanserai terdapat kamar menginap, depo, kamar pengawal, serta tersedia juga kandang untuk alat transportasi seperti kuda.

Caravanserai dikelola oleh sebuah lembaga donor. Organisasi itu pertama kali didirikan di Rabat Malik. Caravanserai di wilayah Iran itu menjadi cikal bakal berdirinya tempat singgah khas Dinasti Seljuk. Caravanserai pertama itu dibangun pada tahun 1078 M oleh Sultan Nasr di antara rute Bukhara-Samarkand. Struktur bangunan caravanserai Seljuk meniru istana padang Dinasti Abbasiyah. Bentuknya segi empat dan ditopang dengan dinding yang kuat.

Madrasah

Menurut ahli etimologi Eropa, Van Berchem, para arsitektur di era Dinasti Seljuk mulai mengembangkan bentuk, fungsi, dan karakter masjid. Bangunan masjid diperluas menjadi madrasah. Bangunan madrasah pertama muncul di Khurasan pada awal abad ke-10 M sebagai sebuah adaptasi dari rumah para guru untuk menerima murid.

Pada pertengahan abad ke-11 M, bangunan madrasah diadopsi oleh Perdana Menteri yang berkuasa pada masa kekaisaran Seljuk, Nizam al-Mulk, menjadi bangunan publik. Sang emir terispirasi oleh penguasa Ghasnavid dari Persia. Di Persia, madrasah dijadikan tempat pembelajaran teknologi. Madrasah tertua yang dibangun Nizam al-Mulk terdapat di Baghdad sekitar tahun 1065-1067 M.

Fakta menunjukkan, madrasah yang dibangun antara tahun 1080 M hingga 1092 M di Kharghird, Khurasan, sudah menggunakan empat iwan. Secara fisik, bangunan madrasah Seljuk terdiri atas halaman gedung yang dikelilingi tembok dan dilengkapi empat iwan. Selain itu, juga ada asrama dan ruang belajar.

Salah satu madrasah terbaik yang bisa dijadikan contoh berada di Anatolia. Bangunan madrasah itu menerapkan karakter khas Iran, termasuk penggunaan iwan dan menara ganda yang membingkai pintu gerbang.

Menara Masjid

Bentuk menara masjid-masjid di Iran yang dibangun Dinasti Seljuk secara substansial berbeda dengan menara di Afrika Utara. Bentuk menara masjid Seljuk mengadopsi menara silinder sebagai ganti menara berbentuk segi empat.

Makam

Pada era kejayaan Dinasti Seljuk pembangunan makam mulai dikembangkan. Model bangunan makam Seljuk merupakan pengembangan dari tugu yang dibangun untuk menghormati penguasa Umayyah pada abad ke-8 M. Namun, bangunan makam yang dikembangkan para arsitek Seljuk mengambil dimensi baru.

Bangunan makam yang megah dibangun pada era Seljuk tak hanya ditujukan untuk menghormati para penguasa yang sudah meninggal. Tapi, para ulama dan sarjana atau ilmuwan terkemuka juga mendapatkan tempat yang sama. Tak heran, bila makam penguasa dan ilmuwan terkemuka di era Seljuk hingga kini masih berdiri kokoh.

Bangunan makam Seljuk menampilkan beragam bentuk, termasuk oktagonal (persegi delapan), berbentuk silinder, dan bentuk-bentuk segi empat ditutupi dengan kubah, terutama di Iran. Selain itu, ada pula yang atapnya berbentuk kerucut, terutama di Anatolia. Bangunan makam biasanya dibangun di sekitar tempat tinggal tokoh atau bisa pula letaknya dekat masjid atau madrasah.

Masjid

Inovasi para arsitektur Dinasti Seljuk yang lainnya tampak pada bangunan masjidnya. Masjid Seljuk sering disebut Masjid Kiosque. Bangunan masjid ini biasanya lebih kecil yang terdiri atas sebuah kubah dan berdiri melengkung dengan tiga sisi yang terbuka. Itulah ciri khas masjid Kiosque. Model masjid khas Seljuk ini seringkali dihubungkan dengan kompleks bangunan yang luas, seperti caravanserai dan madrasah. (dari berbagai sumber).

Sumber : Republika


Read more.....

Rabu, 18 Februari 2009

Nasib Bangunan Loji di Kudus


Bangunan antik di Kudus tidak hanya Rumah Adat Joglo Kudus yang terkenal karena ukirannya. Banyak bangunan antik lainnya yang dibangun sejak zaman kolonial yang tersebar di wilayah kota soto dan jenang itu. Umumnya bangunan antik atau tua ini berupa rumah tinggal, kantor, atau lembaga pendidikan. Beberapa bangunan masih berfungsi dan berdiri kokoh. Namun, tak sedikit yang merana bahkan tergusur atas nama pembangunan.

Wajah lain dari kota Kudus masa kini adalah banyaknya bangunan ruko. Nyaris tak ada pojok kota yang tak ada rukonya. Ruko-ruko merajalela. Namun, di antara bangunan-bangunan ruko itu masih ada “oase” berupa bangunan tua atau antik yang menjadi saksi sejarah berdirinya kota Kudus.


Seperti perumahan dinas sinderan di area Pabrik Gula (PG) Rendeng yang dibangun pada 1840 oleh maskapai Belanda Mirandolie Voute & Co. Sinder adalah jabatan pengawas lapangan setingkat di atas mandor dalam lingkup pabrik gula. Jelas rumah dinas sinderan dipengaruhi oleh gaya kolonial Belanda, istilah yang populer di Kudus: Loji. Ciri khas rumah sinderan dengan gaya loji adalah menggunakan pintu dan jendela yang besar-besar dengan model persegi serta berdaun jendela atau pintu ganda. Atap bangunan dengan bentuk limasan. Pada plafonnya menggunakan bahan papan kayu.

Juga rumah-rumah cengkih yang antik dan cantik di sepanjang Jalan A Yani, Kudus. Rumah-rumah tempat memproduksi cengkih olahan sebagai bahan pembuatan rokok kelas rumahan ini dipengaruhi juga oleh bangunan loji. Pada bagian atap juga berbentuk limasan. Teras depan lumayan luas walau tanpa atap. Rumah-rumah cengkih biasanya dibangun secara tunggal atau kembar. Menempati area tanah yang luas dengan ornamen berupa tegel-tegel lama dan kaca-kaca patri yang mendominasi lantai, dinding, serta kaca-kaca jendela. Umumnya rumah-rumah cengkih memiliki pekarangan yang luas dengan pagar tembok atau besi yang tinggi. Dengan taman-tamannya yang hijau dan tertata rapi.

”Salah satu ciri yang menonjol dari bangunan antik atau tua di Kudus adalah bekuk lulang,” jelas Sancaka Dwi Supani, S.Pd, Kepala Seksi Sejarah Museum dan Purbakala Pemkab Kudus, saat wawancara Agustus 2008 di kantornya yang berdekatan dengan stadion kota Kudus. Bekuk Lulang adalah ciri bangunan dengan teras depan bangunan memiliki dua arah untuk menghadap. Satu menghadap ke depan, satu lagi menghadap ke samping. Bisa samping kiri atau kanan. Seolah beberapa rumah ukuran sedang disambung menjadi satu. Pada bagian teras umumnya menggunakan lahan yang lebar.

Pengaruh loji atau Belanda yang sangat kuat juga pada galeri dan kafe Omah Mode, juga di Jalan A Yani berdekatan dengan kantor pusat PT Djarum. Omah Mode yang sebelumnya adalah rumah pemerahan susu sapi segar milik keluarga besar Ong Eng Bouw yang dibangun pada tahun 1836, kini telah mengalami renovasi total. Oleh si pemilik rumah tersebut kini menjadi tempat rendezvous dan FO (factory outlet) yang terkemuka di Kudus dan se-Karesidenan Pati.

Bangunan Omah Mode memiliki teras rumah yang lebar. Pilar-pilarnya besar. Kusen-kusen kayu jati tua yang tebal dan bercat (bukan pelitur) demikian pula daun pintu dan jendelanya yang ganda. Banyak ornamen pada daun pintu dan jendela. Omah Mode tergolong bangunan tua atau antik di Kudus yang terselamatkan secara utuh oleh pihak keluarga besar Ong Eng Bouw.

”Walau mengalami renovasi, semua interior atau eksterior di Omah Mode dipertahankan keasliannya,” kata Alfian, supervisor Omah Mode. Selain sebagai aset, keluarga Ong mengenalkan cagar budaya (berupa rumah antik dengan segala pernak-perniknya) kepada pengunjung lewat kafe dan factory outlet Omah Mode.

Bernasib mujur

Tak semua bangunan tua atau antik di Kudus bernasib mujur seperti yang dialami Omah Mode dan bangunan-bangunan tua lainnya. Salah satu bangunan tua yang telah tergusur adalah rumah dinas PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) di Desa Getas Pejaten. Ada sekitar 10-an rumah dinas yang telah tergusur dan kini menjadi ruko.

”Hingga kini ada 32 bangunan tua zaman kolonial di Kudus yang terselamatkan,” kata Sancaka dengan nada prihatin. 32 bangunan itu di antaranya bangunan SMP 1 Kudus, kantor Kawedanan (wedono = pembantu bupati) di Desa Kramat, dan Rumah Markas Gerilya Macan Putih (Gerilya Muria) di Jalan Jurang Gebog.

Selain rumah tinggal, di Kudus juga terdapat bangunan tua dengan pengaruh loji yang hingga kini berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Salah satunya bangunan SMP Negeri 1 Kudus yang terletak di Jalan Sunan Muria. Bangunan SMP 1 dibangun dengan gaya pastoran. Pada masa kolonial gedung tersebut pernah menjadi sekolah bagi para sinyo Belanda.

Ciri khas bangunan gaya pastoran Belanda adalah plafon kayu yang tinggi (agar sirkulasi udara secara alami, mengingat zaman dulu belum ada pendingin udara), juga bangsal pertemuannya beratap limas dengan konstruksi kayu. Selain itu, tentu saja pintu dan jendela berdaun ganda.

Selain dipengaruhi gaya loji (Belanda), gaya Paris (Perancis), serta gaya yang biasa disebut rumah jengki juga memengaruhi sejumlah bangunan tua di Kudus. Seperti Rumah Kembar milik Keluarga Nitisemito yang mengapit Sungai Gelis adalah perpaduan gaya loji dan Paris. Ciri bangunan Paris pada kusen pintu atau jendela tidak berupa persegi, tapi melengkung pada bagian atas mirip setengah lingkaran.

Selain itu gaya rumah jengki juga terlihat pada sejumlah bangunan-bangunan lain di Kudus, seperti rumah milik seorang keluarga yang digunakan sebagai tempat tinggal dan usaha di desa Barongan, RS Bersalin Miriam, atau kantor Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Kudus. Bangunan tua itu tetap terawat, berfungsi baik, dan menjadi kebanggaan bagi yang menempatinya.

Memang perlu upaya keras dan dana yang tidak sedikit untuk merawat dan menjaga bangunan tua sebagai cagar budaya. Baik itu oleh pihak pemda dan para pemilik bangunan-bangunan tua/antik itu. Karena cagar budaya di setiap kota mencerminkan sejarah kota itu sendiri. Jangan sampai atas nama pembangunan (kota), cagar budaya pun lenyap tinggal sejarah. Ruko lagi, ruko lagi....

Sumber : Kompas

Read more.....

Kamis, 23 Oktober 2008

Membangun Sekolah, Mengukir Masa Depan

Catatan Sudharto P Hadi

Mengunjungi tanah rencong bagi saya sungguh merupakan impian. Tahun 2001 saya pernah diundang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) untuk menjadi narasumber pada diskusi tentang pengelolaan sumber alam berkelanjutan. Meskipun makalah telah saya kirim, tetapi karena alasan keamanan, atas saran banyak teman, saya terpaksa membatalkan keberangkatan.

Rasa penasaran untuk merealisasikan kunjungan makin tinggi saat Aceh masih dilanda duka. Seorang teman dari Lhokseumawe yang kebetulan ketemu dalam kunjungan itu seperti mengetahui perasaan saya. Dia mengatakan, ''Beruntung Anda masih bisa menyaksikan Aceh dalam suasana seperti ini.''


Memang, meskipun telah sampai hitungan hari ke-104 setelah bencana tsunami dan tidak tampak lagi mayat-mayat bergelimpangan sebagaimana saya lihat di media elektronik dan cetak, tetapi hati ini merasa masih tersayat. Sejauh mata memandang dari Pantai Ulee Lheue dan Syiah Kuala yang tampak hanyalah puing-puing bangunan yang hancur berantakan.

Di antara luluk-lantak bangunan, masih tampak di sana-sini bangunan masjid dan surau yang tetap berdiri dengan kubahnya. Wilayah Kota Banda Aceh memang menderita paling parah. Ditinjau dari luas daerah bencana, memang hanya mencakup tiga kecamatan. Tetapi, karena penduduknya yang padat, dua pertiga dari jumlah korban di seluruh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, menurut Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh Yunus, adalah dari ibu kota provinsi ini.

Cerita tentang dahsyatnya tsunami rasanya telah banyak diungkap. Satu monumen hidup yang bisa menjadi saksi adalah kapal PLTD Apung berbobot mati 4.000 ton yang terdampar sampai sejauh 3 km dari garis pantai. Kapal ini sekarang teronggok di antara rumah-rumah penduduk. Bisa dibayangkan sebuah tsunami mampu mengangkat kapal raksasa itu di antara atap bangunan dan gedung-gedung.

Di antara bangunan yang berantakan adalah bangunan sekolah. Bencana tsunami bukan hanya menyebabkan warga Aceh kehilangan anak, suami, istri, sanak keluarga, handai-taulan, tetapi juga anak-anak sekolah kehilangan tempat dan fasilitas belajar. Tsunami bukan hanya menyapu bangunan fisik, melainkan peralatan dan sarana belajar.

Membayangkan bagaimana bencana itu terjadi dan menyisakan demikian besar kerusakan, memunculkan perasaan bahwa kita ini hanyalah makhluk yang amat kecil di mata Sang Khalik, apalagi kalau di antara puing-puing reruntuhan itu masih tersisa bangunan masjid dan surau-surau. Hanya mukjizat dan kebesaran Tuhan yang menjadi jawabannya.

***

Berangkat dari kondisi itu, harian Suara Merdeka yang telah berhasil menghimpun dana dari pembacanya sejumlah Rp 8,6 miliar mengalokasikannya untuk membangun gedung sekolah di wilayah Blang Padang, Punge Jurong, Desa Tongkil, Kecamatan Meuraxa, salah satu kecamatan yang paling parah di wilayah Banda Aceh.

Keharuannya karena langkah Suara Merdeka ini merupakan bentuk tindakan nyata dan pertama kalinya untuk membangun sekolah dasar.

Dalam catatannya, sejak Aceh ini diterpa tsunami, banyak pihak yang menyatakan kesediaannya untuk membantu, bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga pihak-pihak asing.

Akan tetapi yang benar-benar merealisasikan masih sangat minim. Hal ini sejalan dengan pengamatan Forum Rektor yang melakukan kunjungan pada akhir Februari bahwa komitmen bantuan baru terealisasi 30%.

Ketua PWI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Adnan NS yang juga anggota DPD Provinsi NAD menyempatkan hadir pada upacara tersebut, meskipun malam harinya masih di Lhokseumawe untuk suatu acara.

''Bagi saya perjalanan empat jam sangat tidak berarti dibandingkan dengan perjalanan dan niat mulia teman-teman Jawa Tengah,'' katanya.

Dengan bantuan pembaca Suara Merdeka ini, dia merasakan bahwa Aceh sekarang tidak merasa sendirian. ''Komitmen yang ditunjukkan oleh berbagai pihak di Tanah Air menunjukkan Aceh adalah bagian dari republik ini,'' katanya.

Pernyataan Ketua PWI ini rupanya sejalan dengan kesan dr. Budi Laksono MHSC, relawan PMI Kota Semarang yang telah sebulan di tengah-tengah pengungsi di Desa Muenasah, Kecamatan Lepong, Aceh Besar. Dia bukan hanya memberikan pertolongan medis, melainkan juga bersama-sama dengan warga membangun rumah sederhana berukuran 4 x 5 m bagi para korban.

Di sela-sela percakapan informal setelah saya menyerahkan bantuan paket buku pelajaran kepada Sekda, Kepala Diknas, para kepala sekolah dan Ketua PWI, saya juga mengatakan mahasiswa Aceh di Undip yang keluarganya tertimpa bencana, kita bebaskan SPP-nya.

Melalui koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta para alumnus Undip, kita juga membantu biaya hidup mereka.

Gedung yang dibangun atas bantuan pembaca Suara Merdeka merupakan gedung SD gabungan. Sebelum tsunami, di lokasi yang luasnya sekitar 6000 m2 itu terdapat tiga SD, yakni SD 2, 10, dan 11. Luas gedung yang akan dibangun mencapai 2100 m2 direncanakan untuk menampung murid-murid ketiga sekolah yang sekarang masih nebeng belajar di berbagai gedung sekolah yang lain seperti SMP 1 yang letaknya tidak di lokasi bencana. Salah satu sisa-sisa bangunan di lokasi itu yang masih berdiri, meskipun tidak lagi tegak, yaitu satu bangunan bertingkat dari salah satu SD.

Pada dinding tangga bangunan ini masih terpampang moto ''Belajar di Waktu Kecil bagai Mengukir di Atas Batu, Belajar di waktu Besar bagai Mengukir di Atas Air''. Makna dari tulisan itu adalah bahwa pendidikan dasar itu sangat penting, karena pengetahuan yang diberikan akan terpateri dalam hati seperti sebuah ukiran di batu dan tidak gampang lenyap seperti ukiran di air. Karena itu, membangun sekolah dasar berarti meletakkan dasar yang kuat untuk masa depan anak-anak kita. Bencana dan kerusakan memang wajar kita ratapi, tetapi jangan biarkan anak-anak kita telantar dan kehilangan kesempatan mengukir masa depan mereka.

Terima kasih kepada teman-teman pembaca, semoga bantuan kita bukan hanya mampu meringankan penderitaan suadara-saudara kita, melainkan juga mampu mengaktualisasikan moto itu menjadi kenyataan.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008