Kamis, 23 Oktober 2008

Membangun Sekolah, Mengukir Masa Depan

Catatan Sudharto P Hadi

Mengunjungi tanah rencong bagi saya sungguh merupakan impian. Tahun 2001 saya pernah diundang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) untuk menjadi narasumber pada diskusi tentang pengelolaan sumber alam berkelanjutan. Meskipun makalah telah saya kirim, tetapi karena alasan keamanan, atas saran banyak teman, saya terpaksa membatalkan keberangkatan.

Rasa penasaran untuk merealisasikan kunjungan makin tinggi saat Aceh masih dilanda duka. Seorang teman dari Lhokseumawe yang kebetulan ketemu dalam kunjungan itu seperti mengetahui perasaan saya. Dia mengatakan, ''Beruntung Anda masih bisa menyaksikan Aceh dalam suasana seperti ini.''


Memang, meskipun telah sampai hitungan hari ke-104 setelah bencana tsunami dan tidak tampak lagi mayat-mayat bergelimpangan sebagaimana saya lihat di media elektronik dan cetak, tetapi hati ini merasa masih tersayat. Sejauh mata memandang dari Pantai Ulee Lheue dan Syiah Kuala yang tampak hanyalah puing-puing bangunan yang hancur berantakan.

Di antara luluk-lantak bangunan, masih tampak di sana-sini bangunan masjid dan surau yang tetap berdiri dengan kubahnya. Wilayah Kota Banda Aceh memang menderita paling parah. Ditinjau dari luas daerah bencana, memang hanya mencakup tiga kecamatan. Tetapi, karena penduduknya yang padat, dua pertiga dari jumlah korban di seluruh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, menurut Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh Yunus, adalah dari ibu kota provinsi ini.

Cerita tentang dahsyatnya tsunami rasanya telah banyak diungkap. Satu monumen hidup yang bisa menjadi saksi adalah kapal PLTD Apung berbobot mati 4.000 ton yang terdampar sampai sejauh 3 km dari garis pantai. Kapal ini sekarang teronggok di antara rumah-rumah penduduk. Bisa dibayangkan sebuah tsunami mampu mengangkat kapal raksasa itu di antara atap bangunan dan gedung-gedung.

Di antara bangunan yang berantakan adalah bangunan sekolah. Bencana tsunami bukan hanya menyebabkan warga Aceh kehilangan anak, suami, istri, sanak keluarga, handai-taulan, tetapi juga anak-anak sekolah kehilangan tempat dan fasilitas belajar. Tsunami bukan hanya menyapu bangunan fisik, melainkan peralatan dan sarana belajar.

Membayangkan bagaimana bencana itu terjadi dan menyisakan demikian besar kerusakan, memunculkan perasaan bahwa kita ini hanyalah makhluk yang amat kecil di mata Sang Khalik, apalagi kalau di antara puing-puing reruntuhan itu masih tersisa bangunan masjid dan surau-surau. Hanya mukjizat dan kebesaran Tuhan yang menjadi jawabannya.

***

Berangkat dari kondisi itu, harian Suara Merdeka yang telah berhasil menghimpun dana dari pembacanya sejumlah Rp 8,6 miliar mengalokasikannya untuk membangun gedung sekolah di wilayah Blang Padang, Punge Jurong, Desa Tongkil, Kecamatan Meuraxa, salah satu kecamatan yang paling parah di wilayah Banda Aceh.

Keharuannya karena langkah Suara Merdeka ini merupakan bentuk tindakan nyata dan pertama kalinya untuk membangun sekolah dasar.

Dalam catatannya, sejak Aceh ini diterpa tsunami, banyak pihak yang menyatakan kesediaannya untuk membantu, bukan hanya dari dalam negeri, melainkan juga pihak-pihak asing.

Akan tetapi yang benar-benar merealisasikan masih sangat minim. Hal ini sejalan dengan pengamatan Forum Rektor yang melakukan kunjungan pada akhir Februari bahwa komitmen bantuan baru terealisasi 30%.

Ketua PWI Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Adnan NS yang juga anggota DPD Provinsi NAD menyempatkan hadir pada upacara tersebut, meskipun malam harinya masih di Lhokseumawe untuk suatu acara.

''Bagi saya perjalanan empat jam sangat tidak berarti dibandingkan dengan perjalanan dan niat mulia teman-teman Jawa Tengah,'' katanya.

Dengan bantuan pembaca Suara Merdeka ini, dia merasakan bahwa Aceh sekarang tidak merasa sendirian. ''Komitmen yang ditunjukkan oleh berbagai pihak di Tanah Air menunjukkan Aceh adalah bagian dari republik ini,'' katanya.

Pernyataan Ketua PWI ini rupanya sejalan dengan kesan dr. Budi Laksono MHSC, relawan PMI Kota Semarang yang telah sebulan di tengah-tengah pengungsi di Desa Muenasah, Kecamatan Lepong, Aceh Besar. Dia bukan hanya memberikan pertolongan medis, melainkan juga bersama-sama dengan warga membangun rumah sederhana berukuran 4 x 5 m bagi para korban.

Di sela-sela percakapan informal setelah saya menyerahkan bantuan paket buku pelajaran kepada Sekda, Kepala Diknas, para kepala sekolah dan Ketua PWI, saya juga mengatakan mahasiswa Aceh di Undip yang keluarganya tertimpa bencana, kita bebaskan SPP-nya.

Melalui koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Semarang serta para alumnus Undip, kita juga membantu biaya hidup mereka.

Gedung yang dibangun atas bantuan pembaca Suara Merdeka merupakan gedung SD gabungan. Sebelum tsunami, di lokasi yang luasnya sekitar 6000 m2 itu terdapat tiga SD, yakni SD 2, 10, dan 11. Luas gedung yang akan dibangun mencapai 2100 m2 direncanakan untuk menampung murid-murid ketiga sekolah yang sekarang masih nebeng belajar di berbagai gedung sekolah yang lain seperti SMP 1 yang letaknya tidak di lokasi bencana. Salah satu sisa-sisa bangunan di lokasi itu yang masih berdiri, meskipun tidak lagi tegak, yaitu satu bangunan bertingkat dari salah satu SD.

Pada dinding tangga bangunan ini masih terpampang moto ''Belajar di Waktu Kecil bagai Mengukir di Atas Batu, Belajar di waktu Besar bagai Mengukir di Atas Air''. Makna dari tulisan itu adalah bahwa pendidikan dasar itu sangat penting, karena pengetahuan yang diberikan akan terpateri dalam hati seperti sebuah ukiran di batu dan tidak gampang lenyap seperti ukiran di air. Karena itu, membangun sekolah dasar berarti meletakkan dasar yang kuat untuk masa depan anak-anak kita. Bencana dan kerusakan memang wajar kita ratapi, tetapi jangan biarkan anak-anak kita telantar dan kehilangan kesempatan mengukir masa depan mereka.

Terima kasih kepada teman-teman pembaca, semoga bantuan kita bukan hanya mampu meringankan penderitaan suadara-saudara kita, melainkan juga mampu mengaktualisasikan moto itu menjadi kenyataan.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008