Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Juni 2009

Prof Eko Masuki Purnatugas (2)

Ingin Melihat Undip Lebih Disegani
RUMAH bagi Prof Ir Eko Budihardjo MSc, merupakan tempat terpenting. Selain sarana berkumpul anggota keluarga, juga berfungsi sebagai peluruh stres. Prof Eko merancang sendiri rumahnya. Ia membikin bangunan dua lantai di Jalan Telaga Bodas Raya Kav I No 4, Semarang itu senyaman mungkin.

Rumah itu mengadopsi konsep Romo Mangun, yakni menyerupai payung di tengah lapangan. Dengan ventilasi cukup, udara dan cahaya leluasa masuk dari segenap penjuru mata angin.

Aneka tanaman di pekarangan, menambah keasrian rumah yang ditinggali Prof Eko setelah tak lagi menjabat rektor Undip itu. Memiliki rumah pribadi yang nyaman dan asri merupakan angan-angannya semenjak dulu. Maka, ketika angan-angan itu terwujud, ia merasa sangat bersyukur. Kalau sudah begitu, ingatannya pun meloncat ke masa lalu, saat itu masih berstatus dosen muda, pernah tinggal bersama istri dan anaknya di penginapan milik Undip. Bukan dalam bentuk rumah, melainkan hanya sebuah kamar.


Alkisah pada 1976, Prof Eko mendapat beasiswa ke Inggris. Karena cukup lama, ia mengajak serta istri dan anaknya. Untuk itu Prof Eko harus mendapatkan dana tambahan. Cara yang paling gampang adalah dengan menjual mobil serta mengontrakkan rumah miliknya di Jalan Erlangga.

Saat studinya berakhir, Prof Eko sekeluarga kembali ke Indonesia. Namun masa kontrak rumah itu belum berakhir. Jadilah mereka keluarga yang tak punya tempat tinggal. Atas saran seorang kawan, ia memberanikan diri menemui rektor Undip yang saat itu dijabat Prof Soedarto SH.

Prof Eko memohon izin menempati penginapan milik Undip yang biasa dipakai untuk tamu-tamu dari luar negeri. ”Kepada Prof Darto saya bilang, saya ini kan juga baru datang dari luar negeri. Eh, alasan ngawur-ngawuran itu diterima. Mungkin beliau kasihan kepada saya, ha ha ha.”

Kisah Mengesankan

Soal rumah hanya bagian kecil dari romantika perjalanan karier Prof Eko. Di luar itu, masih banyak berserak kisah-kisah yang mengesankan. Salah satunya adalah pelantikan dirinya sebagai rektor Undip, menggantikan Prof Dr Muladi SH di tengah suasana chaos reformasi 1998. Mengesankan, karena selain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Ir Wiranto Arismunandar, Prof Eko juga dilantik oleh mahasiswa.

Ceritanya, mahasiswa Undip menolak mengakui Prof Eko sebagai rektor jika pelantikan dilakukan di Jakarta. Mereka menginginkan pelantikan di Semarang dengan disaksikan para mahasiswa. Namun karena alasan keamanan, pelantikan itu akhirnya tetap dilaksanakan di Jakarta pada 19 Mei.

Mengetahui itu, mahasiswa merasa kecewa. Mereka melalui lembaga Senat Mahasiswa akhirnya berinisiatif membuat upacara pelantikan sendiri. Acara itu terlaksana pada 23 Mei, ketika berlangsung serah-terima jabatan, dari Prof Muladi kepada Prof Eko.

Kisah mengesankan juga terkait dengan puncak pencapaian. Dari sekian banyak prestasi yang diraih, Prof Eko paling bangga dengan pencapaian Undip sebagai satu dari tiga universitas di Indonesia yang masuk dalam the best university in the world versi Times Higher Education pada 2006. Peringkat Undip berada di bawah UI dan UGM.

”Menjadi nomor tiga itu luar biasa. Kalau UI dan UGM menempati peringkat atas itu wajar. UI yang berada di Jakarta dekat dengan Presiden. UGM di Yogyakarta dekat dengan kerajaan. Lha Undip, dekatnya cuma sama rakyat.”

Kesuksesan Undip, kata Prof Eko, diraih tidak dengan cara gampang. Selain pembenahan internal, Undip juga gencar melakukan kerja sama dengan pihak luar melalui program go international. Pada 2005 Prof Eko mengajak delapan dekan melakukan kunjungan ke tujuh Universitas di Amerika Serikat. Masih di tahun yang sama, Undip melakukan kerja sama program double degree dengan lima universitas di Perancis.

Masih sebagai rektor, Prof Eko pernah mencanangkan Undip sebagai universitas riset. Oleh Prof Dr dokter Soesilo Wibowo SMed SPAnd, penggantinya, gagasan itu diperkuat dengan memasang target pencapaian pada 2020. Dalam pemikirannya, kemajuan ilmu pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui penelitian.

”Dalam statuta saat itu, Undip hanya disebut sebagai educational university. Ini sesuatu yang menghambat. Educational university itu sekadar preservation of science atau pengawetan ilmu pengetahuan. Ya udah ilmunya cuma itu-itu saja. Beda dengan research university. Di sana ada pengembangan ilmu. Dosen-dosen dituntut melakukan penelitian.”

Puncak pencapaian lain adalah penghargaan Kalpataru pada 1998. Penghargaan itu diberikan, karena sebagai akademisi dinilai mampu melakukan upaya pelestarian lingkungan. Saat Taman KB hendak didirikan bangunan, misalnya, Prof Eko berdiri di barisan mereka yang gigih melakukan penolakan.

Merasa Gagal

Di ranah domestik, Prof Eko sukses menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga. Ia menjadi pengayom sekaligus teladan bagi istri, anak, serta cucunya. Sebagai akademisi, lelaki berzodiak Gemini itu senantiasa menanamkan pentingnya pendidikan. Itulah mengapa seluruh anggota keluarga Prof Eko berpendidikan pascasarjana dan sukses di bidangnya masing-masing. Istrinya Ir Sudanti Hardjohoebojo MSL pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Permukiman dan Tata Ruang (Kimtaru) Jateng. Dr Holy Ametati Sp KK, anak pertama, bekerja di RS Permata Medika. Anak kedua, Aretha Aprilia ST MSc saat ini mengikuti pendidikan di United Nations Environmental Program di Bangkok. Demikian dengan kedua menantu. Dr Firdaus Wahyudi MKes (suami Holy Ametati) menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Undip. Sedangkan Dr Nuki Agya Utama MSc (suami Aretha) tengah mengikuti program post doctoral di Kyoto University, Jepang.

Di luar kisah sukses, Prof Eko juga pernah merasa gagal. Itulah kegagalan mewujudkan obsesi membangun auditorium baru sebagai pengganti auditorium Undip Pleburan. Menurut Prof Eko, keberadaan auditorium yang rencananya dibangun di sebelah Gedung Serbaguna (GSG) Tembalang itu itu penting. Kalau terwujud, ia bisa menampung 5.000 wisudawan sekaligus.
”Sejauh ini Undip belum memiliki gedung yang representatif untuk wisuda mahasiswa. Akibatnya wisuda harus dilakukan sendiri-sendiri,” ujar kakek dari Jasmine Alvita Firdaus (9) dan Akhtar Avatara (3) itu.

Kegagalan lain? Urung menduduki kursi calon Gubernur Jateng pada Pilkada 2008. Meski demikian Prof Eko tak pernah menganggap itu sebagai kegagalan. Sebaliknya, ia merasa beroleh pengalaman luar biasa. Prof Eko yang dengan niat baik maju dalam pilkada terhalang oleh persyaratan dana.

”Saat menjalani fit and proper test di Jakarta, pertanyaan pertama yang dilontarkan adalah soal kesiapan dana kampanye. Saya yang sedari awal berkomitmen untuk tak bermain politik uang, langsung gugur. Itulah kenapa saya merasa itu bukan suatu kegagalan.”

Kini, meski tak lagi memimpin Undip, Prof Eko mengaku tetap menambatkan hatinya di perguruan tinggi itu, ingin menyaksikan Undip menjadi universitas yang lebih disegani di kancah internasional. Prof Eko pun menitip pesan kepada seluruh civitas akademika Undip untuk menajamkan unsur dalam Tri Dharma, terutama bidang penelitian dan pengabdian.

”Penelitian dosen dan mahasiswa perlu ditingkatkan. Syukur-syukur hasilnya diterbitkan di jurnal internasional. Mengenai pengabdian, semestinya cendekiawan di kampus ikut memikirkan masalah bangsa dan negara. Jangan memakai kaca mata kuda,” tandasnya.

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Prof Eko Masuki Purnatugas (1)

Saya Tetap ''Willem Ortano''
Setelah mengabdi selama 40 tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Selasa (9/6), Prof. Ir. Eko Budihardjo, MSc akan memasuki purnatugas. Apa saja karya yang telah ia buat? Apa pula obsesi yang belum ia raih?

ZONDER rehat sepulang dari Jakarta, Minggu (7/6) pagi, Prof. Ir. Eko Budihardjo MSc langsung mengadakan jumpa pers di kediamannya, Jl Telaga Bodas Raya Kav I No 4 Semarang. Bagai tak merasa capai, mantan Rektor Undip (1998-2006) itu melayani dengan antusias sejumlah awak media yang ia undang.


Selain memapar acara purnatugas yang rencananya dilaksanakan Selasa (9/6), ia juga bicara panjang-lebar soal pendidikan tinggi, arsitektur dan tata kota. Prof. Eko, sapaan Eko Budihardjo, terlihat bergairah. Dengan gaya cablaka, ia mengkritik lembaga universitas yang cenderung menjadi produk kapital. Lelaki kelahiran Purbalingga 9 Juni 1944 itu juga menyentil sebagian arsitek dan ahli tata kota yang acap melakukan pelacuran profesi serta larut dalam arus global.

Meski kritiknya pedas, Prof. Eko tetap menyisipkan humor-humor segar nancerdas. Dua jam lebih ia bicara, para jurnalis tekun menyimaknya. Ya, tak ada yang berubah dari Prof Eko menjelang masa purnatugasnya. Ia tetap aktif, bersemangat, dan cablaka.

Bagi Prof Eko, purnatugas sekadar tengara. Menyitir puisi Emil Salim yang didedikasikan kepadanya, ia mengatakan bahwa yang purna itu status PNS, bukan tugasnya. Sebagai manusia yang kebetulan dikaruniai ilmu pengetahuan, Prof Eko merasa tak patut berhenti membagikannya.

Itulah mengapa alumnus Departement of Town Planning pada University of Wales Institute of Science and Tecnology, Cardiff, Inggris tersebut bertekat akan terus aktif mendharmabaktikan dirinya untuk masyarakat. Meski pensiun, Prof Eko masih diminta mengajar.

”Sebelum SK pensiun dari pusat turun, saya sudah menerima SK perpanjangan masa mengajar dari rektor Undip. Jadi dijamin nggak nganggur, ha ha ha.”

Aktivitas Segudang

Kalau pun SK perpanjangan masamengajar itu tak turun, Prof Eko tak akan benar-benar jadi penganggur. Pasalnya, di luar mengajar, ia punya aktivitas segudang, antara lain aktif sebagai Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari (Fokkal), Badan Standarisasi Mutu Pendidikan (BSMP), anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Ketua Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, Ketua Yayasan GRIS, dan Ketua Paguyuban Adi Yuswa.


Khusus yang terakhir, bertujuan mengajak kaum lanjut usia memberi kontribusi kepada masyarakat. Di paguyuban itu berkumpul banyak tokoh sepuh yang punya pandangan serupa Prof Eko. Ada Prof Kartini Sujendro, Prof Satjipto Rahardjo, Siti Fatimah Moeis MSc, Prof Agnes Widanti, dan sejumlah tokoh lain.


“Meski berusia lanjut, seseorang harus tetap memberikan apa yang ia punya untuk kemaslahatan sesama,” ujarnya.
Memasuki masa purnatugas dan memimpin Paguyuban Adi Yuswa, tak membuat Prof Eko merasa tua. Ia mencoba berpikir positif dengan mengambil hikmah yang ada. Suami Ir Sudanti Hardjohoebojo MSL itu merasa senang karena punya waktu luang yang bisa dipakai untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.


Kini, Prof Eko juga bisa bebas ke mana-mana. Beberapa waktu lalu menghadiri sebuah acara di Makassar, lalu Jakarta, dan besok antara tanggal 11-22 Juni, ia akan menjenguk anaknya yang bertugas di Kyoto, Jepang. Prof Eko sekarang merasa menjadi free man.

“Pokoknya meski pensiun, saya tetap “willem ortano”, dijawil gelem ora tau nolak, ha ha ha. Beberapa saat setelah lengser dari kursi Rektor Undip, saya sempat menjadi nomine Rektor Universitas PBB. Tapi belum kesampaian, karena yang terpilih akhirnya seorang guru besar dari Belanda. Minggu lalu saya dapat tawaran lagi dari Dirjen Dikti untuk sebuah posisi di UNESCO, tapi nggak tahu bagaimana hasilnya. Kalau memang tembus, ya saya jalani.”

“Willem Ortano” memang prinsip yang diugemi Prof Eko semenjak dulu. Ia selalu berusaha menangkap dan memanfaatkan peluang yang datang kepadanya sebaik mungkin.
Suatu ketika guru besar Fakultas Teknik yang menyukai puisi itu pernah menjadi penceramah di forum pengajian Maulid Nabi. Kali lain ia berbicara soal nuklir di Yogyakarta.

Meski demikian, bukan berarti Prof Eko penganut aji mumpung. Ia tetap mengukur sesuatu dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Saat berbicara soal nuklir, misalnya, Prof Eko menggunakan perspektif sosial budaya.
Untuk dapat menjalani seabrek aktivitas itu dengan baik, lelaki yang dikaruniai dua anak dan dua cucu itu perlu menjaga kebugaran tubuhnya. Sebab walau bagaimanapun, kondisi fisiknya kini tak setangguh dulu.

Setiap hari Prof Eko merasa perlu melakukan olah raga pagi. Ia berjalan kaki keliling Stadion Jatidiri yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Sesudah itu dilanjutkan dengan melakukan olah raga waitankung.

“Senam terapi dari China itu saya kenal saat mengikuti kursus Lemhanas. Selama delapan bulan di sana, saya melakukan seminggu empat kali. Begitu selesai, eh langsung dapat sertifikat pelatih. Tapi saya tidak pernah menggunakan sertifikat itu. Sejauh ini murid saya baru satu, istri saya sendiri.”

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008