Jumat, 24 Oktober 2008

Simpanglima sebagai Ruang Publik ''Pluralis''

Oleh: M Agung Ridlo

PEMIKIRAN pakar perencana kota, Kevin Lynch, dalam buku Good City Form, banyak memengaruhi para pakar perencana kota dewasa ini.

Dia melihat kota sebagai suatu "diorama" yang terpampang dalam museum sejarah dan di dalamnya terdapat rentetan peristiwa yang merefleksikan kesan-kesan tertentu.

Dengan kata lain, kota bisa dilihat dari hubungan "diorama kota" dengan sejarah masa lalunya. Penyebaran lokasi permukiman penduduk dan kualitas artefaknya yang berupa gugusan kelompok permukiman, merupakan cerminan dari kelas-kelas sosial masyarakat yang menghuninya. Kelas-kelas sosial masyarakat itu dapat dilihat dari lingkungan huniannya beserta fasilitas penunjang yang dibuat.


Saat itu perencana kota lebih banyak diartikan sebagai perencana fisik (JCS Neider, 1979). Pembangunan plasa (alun-alun), shopping mall, boulevard (jalan-jalan), palace (istana), garden (taman), dan aspek keindahan lain lebih ditonjolkan oleh para perencana kota tanpa dikaitkan dengan aspek-aspek lain, seperti sosial dan ekonomi.

Dalam kurun waktu itulah, para perencana kota ditugasi menerjemahkan gagasan, impian, dan obsesi penguasa dalam usaha mewujudkan jati dirinya yang dituangkan dalam bentuk kota. Penataan kota diukur oleh rasa kepuasan dan pertimbangan dalam skala monumental para urban manager.

Luasnya plaza, nyamannya shopping mall, luasnya boulevard, megahnya istana, teduhnya garden tidak diukur untuk kepentingan semua pihak.

Golongan the have tampaknya akan sangat senang dengan semua itu. Akan tetapi, apakah hal itu bisa dirasakan oleh golongan have not yang proporsinya lebih banyak?

Sebagai contoh, pusat Kota Semarang dahulu adalah Pasar Johar dan sekitarnya (Yaik dan lapangan depan Masjid Kauman). Kemudian pada 1965 oleh Presiden Soekarno diarahkan untuk membuat alun-alun ke selatan ke kaki bukit Candi (Simpanglima saat ini).

Konon ide dan gagasan pembentukan pusat pertumbuhan baru di kawasan Simpanglima adalah sebagai kawasan yang bernuansa religius, budaya, pendidikan, dan sedikit sekali penunjang bangunan bisnis. Harapannya, kelak akan berkembang menjadi aktivitas pluralis. Namun dalam perjalanan waktu dan perubahan urban manager telah terjadi perubahan peruntukan dan fungsi.

Gedung Olah Raga (GOR) pada 1993 berubah menjadi Citraland Mall, open space (lapangan bermain) berubah menjadi Simpanglima Plaza (1988), Wisma Pancasila berubah menjadi Matahari & Hotel Horison, Bioskop Gajahmada (1980) berubah menjadi Ramayana (2003), STM Pembangunan (1980) sekarang namanya SMK 7 kabarnya akan diruilslag? Studi RTBL Kawasan Simpanglima Kota Semarang sudah digulirkan. Akan seperti apakah Simpanglima ke depan? Akan mengakomodasi siapa saja?

Simpanglima dan sekitarnya adalah ruang publik sehingga semestinya menjadi ruang publik. Ruang publik mengandaikan demokrasi pluralis, diharapkan orang menikmati keberadaan bersama orang lain yang berbeda-beda. Peruntukan ruang kemajemukan.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008