Rabu, 18 Februari 2009

Nasib Bangunan Loji di Kudus


Bangunan antik di Kudus tidak hanya Rumah Adat Joglo Kudus yang terkenal karena ukirannya. Banyak bangunan antik lainnya yang dibangun sejak zaman kolonial yang tersebar di wilayah kota soto dan jenang itu. Umumnya bangunan antik atau tua ini berupa rumah tinggal, kantor, atau lembaga pendidikan. Beberapa bangunan masih berfungsi dan berdiri kokoh. Namun, tak sedikit yang merana bahkan tergusur atas nama pembangunan.

Wajah lain dari kota Kudus masa kini adalah banyaknya bangunan ruko. Nyaris tak ada pojok kota yang tak ada rukonya. Ruko-ruko merajalela. Namun, di antara bangunan-bangunan ruko itu masih ada “oase” berupa bangunan tua atau antik yang menjadi saksi sejarah berdirinya kota Kudus.


Seperti perumahan dinas sinderan di area Pabrik Gula (PG) Rendeng yang dibangun pada 1840 oleh maskapai Belanda Mirandolie Voute & Co. Sinder adalah jabatan pengawas lapangan setingkat di atas mandor dalam lingkup pabrik gula. Jelas rumah dinas sinderan dipengaruhi oleh gaya kolonial Belanda, istilah yang populer di Kudus: Loji. Ciri khas rumah sinderan dengan gaya loji adalah menggunakan pintu dan jendela yang besar-besar dengan model persegi serta berdaun jendela atau pintu ganda. Atap bangunan dengan bentuk limasan. Pada plafonnya menggunakan bahan papan kayu.

Juga rumah-rumah cengkih yang antik dan cantik di sepanjang Jalan A Yani, Kudus. Rumah-rumah tempat memproduksi cengkih olahan sebagai bahan pembuatan rokok kelas rumahan ini dipengaruhi juga oleh bangunan loji. Pada bagian atap juga berbentuk limasan. Teras depan lumayan luas walau tanpa atap. Rumah-rumah cengkih biasanya dibangun secara tunggal atau kembar. Menempati area tanah yang luas dengan ornamen berupa tegel-tegel lama dan kaca-kaca patri yang mendominasi lantai, dinding, serta kaca-kaca jendela. Umumnya rumah-rumah cengkih memiliki pekarangan yang luas dengan pagar tembok atau besi yang tinggi. Dengan taman-tamannya yang hijau dan tertata rapi.

”Salah satu ciri yang menonjol dari bangunan antik atau tua di Kudus adalah bekuk lulang,” jelas Sancaka Dwi Supani, S.Pd, Kepala Seksi Sejarah Museum dan Purbakala Pemkab Kudus, saat wawancara Agustus 2008 di kantornya yang berdekatan dengan stadion kota Kudus. Bekuk Lulang adalah ciri bangunan dengan teras depan bangunan memiliki dua arah untuk menghadap. Satu menghadap ke depan, satu lagi menghadap ke samping. Bisa samping kiri atau kanan. Seolah beberapa rumah ukuran sedang disambung menjadi satu. Pada bagian teras umumnya menggunakan lahan yang lebar.

Pengaruh loji atau Belanda yang sangat kuat juga pada galeri dan kafe Omah Mode, juga di Jalan A Yani berdekatan dengan kantor pusat PT Djarum. Omah Mode yang sebelumnya adalah rumah pemerahan susu sapi segar milik keluarga besar Ong Eng Bouw yang dibangun pada tahun 1836, kini telah mengalami renovasi total. Oleh si pemilik rumah tersebut kini menjadi tempat rendezvous dan FO (factory outlet) yang terkemuka di Kudus dan se-Karesidenan Pati.

Bangunan Omah Mode memiliki teras rumah yang lebar. Pilar-pilarnya besar. Kusen-kusen kayu jati tua yang tebal dan bercat (bukan pelitur) demikian pula daun pintu dan jendelanya yang ganda. Banyak ornamen pada daun pintu dan jendela. Omah Mode tergolong bangunan tua atau antik di Kudus yang terselamatkan secara utuh oleh pihak keluarga besar Ong Eng Bouw.

”Walau mengalami renovasi, semua interior atau eksterior di Omah Mode dipertahankan keasliannya,” kata Alfian, supervisor Omah Mode. Selain sebagai aset, keluarga Ong mengenalkan cagar budaya (berupa rumah antik dengan segala pernak-perniknya) kepada pengunjung lewat kafe dan factory outlet Omah Mode.

Bernasib mujur

Tak semua bangunan tua atau antik di Kudus bernasib mujur seperti yang dialami Omah Mode dan bangunan-bangunan tua lainnya. Salah satu bangunan tua yang telah tergusur adalah rumah dinas PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) di Desa Getas Pejaten. Ada sekitar 10-an rumah dinas yang telah tergusur dan kini menjadi ruko.

”Hingga kini ada 32 bangunan tua zaman kolonial di Kudus yang terselamatkan,” kata Sancaka dengan nada prihatin. 32 bangunan itu di antaranya bangunan SMP 1 Kudus, kantor Kawedanan (wedono = pembantu bupati) di Desa Kramat, dan Rumah Markas Gerilya Macan Putih (Gerilya Muria) di Jalan Jurang Gebog.

Selain rumah tinggal, di Kudus juga terdapat bangunan tua dengan pengaruh loji yang hingga kini berfungsi sebagai lembaga pendidikan. Salah satunya bangunan SMP Negeri 1 Kudus yang terletak di Jalan Sunan Muria. Bangunan SMP 1 dibangun dengan gaya pastoran. Pada masa kolonial gedung tersebut pernah menjadi sekolah bagi para sinyo Belanda.

Ciri khas bangunan gaya pastoran Belanda adalah plafon kayu yang tinggi (agar sirkulasi udara secara alami, mengingat zaman dulu belum ada pendingin udara), juga bangsal pertemuannya beratap limas dengan konstruksi kayu. Selain itu, tentu saja pintu dan jendela berdaun ganda.

Selain dipengaruhi gaya loji (Belanda), gaya Paris (Perancis), serta gaya yang biasa disebut rumah jengki juga memengaruhi sejumlah bangunan tua di Kudus. Seperti Rumah Kembar milik Keluarga Nitisemito yang mengapit Sungai Gelis adalah perpaduan gaya loji dan Paris. Ciri bangunan Paris pada kusen pintu atau jendela tidak berupa persegi, tapi melengkung pada bagian atas mirip setengah lingkaran.

Selain itu gaya rumah jengki juga terlihat pada sejumlah bangunan-bangunan lain di Kudus, seperti rumah milik seorang keluarga yang digunakan sebagai tempat tinggal dan usaha di desa Barongan, RS Bersalin Miriam, atau kantor Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Kudus. Bangunan tua itu tetap terawat, berfungsi baik, dan menjadi kebanggaan bagi yang menempatinya.

Memang perlu upaya keras dan dana yang tidak sedikit untuk merawat dan menjaga bangunan tua sebagai cagar budaya. Baik itu oleh pihak pemda dan para pemilik bangunan-bangunan tua/antik itu. Karena cagar budaya di setiap kota mencerminkan sejarah kota itu sendiri. Jangan sampai atas nama pembangunan (kota), cagar budaya pun lenyap tinggal sejarah. Ruko lagi, ruko lagi....

Sumber : Kompas

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008