Selasa, 21 Oktober 2008

Sosok Rektor yang Dilantik Mahasiswa


Seribu Wajah Eko Budihardjo

Rektor Undip Eko Budihardjo genap berusia 60 tahun. Undip merayakan ulang tahun itu agak istimewa, dengan menggelar pesta rakyat mulai 7 hingga 9 Juni. Berikut tulisan wartawan Suara Merdeka Saroni Asikin yang mengupas sosok rektor yang satu ini.

SIAPA sih sebenarnya Prof Ir Eko Budihardjo MSc itu? Kalau lihat gelar yang pada namanya, kentara sekali dia seorang akademikus dan intelektual. Memang dia menggenggam atribut itu. Sebagai akademikus, dia adalah Rektor Undip sejak 1998. Intelektual? Ya, intelektualitasnya terlihat pada banyak buku yang ditulisnya seputar arsitektur dan tata kota (planologi). ''Prof Eko'', sebutan akrab orang padanya sudah menjelaskan banyak tentang itu.


Namun, itu belum cukup untuk menggambarkan sosok lelaki kelahiran Banjarnegara, 9 Juni 1944 itu. Masih seabrek atribut yang bisa diberikan kepadanya. Dia bisa ndakik-ndakik berbicara seputar arsitektur atau soal planologi, buah dari kerja kerasnya belajar di Department of Town Planning pada University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff Inggris dengan gelar MSc. Kalau mengutip tulisan Drs Sutrisna, Redaktur Senior Suara Merdeka dalam buku untuk ultah ke-60 Prof Eko, ia adalah manusia dengan seribu wajah.

Ya, di luar itu, dia juga pandai menghibur dan ''menyengat'' lewat puisi, bahkan ketika berhadapan dengan kalangan nonseniman. Atribut seniman dan budayawan pun akhirnya lekat pada dirinya. Jabatannya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) sejak 1993 dan perbaurannya dengan kalangan seniman meneguhkan hal itu.

Kiprahnya di DKJT memberi bukti bahwa Prof Eko adalah intelektual yang mampu menjadi jembatan bagi kepentingan seniman, khususnya ketika berhadapan dengan kalangan birokrat.

''Blak-blakan saja, seniman itu kalau sudah bicara dalam diskusi misalnya, pragmatika yang keluar begitu pedas dan keras. Itu tak disukai kalangan birokrat. Sebaliknya, kalangan seniman juga tak begitu menyukai birokrat, sehingga itu butuh jembatan. Ya, sudah saya dipilih untuk itu. Padahal, ketika ada rencana pembentukan DKJT, saya ini kuda hitam. Tak ada yang tahu,'' tutur dia saat ditemui di rumah dinasnya Jl Imam Barjo, Semarang.

Lebih dari satu dekade berada di posisi itu tak bisa dianggap sepele. Keberhasilannya ''menekan'' Pemprov Jateng untuk membuat gedung khusus untuk seniman seperti Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang hampir rampung tak bisa dianggap enteng. Meskipun sepanjang menjabat Ketua DKJT, angin tak selalu berpihak padanya. Selalu muncul kontroversi ketika dia mengeluarkan gagasan tertentu.

''Sebagian seniman bilang mereka tak butuh tempat untuk pentas. Mereka lebih butuh dana untuk pentas. Bagi saya itu bukan opsi yang harus dipilih salah satu, tapi keduanya sama-sama penting.''

Kesengsem Puisi

Ya, perjumbuhannya dengan kalangan seniman memang memberi warna yang menggairahkan dalam hidupnya. Kegairahan hidup itu boleh jadi dimulai ketika dia kesengsem kepada puisi. Itu diakui Prof Eko mulai dilakukan setelah menjadi Ketua DKJT.

Baca saja apa yang ditulis istrinya Ir Sudanti Hardjohoebojo MSc dalam buku Mengalir dengan Cinta terbitan Patriot (2004), buku yang khusus diterbitkan untuk menyambut ultah ke-60 sang profesor.

''Kalau ada waktu luang di rumah, dulu beliau suka main tenis di dekat rumah dan olahraga waitankung. Hobi beliau yang lain, kalau tak ada acara selalu nulis puisi, membaca, dan surat-menyurat. Nah, ngomong-ngomong tentang puisi, banyak yang bilang 'jatuh cinta karena puisi'. Kelihatannya nggak juga. Sebab, dulu puisi beliau belum dibuat. Setelah jadi Ketua DKJT itulah mulai tampak banget cintanya pada puisi,'' tulis sang istri.

Bukan tanpa alasan kalau Prof Eko menulis puisi dan membacakannya pada setiap forum yang diikutinya, bahkan forum itu sangat formal seperti Forum Rektor. Aktivitas yang lalu membuatnya dikomentari sebagai ''rektor yang hanya bisa berpuisi''.

Prof Eko bercerita, dia kesengsem kepada puisi ketika membaca sajak Ikranegara berjudul ''Merdeka''. ''Unik sekali! Sajak itu hanya berisi satu kata, yaitu 'Belum'. Hanya satu kata itu tapi maknanya sangat dahsyat. Kalau boleh saya bilang, puisi itu ibarat lebah kecil yang menyengat tapi bermadu.''

Dengan jujur pula diakui, pada awalnya dia tak berkehendak menulis puisi. Dia ingat pasti sebuah ''sajak'' yang dibacakannya kali pertama di hadapan para mahasiswa yang melantik dia sebagai rektor pada 1998.

''Saya ini satu-satunya rektor yang dilantik mahasiswa,'' ujarnya sembari tertawa, ''Pasalnya, ketika itu saya akan dilantik di Jakarta tapi mahasiswa saya menginginkan saya dilantik mereka. Ya sudah, saya terima.''

Di situ dia baca sesuatu yang akhirnya membuatnya terkejut sendiri karena membaca sajak Taufiq Ismail yang sangat mirip dengan karyanya itu. Bunyinya: Mahasiswa takut pada dosen/Dosen takut pada Ketua Jurusan/Ketua Jurusan takut pada Dekan/Dekan takut pada Rektor/Rektor takut pada Menteri/Menteri takut pada Presiden/Presiden takut pada mahasiswa.

Kalimat-kalimat yang sederhana tapi kontekstual dan menyengat. Bak lebah, ungkapan itu menyengat tapi tetap bermadu. Pasalnya, ketika itu Soeharto baru saja ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa. Ya, setelah itu, Prof Eko selalu berpuisi. Dan dia hanya tertawa disebut ''rektor yang cuma bisa berpuisi.'' Tak termungkiri pula, predikat budayawan sangat layak digenggamnya.

''Kalau melihat rektornya, nuansa kampus UGM itu politis. USU itu pencetak usahawan, saya bangga Rektor Undip disebut rektor budayawan,'' kata ayah dari Dr Holy Ametati dan Aretha Aprilia ST itu.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008