Kamis, 23 Oktober 2008

Mengapa Menolak Jalan Tol?

Oleh Sudharto P Hadi

Kehadiran jalan tol juga tidak menaikkan nilai properti (tanah dan rumah). Bahkan nilai properti sepanjang jalur yang dilewati tol cenderung menjadi kurang kemedol. SEMUA pihak menyadari bahwa jalan bebas hambatan (tol) Semarang-Solo telah mendesak untuk dibangun mengingat padatnya arus lalu lintas di jalur reguler sekarang ini. Dua kota penting di Jawa Tengah itu hanya berjarak 100 km, tetapi harus ditempuh selama dua setengah jam sampai tiga jam dengan mobil pribadi atau bus umum. Dibanding provinsi lain di Jawa, Jawa Tengah termasuk yang paling minim memiliki fasilitas jalan tol. Tidaklah mengherankan kalau bagi pemprakarsa proyek, jalan tol Semarang-Solo bukan hanya soal kebutuhan melainkan juga menjadi pertaruhan prestis antarprovinsi.


Namun, rupanya tidak gampang merealisasikan gagasan pemerintah provinsi itu. Rencana pembangunan jalan tol kembali menuai hambatan. Setelah warga Klentengsari dan Tirtoagung di wilayah Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, menolak permukiman mereka dilewati, kini giliran warga Kalirejo, Ungaran, meminta dilakukan pengalihan jalur. Sementara itu warga Kelurahan Susukan di kecamatan yang sama meminta ganti rugi atas tanah dan bangunan dengan jumlah yang tinggi alias meminta ganti untung.

Mengapa terjadi penolakan, dan mengapa masyarakat meminta ganti untung?

Unsur Profit

Jalan tol memang untuk kepentingan umum; namun demikian terdapat unsur profit dalam pengoperasiannya. Pengguna jasa jalan tol harus membayar dengan tarif yang selalu naik dari tahun ke tahun. Ada perhitungan untung-rugi di dalam pembangunan dan pengoperasiannya.

Berbeda dari jalan provinsi, kabupaten, dan kota atau jalan negara, yang memang murni untuk kepentingan umum. Dalam kasus jalan tol, menjadi lumrah kalau warga masyarakat kemudian ingin juga memperoleh nilai tambah dari transaksi ganti rugi.

Dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh jalan tol dan jalan reguler juga berbeda. Jalan reguler akan membuka akses, sehingga bisa mendongkrak nilai properti (harga tanah dan rumah), sedangkan pada jalan tol masyarakat justru kehilangan akses terhadap jalan tersebut, karena memang merupakan jalan bebas hambatan.

Kehadiran jalan tol juga tidak menaikkan nilai properti (tanah dan rumah). Bahkan nilai properti sepanjang jalur yang dilewati tol cenderung menjadi kurang kemedol. Bukan hanya karena tidak adanya akses ke jalan tol, tetapi juga karena sebab lain.

Satu-satunya yang membuat selling point adalah warga yang memiliki mobil yang berdekatan dengan gerbang tol, karena akses jalan tol melalui gerbang bisa menghindarkan kemacetan lalu lintas di kota.

Konsekuensi Biaya

Pembebasan lahan dari proyek apa pun senantiasa membawa dampak yang signifikan kepada berbagai bidang kehidupan. Jika yang dibebaskan itu sawah atau ladang, akan mengubah mata pencaharian. Tidaklah mudah bagi warga masyarakat untuk berpindah mata pencaharian; dan itu terjadi karena keterbatasan keterampilan mereka. Sementara itu jika mendapatkan pekerjaan baru, belum tentu tingkat pendapatannya lebih baik dibanding sebelumnya.

Jika yang dibebaskan rumah dan lahan tempat tinggal, berbagai dampak akan dirasakan; di antaranya warga harus pindah ke tempat lain. Perpindahan itu membawa konsekuensi, selain biaya juga waktu dan energi yang besar, karena warga harus mencari tempat baru. Biasanya, harga lahan di tempat lain akan meningkat seiring dengan peristiwa pembebasan lahan. Di lahan baru, mereka harus membangun rumah serta menyesuaikan dengan komunitas baru. Anak-anak kemungkinan juga harus pindah sekolah. Karena itu, pindah tempat tinggal selalu melelahkan, apalagi kalau kepindahan itu dilakukan dengan terpaksa (involuntary resettlement).

Semua konsekuensi tersebut biasanya tidak dikompensasi dengan uang, padahal memerlukan waktu, tenaga, dan menyita pikiran. Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebenarnya sudah memberi ruang untuk mengganti kerugian dalam bentuk lain.

Secara antropologis, tanah itu memiliki keterikatan yang kuat dengan penghuninya, sehingga keberadaannya diperlakukan sebagai sadumuk batuk sanyari bumi. Masih ada orang yang memiliki kepercayaan bahwa mereka harus meninggal di tanah lahirnya. Karena itu, tidaklah mengherankan jika berbagai kasus pembebasan tanah di banyak tempat berjalan alot.

Kita ingat peristiwa pembebasan lahan di Borobudur untuk keperluan taman wisata candi tersebut pada sekitar 1984 yang menyedot perhatian besar dan menjadi isu nasional. Pembebasan lahan untuk keperluan Waduk Kedungombo pada awal 1980-an, masih menyisakan luka beberapa kelompok masyarakat sampai sekarang. Juga kisah pembangunan Waduk Nipah di Madura yang merenggut nyawa penduduk yang berusaha mempertahankan tanahnya.

Barisan Sakit Hati

Jalan tol memang untuk kepentingan banyak orang dan memiliki kontribusi untuk memacu pertumbuhan ekonomi lokal, regional, bahkan nasional. Namun demikian, rasanya tidak pas kalau atas nama berbagai kepentingan tersebut ada sekelompok masyarakat yang dirugikan. Kebijakan publik yang didasarkan kepada pembobotan (berapa jumlah orang yang mendapatkan dampak positif dan berapa yang terkena dampak negatif), akan menghilangkan rasa keadilan. Da- lam analisis pakar sosiologi Michael Cemea (1989), mereka yang terkena dampak buruk -meskipun jumlahnya sedikit- tidak akan terkompensasi, karena kelompok masyarakat yang lain dalam jumlah yang lebih besar mendapatkan manfaat positif.

Dalam kasus Kedungombo, misalnya, warga masyarakat yang sekarang masih bertahan di sabuk hijau tidak akan terkurangi penderitaannya meskipun petani di Demak, Kudus, dan Grobogan, mendapatkan pasokan air irigasi yang dialirkan dari waduk tersebut.

Lalu apakah kepentingan kelompok kecil masyarakat harus mengalahkan kepentingan yang lebih besar? Yang perlu dicari adalah bagaimana memadukan kepentingan yang berbeda melalui dialog. Pemprakarsa harus secara terbuka menyampaikan deskripsi proyeknya, termasuk di dalamnya rencana rutenya. Hal itu untuk mengurangi spekulasi dan misinformasi. Pengambilan keputusan yang baik adalah yang memungkinkan aspirasi dari berbagai stakeholders diakomodasi. Sekecil apa pun dampak yang akan menimpa warga harus mendapatkan perhatian seksama.

Melalui dialog, memungkinkan dicapainya kesepakatan yang win-win solution. Melalui dialog pula, warga masyarakat akan merasa menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Tentu kita tidak ingin jalan tol kebanggaan Jawa Tengah itu dibangun dengan menyisakan barisan sakit hati seperti yang terjadi di Waduk Kedungombo dan Taman Wisata Candi Borobudur.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008