Kamis, 23 Oktober 2008

Transportasi Berwawasan Lingkungan

Oleh : Prof. Sudharto P Hadi, PhD

TRANSPORTASI berwawasan lingkungan masih merupakan dambaan, namun bisa menjadi kenyataan jika semua mengupayakannya. Mendampingi walikota Semarang mengikuti Asian Mayor's Policy Dialog for the Promotion of Environmentally Sustainable Transport (EST) in Cities di Kyoto, Jepang belum lama ini, saya catat beberapa hal yang menarik untuk dikaji.

Dari Indonesia, selain Semarang, kota lain yang diundang adalah Yogyakarta dan Surabaya. Forum diikuti oleh 28 kota dari 16 negara di Asia dengan sponsor utama Badan PBB untuk Pembangunan Regional (United Nations Centre for Regional Development) dan Kementerian Lingkungan Jepang. Keikutsertaan Kota Semarang tentu saja membanggakan tetapi sekaligus juga menjadi tantangan. Membanggakan karena, merupakan kesempatan Kota Semarang berbagi pengalaman dalam mengelola transportasi pada skala internasional, apalagi kota ini lagi getol dengan program SPA-nya (Semarang Pesona Asia).


Merupakan tantangan, karena Walikota Semarang menjadi salah satu penandatangan Deklarasi Kyoto yang berkomitmen untuk melaksanakan Transportasi Berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Mengapa Yogyakarta, Semarang dan Surabaya, dan bukan Jakarta yang telah diakui keberhasilannya meluncurkan bus way? Ketiga kota itu bisa dibilang kota lapis kedua, baik dalam jumlah penduduk maupun luas wilayah.

Ketiganya masih dipandang sebagai kota medium berpenduduk antara 500.000 jiwa - 3.000.000 jiwa. Dengan kondisi seperti itu diharapkan masih belum terlambat mengantisipasi perkembangan transportasi yang sangat cepat.

Enviromentally Sustainable Transport (EST) atau Transportasi Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan adalah transportasi yang mampu memenuhi kebutuhan tanpa harus mengorbankan kepentingan dan kebutuhan generasi yang akan datang. Definisi yang diadopsi dari pembangunan berkelanjutan ini menyiratkan kritisnya transportasi perkotaan yang telah mengarah ke kondisi yang tidak berkelanjutan.

Ditengarai sektor transportasi menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan menyumbang sampai dengan 25%. Di samping polusi udara, kegiatan transportasi menghasilkan kebisingan, debu, getaran yang menurunkan kualitas kesehatan dan produktivitas kerja.

Penyebab Utama Kematian

Transportasi menjadi penyebab utama kematian. Setiap tahun 1,2 juta jiwa melayang karena kecelakaan lalu lintas. Negara di Asia memiliki angka kecelakaan lalu lintas 80 kali dibanding Eropa. Di ASEAN, diperkirakan 75.000 jiwa melayang setiap tahun karena kecelakaan lalu lintas dan 4,7 juta orang mengalami luka-luka. Badan PBB untuk Kesehatan (WHO) mencatat setiap hari terdapat 1.049 anak usia muda (di bawah 25 tahun) meninggal karena kecelakaan dan setiap tahun hampir 400.000 anak usia muda meninggal di jalan.

WHO menyimpulkan kecelakaan lalu lintas menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan kerugian ekonomi karena tragedi kecelakaan lalu lintas mencapai US$ 15.1 miliar. Di Jawa Tengah sebagaimana dikutip dari pernyataan Direktur Poltas, Polda Jawa Tengah, tahun 2005 jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas 4.580 orang.

Meningkatnya jumlah kendaraan menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas yang menurunkan produktivitats dan stres. Penggunaan kendaraan yang terus meningkat mendorong terjadinya penggunaan bahan bakar dari energi fosil yang jumlahnya makin terbatas.

Kota-kota di negara berkembang umumnya mengalami masalah transportasi yang hampir sama. Pertama, moda transportasi ditandai dengan makin banyaknya kendaraan bermotor (mobil pribadi dan sepeda motor). Di Kota Semarang pertumbuhan kendaraan tiap tahun 6% dan didominasi kendaraan pribadi dan sepeda motor 77%, sedangkan mobil penumpang hanya 19%.

Disamping jumlahnya yang tidak memadai, kondisi transportasi umum juga masih belum nyaman, belum aman, dan belum terjangkau. Kondisi itu mendorong orang untuk lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dan sepeda motor. Penggunaan kendaraan pribadi dan sepeda motor juga disebabkan oleh kenyataan bahwa tata ruang kita memisahkan antara tempat produksi (tempat kerja, sekolah, belanja, rekreasi) dengan tempat konsumen (tempat tinggal). Sebagian besar warga kota harus nglajo dari pinggiran kota ke pusat kota. Kendaraan pribadi para penglajo tidak efisien, karena hanya dimuati 1 orang dan maksimal 2 orang.

Penelitian saya tahun 1996 di lima gerbang Kota Semarang (Jatingaleh, Siliwangi, Pedurungan, Genuk, dan Jalan Hasanuddin) menunjukkan occupancy rate (jumlah penumpang pada setiap kendaraan pribadi) sangat rendah yakni sekitar 50%-60% kendaraan hanya berpenumpang 1 orang. Sekitar 30%-35% kendaraan berpenumpang 2 orang.

Kehidupan di kota menjadi mekanis dan tidak humanis, karena warga kota menjadi sangat tergantung pada kendaraan bermotor. Di beberapa ruas jalan masuk seperti Jalan Teuku Umar, Jatingaleh, Jalan Siliwangi, Semarang Barat, kawasan Pedurungan dan Genuk pada pagi dan sore hari macet yang makin hari makin parah.

Persoalan kedua, tingkat pencemaran makin tinggi. Motorisasi alat angkutan memang membawa kemudahan dan mobilitas yang memicu pertumbuhan ekonomi. Namun demikian motorisasi alat angkutan membawa serta pencemaran udara.

Di Semarang, parameter lingkungan yang terlampau ambang batasnya adalah particulatematic (PM 10). Dari uji emisi yang dilakukan pada tahun 2005 menunjukkan dari 800 kendaraan sampel, 50%-nya melebihi ambang batas. Secara rinci menunjukkan, kendaraan berbahan bakar bensin terdapat 42,16% yang tidak lulus uji, sedangkan yang berbahan solar yang tidak lulus uji sebanyak 99,4%.

Jumlah karbonmonoksida 889,334 atau 0,6 ton per jiwa. Angka ini setara dengan volume CO2 di Kota Surabaya. Dominannya kendaraan pribadi bukan hanya menyebabkan pencemaran udara tetapi juga kemacetan lalu lintas.

Data ini mengingatkan temuan Bapedal Pusat tahun 1996, bahwa Semarang menempati peringkat ketiga dalam tingkat pencemaran udara setelah Jakarta dan Bandung. Persoalan ketiga adalah munculnya pertumbuhan pusat kegiatan yang tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas dan pembukaan akses, sehingga menimbulkan kemacetan dan konsentrasi pencemaran udara.

Program Terintegrasi

Forum pertemuan menetapkan 12 butir program terintegrasi dalam mencapai EST di antaranya pemeliharaan dan keselamatan jalan, memperbaiki manajemen lalu lintas, menciptakan transportasi yang memperhatikan kesetaraan gender dan keadilan. Disamping itu juga mengintegrasikan kebijakan transportasi umum dengan tata guna lahan dan tata ruang. Juga memprakarsai dan memfasilitasi angkutan tidak bermotor seperti sepeda, memelopori penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, melaksanakan pemantauan pencemaran udara, uji emisi, serta memperkuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat.

Di antara butir-butir agenda yang harus dilaksanakan, sebenarnya Semarang telah melakukan beberapa program di antaranya uji emisi kendaraan, mengganti bus umum yang bermuatan lebih banyak serta meluncurkan bus umum ber-AC. Butir kedua dimaksudkan untuk mendorong warga kota menggunakan kendaraan umum sehingga bisa mengurangi arus lalu lintas dan pencemaran udara.

Dalam upaya mengintegrasikan kebijakan transportasi dengan tata guna lahan, pembangunan rumah susun di pusat kota seperti Bandarharjo, Pekunden, dan Genuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk tidak nglajo ke tempat kerja atau jika harus menggunakan kendaraa umum, cukup accessible.

Dari kota-kota peserta, Singapore, Kyoto dan Seoul dinyatakan sebagai kota-kota yang berhasil melaksanakan elemen EST. Tiga kota ini dengan cepat mampu menyediakan transportasi publik beragam (bus, sub-way) yang nyaman, aman dan terpercaya serta terjangkau. Tingkat kebisingan dan pencemaran udara juga bisa ditekan seminimal mungkin dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan uji emisi secara rutin dan teratur.

Kyoto yang dinobatkan sebagai kota budaya dengan penduduk yang hampir sama dengan Kota Semarang yakni 1,4 juta jiwa tetapi mampu meraup turis sebanyak 47 juta orang per tahun, berhasil dalam mendorong penggunaan sepeda sebagai moda transportasi. Meskipun angkutan kotanya sangat memadai, namun penggunaan sepeda sangat intensif. Di kantor, mall, stasiun, kampus, disediakan parkir sepeda yang memadai. Semua jalan selalu tersedia jalur khusus untuk sepeda.

Bernuansa Top-Down

Jika elemen-elemen EST itu dicermati, sebagian besar merupakan kebijakan yang harus diprakarsai oleh Pemerintah Kota. Melihat persoalan transportasi yang demikian kompleks sesungguhnya terlalu berat kalau hal itu hanya dibebankan ke pundak Pemerintah Kota. Prakarsa transportasi berwawasan lingkungan juga bisa datang dari warga masyarakat.

Misalnya antar-jemput anak sekolah. Program ini bisa mengurangi volume kendaraan dan pencemaran udara karena lebih efisien. Daripada masing-masing anak diantar dan dijemput dengan kendaraan pribadi, akan lebih efisien jika berangkat dan pulang bersamaan dengan teman-teman yang tempat tinggalnya masih berada di satu kawasan atau satu jalur.

Program ini secara ekonomis lebih menguntungkan dan secara ekologis memberikan sumbangan bagi kelestarian lingkungan. Program yang sama juga dilakukan oleh beberapa instansi Pemerintah Provinsi yang menjemput dan mengantar karyawannya di beberapa tempat dalam satu jalur. Pemerintah Kota Semarang tahun depan akan mencanangkan program ini untuk karyawannya.

Di Jakarta, para penglajo yang tinggal di Bekasi, Tangerang, Depok memprakarsai program car poll. Mengepol kendaraan (biasanya mini bus atau kijang) di satu tempat, lalu mereka berombongan berangkat menuju pusat Kota (Jakarta) dan kembali juga bersama-sama pada sore hari. Langkah ini lebih menghemat, karena para anggota car poll bisa berbagi beban untuk membayar bahan bakar dan biaya tol.

Di Semarang beberapa tahun yang lalu, warga masyarakat di Srondol pernah melakukan hal yang sama. Fenomena ini sudah selayaknya ditangkap oleh Pemerintah Kota untuk difasilitasi dalam bentuk subsidi bahan bakar dan penyediaan parkir khusus di mana car poll ini ngetem.

Dialog walikota di Kyoto ini disamping rada bernuansa top down yaitu menekankan pentingnya prakarsa Pemerintah Kota, juga nampak bernuansa developed country based. Dalam Deklarasi Kyoto sebanyak 9 butir semula tidak ada klausul tentang perkembangan jumlah sepeda motor yang sangat signifikan yang terjadi di kota-kota di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, Cambodia, Laos, India, Sri Lanka, Cina yang harus diantisipasi dampaknya.

Malaysia memandang sepeda motor merupakan jawaban atas masih buruknya transportasi umum. Namun demikian dampak penggunaan sepeda motorlah yang harus diantisipasi, misalnya dengan menyediakan jalur khusus untuk mereka dan meng-enforce uji emisi secara rutin. Fenomena sepeda motor memang tidak nampak di kota sekaliber Singapore, Tokyo maupun Seoul.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008