Jumat, 07 November 2008

Konflik Sosial Pabrik Semen

Oleh Sudharto P Hadi

SUKA atau tidak, rencana pendirian pabrik semen di wilayah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, telah memicu timbulnya konflik. Konflik ini bukan hanya antara kelompok masyarakat de-ngan pemrakarsa proyek dan pemerintah, tetapi juga antar-kelompok masyarakat.

Seperti diberitakan harian ini (SM, 31/10/2008), Sedulur Sikep bersama Aliansi Masyarakat Jawa Tengah Tolak Pabrik Semen gagal menemui Gubernur Bibit Waluyo untuk menyampaikan aspirasinya.

Dalam orasinya, mereka tetap menolak kehadiran pabrik semen dan membantah pernyataan Gubernur bahwa Sedulur Sikep sudah setuju dengan kehadiran pabrik tersebut.


Suara Merdeka edisi 3 November lalu juga memberitakan, rombongan Sedulur Sikep yang dipimpin Mbah Badi menyatakan tak menolak kehadiran pabrik semen, asalkan pabrik tak bersinggungan dengan lahan pertanian.

Rombongan bahkan akan berkunjung ke PT Semen Gresik di Tuban. Konflik horisontal juga terjadi antara warga yang terlanjur menjual tanah dengan para perantara dan pemilik tanah baru yang akan meraup keuntungan terkait pendirian pabrik semen.

Ngugemi Tetanen

Bukan sekali ini saja Sedulur Sikep yang dipelopori Gunritno menolak kehadiran pabrik semen di daerah mereka. PT Semen Gresik (PT SG), sebagai pemrakarsa, pernah menyosialisasikan rencana pendirian pabrik dan mengatakan tujuan pabrik adalah ingin menyejahterakan masyarakat sekitar dengan memberi kesempatan kerja bagi kawula muda. Bagi yang sudah tua dan tak layak kerja akan diberi ternak sapi dan kambing.

Mendengar penjelasan itu, Gunritno balik bertanya: ’’Apakah kami ti-dak sejahtera? Kami merasa cukup dengan bertani dan tak pernah minta bantuan kepada siapapun. Kalau ada bantuan dari pemerintah, ka-mi minta diberikan kepada kelompok masyarakat lain yang lebih membutuhkan’’.

Bertani rupanya menjadi kata kunci penolakan terhadap pabrik semen. Dalam pandangan Sedulur Sikep, tanah adalah jiwa atau spirit mereka. Karena itu harus dirungkebi dan diugemi, sebab sesuai dengan keterampilan mereka bercocok tanam. Terlebih dalam falsafah mereka, bumi memberikan kehidupan, sehingga harus dipelihara dan dirawat.

Sampai di sini, persepsi antara kelompok Gunritno dan Mbah Badi masih selaras. Namun dalam pandangan Gunritno, dampak sosial dan lingkungan tak hanya terjadi kalau tanahnya dibebaskan, tetapi kegiatan pabrik juga dikawatirkan berpengaruh buruk terhadap lahan pertanian mereka.

Begitu eratnya hubungan mereka dengan tanah, pesan nenek moyang yang masih diegumi adalah tak diperbolehkan dol tinuku (berdagang). Hasil bertani untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kalau ada sisa baru boleh dijual. Tetapi jual beli dalam arti berdagang tidak diperkenankan.

Konsep memenuhi kebutuhan sendiri menunjukkan mereka telah menerapkan ketahanan pangan. Konsep ini seirama dengan tradisi yang masih dilakukan masyarakat Badui dan masyarakat adat Kasepuhan (Jawa Barat), masyarakat di Pulau Haruku (Maluku) dan masyarakat Kajang di Bulukumba (Sulawesi Selatan). Kelompok-kelompok masyarakat ini tak pernah mengalami krisis pangan, meski dalam kondisi krisis global seperti saat ini. Mereka adalah potret masyarakat mandiri (self reliance community) dalam arti yang sebenarnya.

Dampak Lingkungan

Sejauh ini, menurut deskripsi proyek yang ada, tak ada tanah/sawah milik Sedulur Sikep yang terkena pembebasan. Namun ke-giatan pabrik semen dikhawatirkan akan memengaruhi pasokan air untuk sawah milik mereka, atau sawah di mana mereka menjadi pekerja.

Dampak yang mungkin krusial adalah lokasi penambangan merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng Utara. Secara administratif, penambangan dan lokasi pabrik terletak di Desa Kedumulyo, Gadudero, Baturejo, Sukolilo, Sumbersoka, Tompegunung, dan Gendongan. Sepintas, calon lokasi ini hanya pegunungan kapur. Namun pegunungan itu merupakan kawasan karst yang menyimpan mata air yang mengalir serta memberi kehidupan bagi warga sekitar, baik sebagai air baku maupun air irigasi.

Menurut catatan Sedulur Sikep, di sana terdapat sekitar 72 mata air. PT SG menyatakan, kegiatan pabrik semen tidak akan merusak mata air, karena akan dipilih ruas yang tidak mengandung mata air.

Dalam istilah geologi, lokasinya dipilih di daerah karst yang bukan kelas 1. Persoalannya, sampai sekarang klasifikasi karst belum ditetapkan. Selain itu, perlu dicermati apakah pengeprasan perbukitan karst tidak menimbulkan pengaruh terhadap wilayah tersebut sebagai sebuah ekosistem?

Kondisi sosiologis masyarakat di sekitar calon lokasi proyek kini ibarat api dalam sekam. Sekitar 90 persen dari 400 ha lahan milik warga yang merupakan calon lokasi penambangan telah beralih pemilik. Pemilik baru bukanlah PT SG, melainkan pemodal dari luar yang ’’menanam’’ orang-orang di sekitar calon lokasi begitu mendengar rencana pendirian pabrik semen.

Menurut aparat di Kecamatan Sukolilo, sertifikat tanah memang masih atas nama penduduk lokal, tapi telah berada di tangan pembeli. Tidak mengherankan jika desas-desus dan intrik-intrik antarkelompok masyarakat terus menyebar. Memang, tahapan konflik belum menjurus adu fisik. Tetapi perbedaan nilai dan kepentingan antarkelompok bisa meledak setiap saat, jika mereka diperlakukan tidak adil, atau bahkan sengaja dipertentangkan.

Dalam prinsip pengambilan ke-putusan yang mengedepankan etika keberagaman (ethical pluralism), sekecil apapun perbedaan harus diakomodasi. Prinsip kesederajatan, keadilan, dan demokrasi hendaknya dijunjung tinggi dalam memutuskan sebuah pabrik yang akan memengaruhi hajat hidup orang banyak.

Pengambilan keputusan yang hanya mendasarkan pada prinsip lebih banyak orang yang menerima manfaat (the greatest possible happiness for the greatest number) akan menimbulkan implikasi dua hal. Pertama, prosesnya akan menegasikan kelompok-kelompok yang tidak setuju sehingga mengingkari fitrah demokrasi.

Kedua, menimbulkan ketidakadilan, karena dampak buruk yang diderita sebagian masyarakat tidak terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup sebagian besar masyarakat.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008