Jumat, 16 Januari 2009

Sistem Dualistik Kota

Oleh: Paulus Hariyono

SUNGGUH ironis, Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas, namun penataan ruang publik kotanya sering menimbulkan konflik. Sebaliknya Singapura dan negara-negara Eropa, yang memiliki wilayah tidak luas, dapat menatanya dengan baik. Ruang publiknya pun dapat dinikmati secara nyaman, bahkan menjadi daya tarik pariwisata kota.

Di Indonesia, muncul tudingan para elit masyarakat (pimpinan dan/atau swasta berkapital) setiap saat bakal merampas ruang publik kota, dengan ide-ide yang berlawanan dengan kepentingan masyarakat kebanyakan. Seminggu usai dilantik, misalnya, Gubernur Bibit Waluyo melontarkan ide tentang penggusuran aktivitas ruang publik di sebagian kaki lima di Jl Pahlawan Semarang yang memicu pro-kontra.

Rencana alih fungsi sebagian ruang publik di lapangan Tri Lomba Juang, dan pembongkaran Pasar Johar, juga merupakan sebagian dari konflik penataan ruang publik kota. Renovasi Alun-alun Purwokerto juga menimbulkan pro-kontra antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat (Suara Merdeka, 26/12/2008).

Saat ini terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang cukup menonjol antara masyarakat lapisan atas dan bawah. Perbedaan kondisi ini berakibat terjadi perbedaan gaya hidup masyarakatnya. Masyarakat kelas atas, termasuk elit masyarakatnya, biasanya memiliki aktivitas indoor living. Sedangkan masyarakat kelas bawah memiliki aktivitas outdoor living.

Masyarakat kelas atas memiliki kemampuan mengakses wacana gaya hidup modern yang umumnya berorientasi Barat. Ketika elit masyarakat berkesempatan ke luar negeri, muncullah ide merancang ruang publik kota dengan gaya hidup modern di kota tempat tinggalnya.

Karena itu, ada kecenderungan kaum elit masyarakat menginginkan ruang publik kota yang bersifat estetis-modern, yang bertolak belakang dengan fungsi sosial ekonomi ruang publik.

Sebaliknya, masyarakat menengah ke bawah memiliki aktivitas tradisional yang memiliki konotasi pada aktivitas sosial-ekonomi di ruang publik. Tarik ulur kepentingan dan gaya hidup itu menghasilkan sistem dualistik dalam perancangan ruang publik kota. Di satu pihak terdapat sistem perancangan ruang publik kota yang bersifat tradisional, tetapi pada saat yang sama terdapat sistem perancangan ruang publik kota yang bersifat estetis-modern.

Konflik kepentingan dan gaya hidup itu merupakan ujian, apakah nantinya suatu kawasan itu jatuh pada kepentingan masyarakat elit dan akan dirancang ruang publik yang estetis-modern, ataukah jatuh pada kepentingan masyarakat kebanyakan yang kemudian akan terancang kawasan ruang publik yang bersifat tradisional. Dua polarisasi ini melahirkan sistem dualistik perancangan kota.
Karena besifat dualistik, maka dari sudut perancangan perlu dicari suatu ketentuan apakah suatu kawasan itu akan dirancang secara estetis-modern atau secara tradisional. Contoh terdekat adalah taman kota di Jl Menteri Supeno —dikenal sebagai Taman KB— yang sedang direncanakan menjadi taman kota nan spektakuler dengan dana Rp 1,3 miliar (Suara Merdeka, Juli 2008).

Perlu dikaji, apakah kawasan ini layak menjadi taman kota yang bersifat estetis-modern atau tradisional, ataukah mungkin campuran di antara keduanya. Jangan sampai setelah dirancang dengan gaya estetis modern, ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab kawasan ini awalnya sering dilakukan kegiatan yang bersifat massal yang berorientasi kerakyatan, seperti konser musik, perayaan suatu hari raya, dan pameran flora-fauna.
Di satu pihak, sistem dualistik ruang publik kota mengundang konflik kepentingan, tetapi di lain pihak dapat menjadi kekayaan budaya kota apabila bisa dikelola dengan baik. Bahkan dapat menjadi daya tarik kota, misalnya sistem sektor formal dan sektor informal. Dua sistem ini dapat berdampingan secara serasi, dengan merancang tata letak yang tepat.

Kondisi sarana usaha sektor informal pun perlu dirancang secara menarik, sehingga perpaduan sektor formal, sektor informal, dan penampilan sarana usahanya dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat (dan wisatawan) yang ingin mengakses maupun cuci mata di ruang publik. Sistem dualistik ruang publik kota dapat mengobati kejenuhan bangunan yang berderet-deret kosong, seolah-olah tanpa kehidupan.

Berdampingan
Istilah dualistik sebenarnya diambil dari istilah yang dikemukakan oleh Boeke (Sayogyo, 1985) dalam kajian sosial ekonominya. Dia mengatakan, dalam sistem ekonomi di Indonesia terjadi dualistik, yaitu pertarungan antara sistem ekonomi tradisional dari negeri sendiri dan sistem ekonomi modern yang berasal dari asing. Di sejumlah kota di Indonesia terdapat sistem pasar tradisional, tapi juga dijumpai sistem pasar modern yang hidup secara berdampingan.

Kehadiran pusat perbelanjaan modern biasanya diiringi dengan aktivitas ekonomi tradisional, seperti sektor informal. Sebagai kasus, pusat-pusat perbelanjaan modern di Solo yang menjadi denyut jantung kota hancur karena kerusuhan sosial politik (1998). Ternyata sektor informal pun ikut tenggelam.
Dua tahun kemudian, ketika pusat perbelanjaan di Solo mulai dibangun kembali, sektor informal pun ikut bangkit. Sektor informal ikut mendompleng hiruk pikuk aktivitas mal. Mereka melayani segmen pasar yang tidak mampu menjangkau sektor formal.

Pegawai kelas bawah di mal-mal, seperti satpam, petugas cleaning service, juru parkir, dan pramuniaga, bersama masyarakat umum lainnya, tentu masih membutuhkan kehadiran sektor informal.

Demikian pula ketika Javamall, Swalayan Ada, dan DP Mall di Semarang dibangun, sektor informal pun bermunculan di balik gedung-gedung megah itu. Sistem pembayarannya pun terjadi sistem dualistik.

Ketika di mal, pengunjung berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, yang dibayar di belakang hari. Di sektor informal pun terdapat sistem ngebon yang juga dibayar di belakang hari.

Setelah belanja atau makan di warung, pengunjung sektor informal mencatat sendiri barang-barang yang diambil. Mereka melakukan pembayaran saat gajian tiba, atau kiriman uang datang bagi pelajar perantauan.

Ternyata sistem dualistik ini tidak hanya dijumpai pada bidang ekonomi sosial, tetapi juga pada bidang perancangan kota. Ada sudut-sudut kota yang dirancang secara modern, tetapi terdapat pula sudut-sudut kota yang dirancang secara tradisional. Sudut kota yang dirancang secara modern biasanya merupakan aktualisasi elit masyarakat. Sedangkan sudut kota yang dirancang secara tradisional merupakan aktualisasi masyarakat kebanyakan.

Dua pihak ini tidak dapat dipertentangkan, apabila kondisi masyarakatnya masih mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi. Keberhasilan penataan ruang kota di negara-negara maju antara lain disebabkan keberhasilannya mengeliminasi kesenjangan sosial ekonomi masyarakatnya.
Di negara-negara Eropa, setelah Revolusi Industri, juga banyak dijumpai kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi dan menjamurnya sektor informal. Tetapi kondisi ini cepat-cepat diatasi dengan memperbesar dan memperkuat sektor formal, dengan mengedepankan profesionalitas dan tingkat kesejahteraan buruh yang cukup. Sehingga orang cukup tertarik menggeluti sektor formal daripada sektor informal.

Dengan kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah yang memadai, gaya hidupnya pun akan berubah. Mereka akan melakukan kegiatan konsumsi di sektor formal, seperti makan di rumah makan atau di fast food, perilaku yang lebih sopan-tertib, menjaga kebersihan, menjaga kesehatan, kesadaran akan pendidikan yang cukup. Tidak mengherankan kalau kalangan menengah ke bawah di Barat terkadang makan dan minum satu ruang dengan masyarakat kelas menengah, atau sedikit ke atas.

Selain masalah teknis dan manajemen, masalah kesenjangan sosial ekonomi pula yang mengakibatkan persoalan Mass Rapit Transit sulit diberlakukan di kota-kota di Indonesia. Gaya hidup yang senjang berakibat mereka membuat jarak, dan sulit menghirup udara di ruang yang sama.

Dengan demikian, kota-kota di Indonesia masih memiliki sifat yang dualistik, baik dilihat dari sudut perancangan, ekonomi sosial, dan transportasi. Salah satu persoalannya, sekali lagi, adalah kesenjangan sosial ekonomi. Selama kesenjangan masih ada, kondisi yang bersifat dualistik ini akan tetap eksis.

Dengan sendirinya, dibutuhkan penataan yang arif dengan memberikan ruang seimbang kepada masing-masing lapisan masyarakat. Atau, dengan kata lain, dibutuhkan manajemen yang memperhatikan kondisi yang dualistik untuk menata suatu ruang kota. (32)

—Paulus Hariyono, dosen arsitektur Unika Soegijapranata Semarang.
Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008