Selasa, 17 Februari 2009

Manajemen Ruang Publik Simpanglima

Oleh Edy Darmawan

SIMPANGLIMA boleh dikatakan menjadi tetenger (landmark) Kota Semarang. Ia sudah menjadi magnet Kota Semarang —sebagai ibu kota Jawa Tengah— yang menyedot potensi kegiatan kawasan lain. Sayang berbagai elemen seperti area pedestrian telah berubah fungsi menjadi ruang pedagang kakilima (PKL). Ruang untuk pejalan kaki dan infrastruktur hampir tidak berfungsi dengan baik. Bahkan tidak diperbarui sejak dibangun. Melihat perkembangan kegiatan masyarakat, Simpanglima seyogyanya tetap dipertahankan sebagai ruang publik dengan manajemen yang baik.

Kegiatan yang diselenggarakan seharusnya bersifat publik, terbuka untuk umum. Selain itu harus dikurangi aktivitas bersifat privat dan formal seperti upacara-upacara. Kita tahu pada saat semacam itu area ini ditutup untuk umum.


Karena itu kegiatan semacam itu perlu dicarikan tempat lebih tepat. Adapun ruang-ruang lain di sekitar Simpanglima sebagian besar berupa bangunan publik semacam hotel, mal, masjid, bioskop, kafe dan restoran.

Pengelolaan Ruang

Ada aspek-aspek penting dalam manajemen ruang publik yang pernah diterapkan di Rockefeller Center di USA (1994), yakni memperhatikan pelayanan kota dalam perawatan (maintenance), keamanan (security) dan manajemen transportasi (transportation management).

Selain itu selalu ada tindakan meningkatkan desain ruang ruang publik yang inovatif dan terintegrasi satu dengan yang lain seperti pelebaran trotoar, penyediaan perabot aksesori kota, lansekap atau kios kios atau ruang PKL yang berfungsi baik.

Untuk mengelola Simpanglima perlu ada penanggung jawab yang memadai secara total dan dapat melibatkan peranan masyarakat, pemerintah kota, dan swasta (stakeholder). Untuk mengengembangkan perlu dipikirkan desain koridor koridor jalan yang menyatu ke arah bundaran Simpanglima. Koridor jalan tersebut dapat menciptakan pemandangan kota (vista) yang baik dan akan meningkatkan kualitas estetika.

Kita tahu masyarakat kota lebih menyenangi tempat yang memiliki fungsi campuran. Dan Simpanglima cenderung berkembang ke arah itu, yakni berupa masjid, mal, pertokoan, kantor, hiburan, sekolah, dan lapangan hijau.

Ini menyebabkan seseorang dapat melakukan berbagai kegiatan di satu lokasi sehingga dengan manajemen ruang publik yang baik akan meningkatkan ruang kota yang hidup (lifely). Adapun keramahan area pedestrian (citywalk) juga perlu mendapat perhatian karena dapat membantu pengunjung ke berbagai tempat kegiatan. Hal semacam ini akan meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih baik.

Keberadaan bangunan bertingkat di seputar Simpanglima telah menciptakan ruang publik ini memiliki keterlingkupan (enclosure) yang semakin erat dan menciptakan kesan atau citra skala ruang yang manusiawi. Akibatnya ruang terbuka ini akan selalu mengundang masyarakat untuk berkumpul melakukan berbagai aktivitas.

Jika kita perhatikan dari peta dua demensi, Simpanglima akan menjadi titik pusat bertemu koridor-koridor jalan di sekitarnya (rendezvous point). Di titik ini akan lebih baik jika ditempatkan suatu elemen bersekala kota yang dapat mencerminkan citra atau identitas Kota Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah.

Dalam setiap perubahan ruang, menempatkan elemen-elemen kota atau membangun bangunan publik kota seyogyanya memperhatikan tata ruang kota. Atau jika ingin menentukan lokasi pembangunan, yang perlu diperhatikan adalah Rencana Tata Ruang Kota (RUTRK). Karena itu jika hendak membangun Simpanglima seharusnya dilihat Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Apakah sudah sesuai dengan blok-blok peruntukan? Apakah sesuai pula dengan Rencana Teknik Ruang Kota (RTRK) atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL)? Hal tersebut perlu diperhatikan agar perancangan pembangunannya terintegrasi satu dengan yang lain secara sinergis.

Yang menjadi pertanyaan apakah Rencana Tata Ruang yang dibuat telah menjadi peraturan daerah? Pertanyaan ini penting, karena tanpa ini Tata Ruang tersebut belum valid.

Paling tidak yang bisa dijadikan landasan pegangan adalah penerbitan Surat Keputusan Wali Kota, meskipun posisinya tidak sekuat peraturan daerah. Masalah ini kadang kadang dapat menjadi hambatan atau bahkan peluang yang berbeda dari perencanaan yang telah dibuat. Dalam perencanaan dapat berorientasi pada keadaan yang berkembang (trend oriented planning) atau berorientasi pada target (target oriented planning). Namun demikian mengikuti perencanaan yang sudah ada akan lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomer 26 Tahun 2007 memang perlu rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau dan nonhijau. Juga penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pertumbuhan wilayah.

Paru-paru Kota

Dipertegas oleh Pasal 29, proporsi ruang terbuka hijau paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Adapun proporsi ruang terbuka hijau publik sedikitnya 20% dari wilayah kota. Ini berfungsi sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat, transit, ekonomi di sektor formal dan informal, dan berfungsi sebagai paru paru kota.

Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat banyak dengan berbagai tingkat kehidupan sosial ekonomi dan etnik, pendidikan yang berlainan, perbedaan umur, dan motivasi atau tingkat kepentingan yang bervariasi.

Secara esensial ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan agar manajemen ruang publik memiliki arti (meaningful) bagi masyarakat secara individual maupun kelompok, yakni tanggap terhadap semua keinginan pengguna dan dapat mengakomodir kegiatan mereka (responsive) serta dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa mengenal diskriminasi. (35)

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008