Senin, 20 Oktober 2008

Urbanisasi dan Perubahan Morfologi Kota

Oleh : Tjoek Suroso Hadi (Angkatan 05)

MASALAH urbanisasi selalu mengiringi masa-masa se­sudah lebaran. Saat ini, se­jumlah pemerintah kota di Indonesia semakin sibuk mengurusi masalah ini.

Urbanisasi adalah aktivitas perpindahan penduduk dari desa ke kota, dengan tujuan mencari kehidupan yang layak, karena kehidupan di desa tidak memiliki fasilitas yang memadai.
Banyak kota besar di In­donesia yang mengalami perkembangan berupa pemekaran wilayah.

Hal ini akibat pengaruh perkembangan jumlah penduduk lokal dan makin ba­nyak pendatang atau urbanis. Kota-kota seperti Jakarta, Su­ra­baya, Semarang, Medan, Ma­kassar, Yogyakarta, Palem­bang, dan Bandung mengalami perkembangan pesat.

Se­lain menjadi sasaran para urbanis, kota-kota itu sekaligus merupakan ibu kota dari wi­la­yah masing-masing, yang me­nyediakan fasilitas kehidupan manusia sebagai faktor penarik.

Pertumbuhan di berbagai ko­ta besar itu mencakup berbagai aspek, mulai dari pereko­no­mian, industri, jasa, pariwi­sata, pemerintahan, dan sebagainya.

Fasilitas-fasilitas untuk memberi pelayanan kepada penduduk kota makin bervariasi, dan menyentuh kepada se­luruh kebutuhan hidup ma­sya­rakat­nya.


Dengan demikian, kota-kota besar itu makin tumbuh dan berkembang, serta akhir­nya mengalahkan pedesaan.
Sebagian besar peredaran uang di negeri ini berada di kota-kota besar.

Hal ini karena kota-kota besar sangat menjanjikan dengan adanya berbagai ma­cam dan jenis pekerjaan yang dapat menghasilkan uang.

Pada gilirannya, di desa ti­dak ada lahan pekerjaan yang memadai.
Para generasi muda enggan bertani. Akhirnya taraf hidup masyarakat yang mukim di kota besar relatif melampaui standar kelayakan ketimbang masyarakat pedesaan. Hal inilah yang mendorong warga pedesaan pergi ke kota besar, berurbanisasi, meninggalkan desa untuk mencari kehidupan yang layak.

Naluri Nomaden

Dalam sejarah kehidupan, dan ketika mahkluk yang ber-nama manusia sering mengadakan perjalanan ke berbagai daerah, hanya satu tujuannya yaitu naluri untuk mencari makanan.

Pada akhirnya aktivitas itu dikenal dengan nama nomaden. Naluri itu sesuai dengan apa yang telah ditulis Peddington (1950), yaitu adanya kebutuhan primer dari manusia yang meliputi makan, minum, membuang hajat, reproduksi, serta penyelamatan diri dari marabahaya.

Dengan demikian, wajar apabila manusia sejak dari dulu sampai sekarang melakukan apa yang disebut merantau. Merantau, menurut pandangan masyarakat zaman dulu, termasuk kegiatan yang sangat didambakan dan menjadi ke­banggaan keluarga.

Malah kadang-kadang untuk bekal merantau pun dipersiapkan, agar jika mengalami kesulitan finansial di kota besar, sang perantau masih memiliki ca­dangan uang.

Dalam kisah pewayangan pun ada kegiatan merantau. Con­tohnya dalam cerita Su­mantri Ngenger, yang me­ngisahkan sosok pemuda yang akan merantau ke kota besar.

Sebelum berangkat, dia dibe­kali ilmu oleh seorang guru. Kata-kata ngeger itu bisa diartikan sebagai kegiatan merantau, dan mempunyai makna sebagai kegiatan urbanisasi.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota besar sudah sering kita dengar di dunia ini, dan berlangsung sepanjang sejarah. Tidak ada seorangpun yang mampu mencegahnya, walaupun para penguasa se­tempat sekalipun.

Urbanisasi ternyata juga menguntungkan bagi kota itu sendiri. Sebab me­reka dianggap sudah dibekali ilmu dan keterampilan yang me­madai. Maka dari itu, ba­nyak penduduk kota yang membutuhkan tenaga-tenaga te­rampil yang muncul dari desa.

Dalam sejarahnya, ke­giatan urbanisasi besar-be­saran timbul serentak dengan lahir­nya Revolusi Industri di Eropa pada abad 18 dan 19. Makin menjamurnya industri besar telah mengundang tenaga kerja dari desa untuk me­menuhi kebutuhan pabrik-pabrik.

Saat itu urbanisasi merupakan kegiatan yang baik, karena dapat mengisi tenaga kerja di pabrik-pabrik, dan warga kota sangat welcome dengan para urbanis. Budaya urbanisasi dulu dianggap baik, mampu menjadi penyelamat kebutuhan ketenaga kerja. Namun sekarang, fenomena ini justru dinilai mengkha­watirkan.

Sebab para urbanis seka­rang ini tak dibekali ilmu dan keterampilan memadai. Mere­ka hanya mengandalkan tekat membara, tanpa bekal sama sekali. Yang penting meninggalkan desa!

Dengan kompleksitas permasalahan kota yang makin beragam, dan persoalan yang dihadapi makin tinggi kualitasnya, para urbanis yang tidak punya bekal ilmu dan keterampilan sudah tidak mungkin dapat menjawab tantangan seperti itu.

Persoalan Kota

Para urbanis sekarang justru menjadi persoalan baru bagi kota-kota besar. Persoalan yang dihadapi kota-kota besar itu antara lain meningkatnya angka pengangguran, permukiman kumuh, kesemrawutan lalu-lintas, dan seterusnya.

Apabila kota besar mengalami lonjakan jumlah penduduk yang begitu pesat, tidak heran jika persoalan-persoalan yang dihadapi makin serius.

Adapun persoalan-persoalan yang harus ditangani adalah penyediaan transpor-tasi, penyediaan lahan kerja, menekan kepadatan pendu­duk, pemenuhan fasilitas pendudukmasalah , banjir, dan yang tidak kalah penting adalah perubahan sosial yang sangat cepat.

Banyak urbanis yang tidak mempunyai keterampilan yang memadai, sehingga cenderung bekerja seadanya. Hampir pasti mereka tak bisa hidup dengan layak. Kemis­kinan kota makin meningkat, dan lebih parah lagi mereka hidup di lahan-lahan yang terlarang untuk ditinggali.

Mi­salnya bantaran sungai, bantaran rel kereta, dan bawah jem­batan. Sebagian lagi membuat permukiman ku­muh di tengah kota, di dekat tempat pembuangan akhir (TPA), di kawasan pesisir, dan seterusnya.
Kota-kota besar menjadi over load, karena lahan yang ada makin sempit, sementara jumlah penduduk justru makin meningkat.

Pemerintah Kota pun menghadapi dilema lain, misalnya para urbanis memiliki attitude yang kurang baik, akibat latar belakang pendidikan yang minim. Mereka tidak bisa mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan, misalnya membuang sampah pada tempat yang ditentukan.

Begitu kompleks persoalan yang dihadapi kota, sehingga penyediaan transportasi massal juga sangat terbatas, belum se­ban­ding dengan jumlah penduduk­nya.

Perubahan sosial di kota-kota besar juga akan diiringi dengan pola perilaku sosial masyarakatnya. Pola perilaku atas perubahan sosial ini muncul, karena penduduk kota makin pandai dalam membaca, menganalisis, dan memprediksi situasi, informasi, budaya, maupun politik.

Begitu cepat dan tanggap penduduk kota dalam menyikapi dan menyiasati suatu kebijakan yang sekiranya merugikan mereka. Belum lagi isu reformasi dan HAM, yang sering dimanfaat­kannya menjadi senjata ampuh untuk meredam kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat.

Kemajuan teknologi dan informasi menjadi pemicu makin kritisnya masyarakat perkotaan. Piort Sztompka, dalam buku Sosiologi Perubahan Sosial (2007) mengatakan, perilaku masyarakat kota sudah mendunia, yaitu meng­alami globalisasi kultur.

Se­demikian hebat penetrasi kultural Barat telah mampu mempe­nga­ruhi penduduk perkotaan di dunia, yang akhirnya membuat mereka menjadi cerdas, kritis, dan mengetahui persoalan hukum. Namun mereka juga menjadi som­bong. Sifat guyup masyarakat menjadi pudar.

Fenomena urbanisasi seka­rang ini merambah ke tingkat ranch yang lebih tinggi. Sebagai contoh aspek pendidikan (biasa­nya pada perguruan tinggi), jabat­an publik, penugasan pada salah satu institusi, bisnis, pernikahan dengan warga setempat, dan lain-lain.

Demikian akhirnya, urbanisasi dapat memengaruhi morfologi (bentuk) kota secara komprehensif, yang memiliki ciri khas, baik fisik kota maupun di­na­mika penduduknya.

Dengan de­mikian, diharapkan para penguasa setempat bersifat lebih arif dan bijaksana dalam menangani persoalan ini, baik dalam penanganan kaum urbanis itu sendiri, maupun perencanaan fisik dan fasilitas perkotaannya.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008