Senin, 20 Oktober 2008

SCJ, Sebuah Fakta yang Meruntuhkan Teori

Oleh: R Siti Rukayah Tutut (Angkatan 01)

OPTIMALISASI Shopping Center Johar (SCJ) mungkinkah? Sebuah pertanyaan akan keragu-raguan apakah lokasi ini akan optimal kembali digunakan dan digunakan untuk apa. Sebelum keputusan diambil kiranya benar bahwa masalah yang mendasar di lokasi ini khususnya dan Semarang pada umumnya perlu diungkap. Telah terjadi Pergeseran Paradigma Lokasi Perbelanjaan.

SCJ pernah berjaya di era Matahari sebagai anchor tenant mampu menjadi magnet penyedot pengunjung di tahun 1994. Namun mengapa 8 tahun kemudian Matahari tak bersinar lagi? Teori marketing dari para ahli ekonomi mengatakan bahwa laku tidaknya sebuah perbelanjaan tergantung dari lokasi, lokasi, dan lokasi.

Lokasi SCJ berada di dekat keramaian pasar tradisional Johar di daerah Alun-alun lama Semarang. Dahulu di era awal tahun 60-an lokasi alun-alun hingga sumbu Jl Pemuda merupakan daerah pertokoan, restoran, dan perkantoran yang cukup elit (Buku Petunjuk Alamat Dunia Dagang Kota Semarang, 1954).


Di tahun 70-an tercatat di Jl Pemuda terdapat beberapa perbelanjaan modern Golden Trully, Meliora beberapa pertokoan besar dan menjadi area rekreasi belanja warga Semarang di kala itu. Kekuatan bisnis dan komersil di daerah ini berkembang menjadi sebuah rezim ekonomi yang melumatkan ruang terbuka alun-alun di era tahun 1970-an dan hanya menyisakan Masjid Agung di sisi barat.

Ruang terbuka peninggalan kreasi kota Islam yang di buat Ki Ageng Pandanaran (pendiri sekaligus sebagai bupati pertama Semarang) tergantikan kekuatan bisnis. Kanjengan sebagai bangunan pusat pemerintahan yang dikreasikan Belanda untuk melengkapi komposisi pusat kota sebagai tiruan alun-alun kerajaan Islam di Jawa tergusur oleh bioskop dan pertokoan. Revolusi ritel yang terjadi di Amerika tahun 70-an berdampak menjamurnya kekuatan ritel di kota-kota di Indonesia.

Sejak berdiri gementee Semarang 1 April tahun 1906, perlahan-lahan mengubah Kota Semarang dari konsep kota tradisional menjadi modern. Perubahan paradigma ke kota modern itu menyebabkan konsep-konsep tradisional tidak berfungsi. Perkembangan kota Semarang mulai di arahkan ke sisi Selatan. Di tahun 1965 mulai direncanakan adanya pengganti Alun-alun lama Semarang di daerah Simpanglima sekarang.

Sejak terbentuknya lapangan Simpanglima Semarang tahun 1969 dan masuknya kekuatan ritel di akhir tahun 70-an di kawasan ini, perlahan-lahan kejayaan Jl Pemuda sebagai pusat perdagangan mulai kehilangan daya tariknya. Terjadi pergeseran paradigma lokasi perdagangan dari jalan protokol Pemuda ke arah pusat kota Simpanglima.

Matahari department store dan supermarket sebagai anchor tenant/ toko besar sering digunakan oleh mal-mal baru sebagai magnet yang menyedot pengunjung (hasil survai di beberapa kota Jakarta, Semarang, dan beberapa kota kecil).

Kekuatan Matahari sebagai ritel telah merambah di hampir semua kota-kota besar di Jawa dan menjadi tolok ukur keberhasilan sebagai magnet penarik pengunjung. Matahari masuk di Simpanglima Plasa pada tahun 1988. Keberhasilannya ditingkatkan dengan menambah gerainya di SCJ tahun 1994 dan berhasil. Namun menurun hingga tahun 2002.

Peluang yang lebih menjanjikan ditawarkan ritel yang baru Java Mal. Terdapat persaingan bisnis yang kurang sehat di mana mal-mal baru berusaha menggandeng anchor tenant lama (Matahari, Robinson, Mc Donald) sebagai magnet. Apakah fenomena ini membuktikan sebenarnya bisnis ritel di kota Semarang sudah jenuh?

Telah terjadi pergeseran motif belanja menjadi rekreasi sambil belanja dan aktualisasi diri akan adanya pengakuan. You are is what you wear menjadi you are is where you are . Pengunjung bangga mengunjungi dan berada di mal baru. Pergeseran paradigma motif berbelanja yang tumbuh dari kondisi masyarakat kita ini meruntuhkan teori tentang motif berbelanja dari ahli psikologi Deasy CM, 1992 (motif berbelanja berhubungan dengan keinginan berkomunikasi dengan orang lain, interaksi sosial).

Konsep dan peraturan yang mensyaratkan adanya jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional karena dikhawatirkan akan mematikan pasar tradisional tidak terbukti oleh adanya fenomena kehilangan pamor yang dialami SCJ.

Sulit untuk membangkitan kembali SCJ sebagai bisnis ritel menengah ke atas karena telah terjadi pergeseran paradigma lokasi ke pusat kota dan motif berbelanja ke ritel yang baru. Bukti penelitian menyebutkan bahwa pengunjung ritel terbesar dalah wanita dan remaja dari kalangan menengah ke atas. Apa yang dapat menarik mereka untuk datang? Harus ada pengganti toko besar sebagai magnet penarik pe-ngunjung. Mengubah image kawasan Johar yang terkenal dengan kawasan rawan copet bagi peng-unjung perbelanjaan, plesetan SCJ (Silet Copet Johar) merupakan istilah yang diberikan.

Kerawanan ini timbul karena Pasar Johar memiliki napas kehidupan yang pendek, subuh hingga tengah hari. Setelah jam-jam pasar berlangsung, kawasan ini menjadi sepi terutama malam hari. Perkantoran dan bisnis komersial menengah ke atas akan menghindari lokasi seperti ini. Menghidupkan SCJ perlu dukungan psikologi lingkungannya. Kiranya masalah psikologi lingkungan yang telah terbentuk dapat menjadi masukan bagi Pemkot dalam menentukan kelayakan SCJ.

- (R Siti Rukayah Tutut, staf pengajar Arsitektur Undip dan Program Magister Teknik Arsitektur Undip, mahasiswa S3 pada Program Doktor Teknik Arsitektur dan Perkotaan Undip.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008