Senin, 20 Oktober 2008

Menata PKL Perlu Penataan Ruang

Oleh: Mohammad Agung Ridlo (Angkatan 01)

FENOMENA pertumbuhan suatu kota tentu diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk, akibat proses migrasi atau urbanisasi (baca: urbanward migration) dari daerah hinterland. Fenomena tersebut juga terjadi di Kota Semarang, di satu sisi merupakan permasalahan yang sangat mendesak untuk ditangani dan di satu sisi merupakan suatu proses yang tidak dapat dibatasi pertumbuhannya.

Upaya-upaya untuk menangani proses migrasi daerah hinterland menuju daerah pusat kota dengan kebijaksanaan pembatasan pertumbuhan penduduk menunjukkan tanda-tanda ketidakberhasilan.


Menurut Sturaman (1981), sektor informal kota dalam hal ini khusus pedagang kaki lima (PKL) semakin merebak di Kota Semarang. Munculnya sektor informal (PKL) tersebut merupakan implikasi adanya pertumbuhan dan perkembangan suatu kota.

Tata Ruang

Beberapa penanganan yang telah dilakukan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani permasalahan PKL antara lain dengan melakukan relokasi pedagang, seperti yang dilakukan pada PKL di Kokrosono. Kemudian rencana Pemkot memindahkan PKL dari Jl Citarum Raya ke Jl Citandui Selatan mendapat reaksi keras dari warga Bugangan. Warga mengaku keberatan dengan rencana tersebut karena khawatir PKL akan mengotori lingkungan. Mereka juga keberatan tanah milik Pemkot seluas 1.250 m2 yang akan digunakan sebagai tempat relokasi merupakan pusat aktivitas warga. Selain warga, reaksi keberatan juga dilontarkan oleh para pedagang yang berjualan di sisi selatan Jl Citarum Raya. Para pedagang itu keberatan karena tempat relokasi auh dari akses pembeli. Ada pro dan kontra dalam penataan PKL di Kota Semarang, pedagang dan warga tolak relokasi PKL (SM, 21 Maret 2005).

Hal yang perlu dicermati dalam penanganan PKL yang telah dilakukan di Kota Semarang adalah kurangnya pemahaman Pemerintah Kota terhadap kondisi dan karakterisasi PKL. Terkadang mereka asal main gusur, tanpa memperhatikan karakteristik PKL, baik karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL. Mestinya Pemkot tidak melakukan upaya eksekusi putusan secara sepihak dalam bentuk apa pun sebelum muncul suatu solusi yagn menguntungkan bagi semua pihak (pedagang, warga dan Pemkot).

Keputusan perlu dilakukan musyawarah dengan para pedagang dan warga. Pemerintah perlu memberikan pembinaan terhadap PKL seperti tertuang dalam Perda Nomor 11/2000 pasal 9 yang berbunyi: ''Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan terhadap PKL di daerah''. Sehingga mereka yang bergelut sebagai ''kaum marginal'' atau golongan''have nots'' dapat hidup yang layak sesuai dengan kemampuannya atas pekerjaan yang layak. Artinya bahwa kebijakan penataan PKL hendaknya jangan bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 38 ayat 1.

Oleh karenanya Pemkot dalam melakukan penataan PKL perlu memperhatikan karakteristik lokasi maupun karakteristik pasar PKL dan mempertimbangkan nilai-nilai penataan ruang antara lain nilai kepentingan semua pihak, nilai estetika, teori demand-supply, teori lokasi, teori sirkulasi ruang, teori ''behaviour'' dan teori psikologi manusia. (73)

- Penulis, Ketua Pusat Studi Planologi FT Unissula, mahasiswa S3 Program Doktor Arsitektur dan Perkotaan Undip.

Sumber : Suara Merdeka


0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008