Senin, 20 Oktober 2008

Jalur Penghubung di Simpanglima

Oleh: R Siti Rukayah Tutut (Angkatan 01)

REVOLUSI ritel telah terjadi di kota-kota besar di Indonesia dan melanda beberapa lapangan kota. Revolusi ini memuncak pada 1990-an sebagai imbas dari Amerika yang terjadi pada 1970-an dan diikuti negara-negara berkembang lain.

Amerika selama ini merupakan trend setter, termasuk trend setter bagi budaya konsumerisme. Revolusi ritel melanda beberapa alun-alun. Simpanglima merupakan kasus unik. Sebab, kekuatan ritel di lapangan ini masih terkendalikan. Belum menjadi sebuah rezim ekonomi yang mematikan makna historis alun-alun, seperti yang terjadi di Alun-alun Lama Semarang, Alun-alun Bandung, dan Alun-alun Malang.

Ide rancangan lapangan Simpanglima (1965) berasal dari Bung Karno selaku Presiden Republik Indonesia sebagai pengganti hilangnya Alun-alun Lama Semarang. Direncanakan ia sebagai kawasan religius, budaya, dan pendidikan.


Setelah hampir 20 tahun kawasan ini padat oleh ritel, hanya tersisakan Masjid Baiturrahman dan SMK 7 (STM Pembangunan) sebagai tonggak terakhir yang membuktikan kawasan ini pernah dirancang sebagai kawasan religius, budaya, dan pendidikan. Supermarket Simpanglima (1978) dan Gajahmada Plaza (1980) mulai ditinggalkan pengunjung akibat kehadiran Simpanglima Plasa (1988) dan Mal Ciputra (1993). Robinson Departemen Store (2003), meski merupakan yang terbaru di kawasan itu, tidak menimbulkan guncangan berarti bagi ritel lain.

Rencana Pemerintah Kota untuk menggabungkan beberapa bangunan perbelanjaan di kawasan Simpanglima dengan jembatan ataupun terowongan bawah tanah merupakan sebuah solusi tepat untuk menuntaskan masalah tidak berfungsinya jalur pedestrian di kawasan ini. Namun, mampukah sistem penghubung ini menghidupkan beberapa pertokoan yang telah ditinggalkan pengunjungnya?

Teori Linkage

Teori linkage dari Trancik (1986) mengungkap tentang perlunya sebuah penghubung antardaerah. Sifat penghubung ini bagaikan sebuah lem. Teori ini diperkuat oleh Kenzo bahwa dua daerah yang memiliki aktivitas yang sama akan membentuk sebuah hubungan.

Kiranya teori ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, yaitu adanya aliran pengunjung antarbangunan yang sama, Mal Ciputra dan Simpanglima Plasa. Namun itu tidak terjadi antara masjid dan mal, sekolah dan plasa.

Adapun berdasarkan teori arus trafik, ritel didesain untuk memecahkan problem arus trafik di dalamnya (Ketchum, 1956). Arus trafik harus tercipta terus-menerus sehingga melewati dan menghidupkan semua toko. Toko yang tidak dilewati arus trafik akan mati.

Untuk menciptakan arus trafik yang kuat, dibuatlah magnet di ujung sirkulasi berupa toko besar agar dapat menyedot pengunjung. Dari kekuatan magnet yang sama besar diharapkan terjadi gaya tarik-menarik. Apabila magnet yang ditempatkan tidak sama kuat, arus yang terjadi akan berat sebelah.

Fenomena ini dapat dilihat di lantai dasar Mal Ciputra. Magnet sisi timur (McDonald) lebih kuat dari magnet di sisi barat, meski sama-sama penjual ayam goreng yang disukai anak-anak.

Untuk menghindari masalah ketimpangan kekuatan magnet ini, ahli interior telah menemukan jalan keluarnya, yaitu pemisahan area sirkulasi untuk naik dan turun tidak dalam satu tempat (lihat Java Supermal). Dengan begitu, ada sedikit pemaksaan bagi pengunjung untuk berjalan mengitari semua toko di dalam mal.

Teori Kenyamanan

Dilihat dari kecepatannya, berjalan kaki mempunyai kelebihan, yaitu kecepatan rendah sehingga menguntungkan karena dapat mengamati objek secara detail (Rapoport, 1977).

Menurut Gordon Cullen, berjalan kaki dengan langkah yang sama akan menghasilkan rentetan-rentetan gambar yang indah. Para pengunjung ritel adalah pengunjung yang menggunakan moda berjalan kaki. Perhatian utama adalah adanya kontinuitas pandangan di dalam ritel.

Karena itu, perencanaan pembuatan jalur penghubung di kawasan ini sangat perlu melihat fenomena lapangan. Pertama, pengunjung menyukai pertokoan yang baru.

Supermarket ekonomi masih bisa hidup berdampingan dengan Gajah Masa Plaza pada tahun 80-an. Kedua pertokoan ini tampaknya mulai ditinggalkan pengunjung setelah hadir Simpanglima Plaza akhir 80-an. Simpanglima Plaza pun menjadi kurang menarik setelah Mal Ciputra dibangun awal 90-an, kecuali Robinson Departement Store yang kehadirannya tidak menimbulkan guncangan berarti bagi Mal Ciputra.

Kedua, penyewa tunggal. Para penyewa toko di beberapa ritel adalah sama. Toko sepatu Virgo dan Wina ada di beberapa ritel, Robinson di Citraland lantai II dan bangunan di sisi selatan Simpanglima). Fenomena ini menunjukkan bahwa teori marketing para ahli ekonomi mengenai lokasi perlu ditinjau ulang, karena lokasi yang sama ternyata memberikan hasil berbeda.

Ketiga, siapa yang menjadi magnet sirkulasi. Siapa magnet di kawasan ini yang akan menjadi generator pembangkit arus sirkulasi yang akan melalui dan menghidupkan ritel-ritel lain? Kiranya konsep pedestrian mal dari skala urban telah dipinjam untuk diterapkan di dalam bangunan. Sebaliknya, kita pun dapat meminjam keberhasilan konsep penempatan magnet sirkulasi dalam bangunan untuk diterapkan dalam skala urban. Keempat, pergantian pandangan yang menarik. Fenomena di beberapa ritel yang sudah mulai ditinggalkan pengunjung terlihat bahwa sistem related selling ini tidak lagi berfungsi.

Toko dicampur dengan usaha jasa lain (perkantoran dan lain-lain) sehingga tidak terbentuk sebuah jalinan gambar layaknya sebuah film, namun gambar terpotong-potong. Akibatnya, orang enggan berjalan di sana.

Kiranya sekelumit fenomena di kawasan ini perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah Kota dan pelaku pembangunan dengan mengangkat fakta-fakta di lapangan dan melibatkan para pengelola ritel dan pengguna lapangan kota (PKL). Tolok ukur keberhasilan ini adalah terakomodasinya beberapa kepentingan para pemakai kawasan Simpanglima, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak percuma untuk sebuah tujuan menghidupkan kawasan.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008