Senin, 20 Oktober 2008

Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwating Diyu (Bagian Kedua/Habis)

Oleh : Sudarmawan Juwono (Angkatan 01)

Nun jauh, negeri Ngalengka yang separuh rakyatnya terdiri manusia dan separuh lainnya berwujud raksasa. Negeri ini dipimpin Prabu Sumali yang berwujud raksasa dibantu iparnya seorang raksasa yang bernama Jambumangli. Sang Prabu yang beranjak sepuh, bermuram durja karena belum mendapatkan calon pendamping bagi anaknya, Dewi Sukesi. Sang Dewi hanya mau menikah dengan orang yang mampu menguraikan teka teki kehidupan yang diajukan kepada siapa saja yang mau melamarnya. Sebelumnya harus mampu mengalahkan pamannya yaitu Jambumangli.

Beribu ribu raja, wiku dan satria menuju Ngalengka untuk mengadu nasib melamar sang jelita namun mereka pulang tanpa hasil. Tidak satupun mampu menjawab pertanyaan sang dewi. Berita inipun sampailah ke negeri Lokapala, sang Prabu Danaraja sedang masgul hatinya karena hingga kini belum menemukan pendamping hati. Hingga akhirnya sang Ayahanda, Begawan Wisrawa berkenan menjadi jago untuk memenuhi tantangan puteri Ngalengka.


Pertemuan Dua Anak Manusia

Berangkatlah Begawan Wisrawa ke Ngalengka, hingga kemudian bertemu dengan dewi Suksesi. Senapati Jambumangli bukan lawan sebanding Begawan Wisrawa, dalam beberapa waktu raksasa yang menjadi jago Ngalengka dapat dikalahkan. Tapi hal ini tidak berarti kemenanmgan berada di tangan. Kemudian tibalah sang Begawan harus menjawab pertanyaan sang Dewi. Dengan mudah sang Begawan menjawab pertanyaan demi pertanyaan hingga akhirnya, sampailah sang dewi menanyakan rahasia Serat Sastrajendra. Sang Begawan pada mulanya tidak bersedia karena ilmu ini harus dengan laku tanpa ¡§ perbuatan ¡§ sia sialah pemahaman yang ada. Namun sang Dewi tetap bersikeras untuk mempelajari ilmu tersebut, toh nantinya akan menjadi menantunya.

Luluh hati sang Begawan, beliau mensyaratkan bahwa ilmu ini harus dijiwai dengan niat luhur. Keduanya kemudian menjadi guru dan murid, antara yangf mengajar dan yang diajar. Hari demi hari berlalu keduanya saling berinteraksi memahamkan hakikat ilmu. Sementara di kayangan, para dewata melihat peristiwa di mayapada. ¡§ Hee, para dewata, bukankah Wisrawa sudah pernah diberitahu untuk tidak mengajarkan ilmu tersebut pada sembarang orang ¡§.

Para dewata melaporkan hal tersebut kepada sang Betara Guru. ¡§ Bila apa yang dilakukan Wisrawa, bisa nanti kayangan akan terbalik, manusia akan menguasai kita, karena telah sempurna ilmunya, sedangkan kita belum sempat dan mampu mempelajarinya ¡§.

Sang Betara Guru merenungkan kebenaran peringatan para dewata tersebut. ¡§ tidak cukup untuk mempelajari ilmu tanpa laku, Serat Sastrajendra dipagari sifat sifat kemanusiaan, kalau mampu mengatasi sifat sifat kemanusiaan baru dapat mencapai derajat para dewa. ¡§ Tidak lama sang Betara menitahkan untuk memanggil Dewi Uma.untuk bersama menguji ketangguhan sang Begawan dan muridnya.

Hingga sesuatu ketika, sang Dewi merasakan bahwa pria yang dihadapannya adalah calon pendamping yang ditunggu tunggu. Biar beda usia namun cinta telah merasuk dalam jiwa sang Dewi hingga kemudian terjadi peristiwa yang biasa terjadi layaknya pertemuan pria dengan wanita. Keduanya bersatu dalam lautan asmara dimabukkan rasa sejiwa melupakan hakikat ilmu, guru, murid dan adab susila. Hamillah sang Dewi dari hasil perbuatan asmara dengan sang Begawan. Mengetahui Dewi Sukesi hamil, murkalah sang Prabu Sumali namun tiada daya. Takdir telah terjadi, tidak dapat dirubah maka jadilah sang Prabu menerima menantu yang tidak jauh berbeda usianya.

Tergelincir Dalam Kesesatan

Musibah pertama, terjadi ketika sang senapati Jambumangli yang malu akan kejadian tersebut mengamuk menantang sang Begawan. Raksasa jambumangli tidak rela tahta Ngalengka harus diteruskan oleh keturunan sang Begawan dengan cara yang nista. Bukan raksasa dimuliakan atau diruwat menjadi manusia. Namun Senapati Jambumangli bukan tandingan, akhirnya tewas ditangan Wisrawa. Sebelum meninggal, sang senapati sempat berujar bahwa besok anaknya akan ada yang mengalami nasib sepertinya ditewaskan seorang kesatria.

Musibah kedua, Prabu Danaraja menggelar pasukan ke Ngalengka untuk menghukum perbuatan nista ayahnya. Perang besar terjadi, empat puluh hari empat puluh malam berlangsung sebelum keduanya berhadapan. Keduanya berurai air mata, harus bertarung menegakkan harga diri masing masing. Namun kemudian Betara Narada turun melerai dan menasehati sang Danaraja. Kelak Danaraja yang tidak dapat menahan diri, harus menerima akibatnya ketika Dasamuka saudara tirinya menyerang Lokapala.
Musibah ketiga, sang Dewi Sukesi melahirkan darah segunung keluar dari rahimnya kemudian dinamakan Rahwana (darah segunung). Menyertai kelahiran pertama maka keluarlah wujud kuku yang menjadi raksasi yang dikenal dengan nama Sarpakenaka. Sarpakenaka adalah lambang wanita yang tidak puas dan berjiwa angkara, mampu berubah wujud menjadi wanita rupawan tapi sebenarnya raksesi yang bertaring. Kedua pasangan ini terus bermuram durja menghadapi musibah yang tiada henti, sehingga setiap hari keduanya melakukan tapa brata dengan menebus kesalahan. Kemudian sang Dewi hamil kembali melahirkan raksasa kembali. Sekalipun masih berwujud raksasa namun berbudi luhur yaitu Kumbakarna.

Akhir Yang Tercerahkan

Musibah demi musibah terus berlalu, keduanya tidak putus putus memanjatkan puaj dan puji ke hadlirat Tuhan yang Maha Kuasa. Kesabaran dan ketulusan telah menjiwa dalam hati kedua insan ini. Serat Sastrajendra sedikit demi sedikit mulai terkuak dalam hati hati yang telah disinari kebenaran ilahi. Hingga kemudian sang Dewi melahirkan terkahir kalinya bayi berwujud manusia yang kemudian diberi nama Gunawan Wibisana. Satria inilah yang akhirnya mampu menegakkan kebenaran di bumi Ngalengka sekalipun harus disingkirkan oleh saudaranya sendiri, dicela sebagai penghianat negeri, tetapi sesungguhnya sang Gunawan Wibisana yang sesungguhnya yang menyelamatkan negeri Ngalengka. Gunawan Wibisana menjadi simbol kebenaran mutiara yang tersimpan dalam Lumpur namun tetap bersinar kemuliaannya. Tanda kebenaran yang tidak larut dalam lautan keangkaramurkaan serta mampu mengalahkan keragu raguan seprti terjadi pada Kumbakarna. Dalam cerita pewayangan, Kumbakarna dianggap tidak bisa langsung masuk suargaloka karena dianggap ragu ragu membela kebenaran.

Melalui Gunawan Wibisana, bumi Ngalengka tersinari cahaya ilahi yang dibawa Ramawijaya dengan balatentara jelatanya yaitu pasukan wanara (kera). Peperangan dalam Ramayana bukan perebutan wanita berwujud cinta namun pertempuran demi menegakkan kesetiaan pada kebenaran yang sejati.

Sumber : Wayang

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008