Kamis, 29 Januari 2009

Solo Center Point Berintegrasi dengan Budaya Setempat


PERKEMBANGAN kota Solo tidak terlepas dengan pendekatan budaya yang humanis. Memperhatikan tradisi masa lalu sebagai konsep yang mengarah pada budaya sebagai pegangan untuk meraih keberhasilan dalam “berarsitektur”. Bukan berarti memperhatikan masa lalu merupakan hal “usang” untuk dibahas, konsep masa lalu sangat identik dengan dengan ikon fisik seperti bangunan tua dan situs peninggalan budaya lama. Dengan demikian, koeksistensi nilai-nilai budaya ini dapat dilakukan oleh siapa saja.

Dalam hal ini melihat bangunan Solo Center Point (SCP) penerapan kontekstual dengan budaya sangat diperhatikan. Kontekstual dalam hal ini bukan dilihat dari fasade yang ada, akan tetapi zona-zona ruang yang terbentuk.


Bangunan yang terletak dijalan Slamet Riyadi dengan luas tanah 34000 sqm konsep awalnya dirancang hanya sebagai fasilitas riteil (mall center) akan tetapi mengalami penambahan dan pengurangan fungsi dikarenakan beberapa pertimbangan. Lokasi pembangunan SCP merupakan bekas lahan pusat perbelanjaan modern pertama di Solo yang dibakar pada saat kerusuhan Mei 1998. Bangunan ini berlokasi tepat di depan kampung Lawean, di mana kawasan itu merupakan kampung pembuat batik tertua di kota Solo.

Meskipun terkesan modern, akan tetapi terdapat kontekstualitas pada fasilitas publiknya. Secara fungsi SCP merupakan gabungan mall dengan konsep city walk dan juga ada condotel, apartment diatas, pada area tengahnya terdapat area terbuka/plasa. Tentunya hal ini mempunyai prosentase berbeda dalam fungsinya. Ketiga fungsi bangunan tersebut mempuyai akses terpisah dan sangat memperhatikan kemudahan akses dan privasi pengguna. Penyediaan kebutuhan transportasi dalam area gedung atau fasilitas lainnya dirancang terpisah. Hal ini membuat tidak ada kekawatiran dan menciptakan kenyamanan si pengguna baik itu condotel, apartment ataupun mall.

Untuk apartment berjumlah kurang lebih 100 unit mempunyai akses tersendiri. Pembagian zona ruang jelas nampak pada konsep Solo Center Point. Selain itu juga penghuni apartment disediakan akses langsung untuk bisa menuju zona publik (area city walk atau plasa) dilantai bawah yang aktif 24 jam. Begitu juga area parkir tersedia untuk pemilik apartment dibedakan dalam mengaksesnya. Dan untuk fasilitas penunjang tertentu misalnya kolam renang, gym atau yang lainnya menyatu dengan condotel dan hanya bisa digunakan pemilik apartment dan pengguna condotel.

Untuk interior meskipun terlihat modern akan tetapi ar setempat masih terasa misalnya adanya motif batik berupa lukisan atau lainnya yang ada dalam setiap ruangnya. Gaya hidup yang modern tentunya melekat bagi penghuni apartemen akan tetapi semua akan ternetralisir dengan interaksi sosial yang masih mengutamakan budaya setempat.

Penerapan peraturan daerah menjadi perhatian dalam proyek ini. "Solo Center Point" merupakan bangunan modern yang menonjolkan interaksi sosial dan budaya yang tinggi di mana hal ini sudah menjadi budaya atau kebiasaan masyarakat Solo, yang salah satunya yaitu wedangan (menikmati minuman hangat) di malam hari”. Desain yang mempunyai publik space untuk menunjang kegiatan berbudaya misalkan adanya plasa ditengah bangunan dan city walk akan menjadi tempat kegiatan budaya masyarakat Solo. Selain itu juga bangunan ini menciptakan interaksi terhadap jalan meskipun kita berada di area bangunan contohnya terdapat balkon diatas yang terbuka dilantai satu dimana disitu merupakan zona jajanan modern.

Bangunan ini juga banyak memanfaatkan keberadaan alam, ini terlihat dengan banyak-nya ruang terbuka dan memaksimalkan penghawaan alami. Dari awal tahap perencanaan sudah terdapat komitmen untuk mengintegrasikan city walk terhadap bangunan, hal ini sesuai dengan pencanangan program pemerintah kota Solo.

SCP merupakan gedung pertama yang mengintegrasikan city walk kedalam desain. Hal ini bisa menjadi contoh baik bagi pengembang lain untuk bisa melakukan pendekatan budaya dalam mendesain. Dari segi arsitektur yang ditonjolkan Solo Center Point adalah proyek ini merupakan gebrakan baru karena menghapuskan barier antara domain privat dan publik, hal ini merupakan integrasi dalam satu komplek.

Sumber : Kompas

Read more.....

Rabu, 28 Januari 2009

Mengurai Kemelut Pabrik Semen

Oleh Sudharto P Hadi

Mereka yang terkena dampak buruk tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup oleh sebagian besar masyarakat.

PERISTIWA penyanderaan 13 anggota Tim Proyek PT Semen Gresik (PT SG) oleh warga Kedungmulyo, 21 Januari lalu tampaknya merupakan ekspresi konflik yang paling panas yang pernah terjadi selama ini. Percikan-percikan konflik vertikal dan horizontal terus muncul ke permukaan sejak rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati itu digulirkan.

Dalam penyanderaan tersebut, masing-masing pihak memiliki argumen sendiri. PT SG berpegangan kepada keputusan kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang telah ditandatangani 31 Desember 2008. Warga masyarakat pun berpatokan kepada pernyataan gubernur pada pertemuan di Kantor Kesbanglimas yang akan menerjukan tim independen ke lapangan. Mengapa konflik terus beruntun dan masyarakat gampang tersulut?


Sarat Konflik

Sebagaimana saya tulis di harian ini 8 November 2008, bahwa rencana pendirian pabrik semen di wilayah Sukolilo, Pati, memicu timbulnya konflik, bukan hanya antara kelompok masyarakat dengan pemprakarsa proyek dan pemerintah, melainkan di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada tiga sumber konflik. Pertama kekhawatiran masyarakat akan dampak lingkungan yang mengancam perikehidupan mereka.

Kedua, telah terjadi alih pemilikan lahan sebelum proyek dimulai. Ketiga, kecenderungan keberpihakan pemerintah kepada investor yang didasari pertimbangan ekonomi. Mari kita urai ketiga sumber konflik tersebut. Di antara isu lingkungan yang paling krusial adalah kemungkinan hilangnya sumber air.

Daerah penambangan berada di Desa Kedumulyo, Gadudero, Baturejo, Sukolilo, Sumbersoka, Tompegunung, dan Gendongan. Calon lokasi itu merupakan kawasan karst yang menyimpan mata air yang mengalir serta memberi kehidupan bagi warga sekitar, baik sebagai air baku maupun air irigasi.

Menurut catatan Sedulur Sikep, di pegunungan tersebut terdapat 72 mata air. PT SG menyatakan bahwa kegiatan pabrik semen tidak akan merusak mata air, karena akan dipilih ruas yang tidak mengandung mata air.

Dengan kata lain, lokasi yang dipilih di daerah karst kelas dua dan tiga. Hal itu pula yang dinyatakan oleh Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Tengah, bahwa yang terkena dampak hanya enam mata air nonpermanen. Yang perlu dicermati adalah apakah pengeprasan perbukitan karst tidak menimbulkan pengaruh sebagai sebuah ekosistem.

Mensinergikan Kepentingan

Berkaitan dengan alih fungsi lahan, sekitar 90% dari 400 hektare (dengan revisi amdal 270 hektare) lahan milik penduduk yang merupakan calon lahan penambangan telah beralih pemilik. Pemilik baru, bukanlah PT SG, melainkan pemodal dari luar yang membeli lahan melalui penduduk lokal karena mendengar adanya pendirian pabrik semen.

Sejak saat itu intrik-intrik antarkelompok masyarakat terus menyebar. Sekitar Mei, banyak spanduk-spanduk terpampang di berbagai sudut desa calon lokasi dan jalan-jalan utama yang bernada mendukung kehadiran pabrik semen. Bahkan ada spanuk di jalan utama yang berbunyi: ’’Kami bosan merantau dan akan kembali membangun Sukolilo bersama pabrik semen’’.

Bisa ditebak bahwa pemasang spanduk adalah mereka yang merasa diuntungkan jika pabrik semen didirikan. Di balik itu terdapat kelompok masyarakat yang berseberangan.

Pemilik tanah yang telah melepaskan haknya tentu merasa dirugikan jika pabrik didirikan, karena mereka telah telanjur menjualnya dengan harga yang murah. Di samping itu, banyak juga pemilik sawah yang enggan melepaskan tanahnya, karena begitu tanah dijual dan memperoleh uang, mereka tidak memiliki gantungan hidup lagi. Membeli sawah di tempat lain tidak semudah yang dibayangkan.

Selama ini kedua kelompok masyarakat itu seolah tenggelam oleh gemuruh mereka yang setuju melalui spanduk dan pernyataan para pejabat mulai dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten.

Sedulur Sikep dengan lugas dan berani menyuarakan keprihatinan mereka melalui berbagai media. Pihak pemprakarsa menyatakan bahwa tidak ada lahan milik Sedulur Sikep yang dibebaskan untuk proyek.

Namun demikian, dalam pandangan Sedulur Sikep, dampak lingkungan dan sosial tidak hanya terjadi karena pembebasan lahan. Jika penyusutan air terjadi, maka akan mengancam mata pencaharian dan budaya bertani yang telah turun-munurun mereka tekuni. Tidak mengherankan, ketika menurut mereka gubernur akan menerjunkan tim independen ke lapangan, merupakan sinyal harapan.

Sikap pemerintah yang selama ini cenderung menyetujui kehadiran pabrik semen, ketika studi kelayakan masih dalam proses, juga memicu eskalasi konflik. Berkali-kali di media massa kita baca pernyataan para petinggi bahwa pabrik semen akan memberikan manfaat kepada masyarakat yang lebih besar dalam bentuk kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Dikatakan pula bahwa mereka yang tidak setuju jumlahnya hanya kecil dan tidak mengetahui tentang kajian ilmiah. Pertimbangan yang mengedepankan prinsip the greatest possible happines for the greatest number (manfaat untuk banyak orang walau ada yang dikorbankan), menurut pakar sosiologi, Chernea (1989), akan menimbulkan ketidakadilan.

Mereka yang terkena dampak buruk tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup oleh sebagian besar masyarakat. Kesimpulan Chernea didasarkan kepada studi yang dilakukan atas proyek-proyek dam di China, India, dan Afrika, yang rupanya analog dengan yang terjadi di negeri kita. Waduk Kedungombo menyisakan warga masyarakat yang masih menderita dan tinggal di sekitar sabuk hijau.

Penderitaan mereka tidak tergantikan, walau menyaksikan petani-petani di Demak, Kudus, dan Grobogan, menikmati pasokan air irigasi dari Kedungombo. Selain keadilan, prinsip lain yang perlu dikedepankan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah demokratis dan berkelanjutan.

Demokratis, sebagaimana tuntutan yang didengungkan reformasi, bukanlah sekadar ikut serta dalam proses, melainkan ada jaminan bahwa masukan warga masyarakat menjadi bagian dalam pengambilan keputusan. Prinsip berkelanjutan menghendaki bukan hanya kemanfaatan ekonomi, melaikan juga keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

Mudah-mudahan diskusi pro-kontra pabrik semen yang digelar Harian Suara Merdeka 29 Januari 2009 ini memberikan pencerahan kepada semua pihak untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan.

Kasus pabrik semen menjadi pembelajaran berharga bagi semua warga Jawa Tengah dalam mengantisipasi setiap perencanaan pembangunan di masa depan. Makna pembangunan seharusnya kemajuan (progress) bagi semua orang, bukan menimbulkan kemunduran (regress) bagi sebagian warga kita.(68)

Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Jumat, 16 Januari 2009

Jerman: Infrastruktur Pengetahuan Indonesia Belum Kuat

Indonesia secara empirik belum memiliki infrastruktur pengetahuan yang kuat. Ini tidak menutup kemungkinan sebagai penyebab berbagai evolusi sosial budaya di Indonesia berlangsung dengan kegagapan.

Hal inilah yang menjadi salah satu pembahasan Hans-Dieter Evers, guru besar sosilogi Universitas Bonn, Jerman, dalam kuliah umum "Knowledge for Development" di Universitas Indonesia pada Kamis (15/1) siang.


Evers menilai Jakarta yang merupakan representasi Indonesia memiliki kepribadian ganda. Hal ini dibuktikan dengan adanya areal-areal kumuh dengan infrastruktur tidak memadai selain juga terdapat megahnya kota yang diisi lalu lintas aktifitas perusahaan-perusahaan multinasional.

"Membangun masyarakat yang mengandalkan pada pengetahuan (knowledge-based society) menjadi sebuah keharusan dalam mengatasi berbagai ketimpangan sosial yang terjadi," ujar Evers di hadapan ratusan peserta.

Dengan berbekal dan mengandalkan pengetahuan, evolusi ataupun transisi sosial masyarakat Indonesia akan lebih baik, karena menuju perubahan yang lebih baik melalui sebuah inovasi. Hal ini telah terjadi dan dibuktikan melalui penelitian Evers pada negara Ghana dibanding Korea. Pertumbuhan menuju kesejahteraan masyarakat bergerak naik secara signifikan pada Korea yang telah banyak menciptakan sebuah produk inovatif, jauh melebihi negara Ghana yang terlihat statis.

Salah satu hal yang menurut Evers mendukung terciptanya masyarakat yang mengandalkan pengetahuan adalah dengan penggunaan internet. Dalam hal ini, Indonesia menduduki posisi tertinggi dalam jumlah pengguna internet, melebihi Malaysia, dan Filipina. "Sebetulnya selain buku, penggunaan internet dapat mendukung terciptanya pengetahuan baru, yang merupakan sumber daya yang sangat besar," tambah Evers.

Keberpihakan Dieters pada negara-negara berkembang berdasar pada fakta bahwa negara berkembang merupakan sebuah laboratorium sosial yang sangat besar, dimana tersimpan banyak "harta karun" materi penelitian yang unik dan spesifik. Karakternya yang secara geo-sosial paling luas di dunia, namun dengan distribusi ekonomi yang tidak merata, persoalan imigran, evolusi politik dan banyak kasus lain, membuat studi mengenai negara berkembang seperti Indonesia menjadi sangat kompleks.

Kepada Mediaindonesia.com secara khusus Evers menerangkan bahwa Indonesia kini sebenarnya sudah berada di jalur yang tepat untuk mengembangkan sistem pengetahuan agar semakin baik. Hal ini dapat lebih lagi didukung melalui jalinan kerja sama berbagai institusi dengan melakukan penelitian-penelitian, seperti dengan universitas-universitas. Memang diperlukan banyak metodologi untuk mencapai hasil yang diharapkan.

"Yang menjadi indikator dari berhasil tidaknya sebuah knowledge for development terlihat dari dari seberapa besar penelitian-penelitian yang dilakukan serta produk-produk yang merupakan sebuah inovasi. Sudah sepuluh tahun terkahir ini Indonesia menunjukan perkembangan, setelah sebelumnya stagnan. Saya yakin krisis finansial tidak akan mempengaruhi sektor pengembangan pengetahuan ini." Ujar Evers.

Saat ditanya trik-trik untuk menjadi seorang yang inovatif, Evers menjawabnya, "Bacalah buku, baca buku, dan baca buku...dan jangan gunakan internet hanya untuk bermain."

Sumber : Suara Merdeka CN

Read more.....

Sistem Dualistik Kota

Oleh: Paulus Hariyono

SUNGGUH ironis, Indonesia yang memiliki wilayah sangat luas, namun penataan ruang publik kotanya sering menimbulkan konflik. Sebaliknya Singapura dan negara-negara Eropa, yang memiliki wilayah tidak luas, dapat menatanya dengan baik. Ruang publiknya pun dapat dinikmati secara nyaman, bahkan menjadi daya tarik pariwisata kota.

Di Indonesia, muncul tudingan para elit masyarakat (pimpinan dan/atau swasta berkapital) setiap saat bakal merampas ruang publik kota, dengan ide-ide yang berlawanan dengan kepentingan masyarakat kebanyakan. Seminggu usai dilantik, misalnya, Gubernur Bibit Waluyo melontarkan ide tentang penggusuran aktivitas ruang publik di sebagian kaki lima di Jl Pahlawan Semarang yang memicu pro-kontra.

Rencana alih fungsi sebagian ruang publik di lapangan Tri Lomba Juang, dan pembongkaran Pasar Johar, juga merupakan sebagian dari konflik penataan ruang publik kota. Renovasi Alun-alun Purwokerto juga menimbulkan pro-kontra antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat (Suara Merdeka, 26/12/2008).

Saat ini terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang cukup menonjol antara masyarakat lapisan atas dan bawah. Perbedaan kondisi ini berakibat terjadi perbedaan gaya hidup masyarakatnya. Masyarakat kelas atas, termasuk elit masyarakatnya, biasanya memiliki aktivitas indoor living. Sedangkan masyarakat kelas bawah memiliki aktivitas outdoor living.

Masyarakat kelas atas memiliki kemampuan mengakses wacana gaya hidup modern yang umumnya berorientasi Barat. Ketika elit masyarakat berkesempatan ke luar negeri, muncullah ide merancang ruang publik kota dengan gaya hidup modern di kota tempat tinggalnya.

Karena itu, ada kecenderungan kaum elit masyarakat menginginkan ruang publik kota yang bersifat estetis-modern, yang bertolak belakang dengan fungsi sosial ekonomi ruang publik.

Sebaliknya, masyarakat menengah ke bawah memiliki aktivitas tradisional yang memiliki konotasi pada aktivitas sosial-ekonomi di ruang publik. Tarik ulur kepentingan dan gaya hidup itu menghasilkan sistem dualistik dalam perancangan ruang publik kota. Di satu pihak terdapat sistem perancangan ruang publik kota yang bersifat tradisional, tetapi pada saat yang sama terdapat sistem perancangan ruang publik kota yang bersifat estetis-modern.

Konflik kepentingan dan gaya hidup itu merupakan ujian, apakah nantinya suatu kawasan itu jatuh pada kepentingan masyarakat elit dan akan dirancang ruang publik yang estetis-modern, ataukah jatuh pada kepentingan masyarakat kebanyakan yang kemudian akan terancang kawasan ruang publik yang bersifat tradisional. Dua polarisasi ini melahirkan sistem dualistik perancangan kota.
Karena besifat dualistik, maka dari sudut perancangan perlu dicari suatu ketentuan apakah suatu kawasan itu akan dirancang secara estetis-modern atau secara tradisional. Contoh terdekat adalah taman kota di Jl Menteri Supeno —dikenal sebagai Taman KB— yang sedang direncanakan menjadi taman kota nan spektakuler dengan dana Rp 1,3 miliar (Suara Merdeka, Juli 2008).

Perlu dikaji, apakah kawasan ini layak menjadi taman kota yang bersifat estetis-modern atau tradisional, ataukah mungkin campuran di antara keduanya. Jangan sampai setelah dirancang dengan gaya estetis modern, ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebab kawasan ini awalnya sering dilakukan kegiatan yang bersifat massal yang berorientasi kerakyatan, seperti konser musik, perayaan suatu hari raya, dan pameran flora-fauna.
Di satu pihak, sistem dualistik ruang publik kota mengundang konflik kepentingan, tetapi di lain pihak dapat menjadi kekayaan budaya kota apabila bisa dikelola dengan baik. Bahkan dapat menjadi daya tarik kota, misalnya sistem sektor formal dan sektor informal. Dua sistem ini dapat berdampingan secara serasi, dengan merancang tata letak yang tepat.

Kondisi sarana usaha sektor informal pun perlu dirancang secara menarik, sehingga perpaduan sektor formal, sektor informal, dan penampilan sarana usahanya dapat memberikan kenyamanan bagi masyarakat (dan wisatawan) yang ingin mengakses maupun cuci mata di ruang publik. Sistem dualistik ruang publik kota dapat mengobati kejenuhan bangunan yang berderet-deret kosong, seolah-olah tanpa kehidupan.

Berdampingan
Istilah dualistik sebenarnya diambil dari istilah yang dikemukakan oleh Boeke (Sayogyo, 1985) dalam kajian sosial ekonominya. Dia mengatakan, dalam sistem ekonomi di Indonesia terjadi dualistik, yaitu pertarungan antara sistem ekonomi tradisional dari negeri sendiri dan sistem ekonomi modern yang berasal dari asing. Di sejumlah kota di Indonesia terdapat sistem pasar tradisional, tapi juga dijumpai sistem pasar modern yang hidup secara berdampingan.

Kehadiran pusat perbelanjaan modern biasanya diiringi dengan aktivitas ekonomi tradisional, seperti sektor informal. Sebagai kasus, pusat-pusat perbelanjaan modern di Solo yang menjadi denyut jantung kota hancur karena kerusuhan sosial politik (1998). Ternyata sektor informal pun ikut tenggelam.
Dua tahun kemudian, ketika pusat perbelanjaan di Solo mulai dibangun kembali, sektor informal pun ikut bangkit. Sektor informal ikut mendompleng hiruk pikuk aktivitas mal. Mereka melayani segmen pasar yang tidak mampu menjangkau sektor formal.

Pegawai kelas bawah di mal-mal, seperti satpam, petugas cleaning service, juru parkir, dan pramuniaga, bersama masyarakat umum lainnya, tentu masih membutuhkan kehadiran sektor informal.

Demikian pula ketika Javamall, Swalayan Ada, dan DP Mall di Semarang dibangun, sektor informal pun bermunculan di balik gedung-gedung megah itu. Sistem pembayarannya pun terjadi sistem dualistik.

Ketika di mal, pengunjung berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, yang dibayar di belakang hari. Di sektor informal pun terdapat sistem ngebon yang juga dibayar di belakang hari.

Setelah belanja atau makan di warung, pengunjung sektor informal mencatat sendiri barang-barang yang diambil. Mereka melakukan pembayaran saat gajian tiba, atau kiriman uang datang bagi pelajar perantauan.

Ternyata sistem dualistik ini tidak hanya dijumpai pada bidang ekonomi sosial, tetapi juga pada bidang perancangan kota. Ada sudut-sudut kota yang dirancang secara modern, tetapi terdapat pula sudut-sudut kota yang dirancang secara tradisional. Sudut kota yang dirancang secara modern biasanya merupakan aktualisasi elit masyarakat. Sedangkan sudut kota yang dirancang secara tradisional merupakan aktualisasi masyarakat kebanyakan.

Dua pihak ini tidak dapat dipertentangkan, apabila kondisi masyarakatnya masih mengalami kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi. Keberhasilan penataan ruang kota di negara-negara maju antara lain disebabkan keberhasilannya mengeliminasi kesenjangan sosial ekonomi masyarakatnya.
Di negara-negara Eropa, setelah Revolusi Industri, juga banyak dijumpai kesenjangan sosial ekonomi yang tinggi dan menjamurnya sektor informal. Tetapi kondisi ini cepat-cepat diatasi dengan memperbesar dan memperkuat sektor formal, dengan mengedepankan profesionalitas dan tingkat kesejahteraan buruh yang cukup. Sehingga orang cukup tertarik menggeluti sektor formal daripada sektor informal.

Dengan kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah yang memadai, gaya hidupnya pun akan berubah. Mereka akan melakukan kegiatan konsumsi di sektor formal, seperti makan di rumah makan atau di fast food, perilaku yang lebih sopan-tertib, menjaga kebersihan, menjaga kesehatan, kesadaran akan pendidikan yang cukup. Tidak mengherankan kalau kalangan menengah ke bawah di Barat terkadang makan dan minum satu ruang dengan masyarakat kelas menengah, atau sedikit ke atas.

Selain masalah teknis dan manajemen, masalah kesenjangan sosial ekonomi pula yang mengakibatkan persoalan Mass Rapit Transit sulit diberlakukan di kota-kota di Indonesia. Gaya hidup yang senjang berakibat mereka membuat jarak, dan sulit menghirup udara di ruang yang sama.

Dengan demikian, kota-kota di Indonesia masih memiliki sifat yang dualistik, baik dilihat dari sudut perancangan, ekonomi sosial, dan transportasi. Salah satu persoalannya, sekali lagi, adalah kesenjangan sosial ekonomi. Selama kesenjangan masih ada, kondisi yang bersifat dualistik ini akan tetap eksis.

Dengan sendirinya, dibutuhkan penataan yang arif dengan memberikan ruang seimbang kepada masing-masing lapisan masyarakat. Atau, dengan kata lain, dibutuhkan manajemen yang memperhatikan kondisi yang dualistik untuk menata suatu ruang kota. (32)

—Paulus Hariyono, dosen arsitektur Unika Soegijapranata Semarang.
Sumber : Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008