Selasa, 08 Maret 2011

Menuju Ruang Kota yang Merakyat

Oleh: Dr. Rudiyanto Soesilo (UNIKA Soegijapranata)

GEBRAKAN Wali Kota Semarang Soemarmo HS terhadap salah satu ruang kota, yaitu menata Jalan Pahlawan merupakan manifestasi kejelian menata kota dan memimpin warganya, apapun motivasinya. Kenapa demikian? Penataan Jalan Pahlawan berikut bulevarnya mengandung dua makna besar, yaitu kepedulian terhadap keindahan kota, sekaligus terhadap rakyat secara keseluruhan sebagai warganya.

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kota Semarang sebagai salah satu elemennya, tak dapat dimungkiri adanya realitas urban, kepadatan penduduk pada ’’area-belakang’’ perkotaan, kepadatan kampung-kampung, keterhimpitan ruang hidup, dan kesesakan keseharian. Realitas ini membuat kota-kota di negara sedang berkembang lebih membutuhkan ruang-ruang kota —open public space— yang mampu menjadi katup pelepas dari himpitan keseharian tersebut.

Dalam suatu negara sedang berkembang, realitas masyarakat terbelah menjadi dua yakni kaum berpunya dan rakyat kebanyakan. Kubu berpunya bisa menciptakan ruang-ruang kebersamaan sendiri, mulai kompleks real estate dengan landscaping dan gardening lengkap dengan tingkat privasi dan tingkat keamanannya dengan one gate only-nya, club house hingga berbagai fasilitas publik lainnya. Mal beserta atrium dan plazanya yang luas, jembar, dan tinggi hingga mampu memenuhi kebutuhan akan ruang kebersamaan: ruang publik urban bagi mereka.

Problematika justru muncul untuk memenuhi kebutuhan ruang kebersamaan bagi rakyat kebanyakan, yang tak mampu membayar developer untuk menyediakan fasilitas itu. Berangkat dari sini, peran Wali Kota beserta jajarannya menjadi penting bagi warga kebanyakan, karena populasi kelompok ini justru sangat besar, dengan tingkat kebutuhan ruang kota yang sangat urgen pula.

Keterhimpitan dan kesesakan spasial dapat memicu perilaku destruktif, dan sebaliknya kelegaan, sore-sore bisa mengajak keluarga jalan-jalan sore, justru merupakan rekreasi termurah dan bisa memacu produktivitas tinggi dan perilaku positif lainnya.
Ruang Egaliter Penciptaan ruang kota untuk rakyat, seperti diterapkan di Jalan Pahlawan, dapat memenuhi kebutuhan kelegaan, ke-jembar-an, ruang kota yang dapat melepaskan rakyat dari keterhimpitan dan kesesakan keseharian. Selain itu, ikut membahagiakan pengguna jalan dengan view yang melegakan karena ke-jembar-annya itu. Tentunya dengan tidak melupakan rakyat yang lain lewat penataan PKL pada zona yang tepat.

Kelegaan ini sangat diperlukan pada poros jalan kebanggaan kota Semarang tersebut, yang klimaksnya adalah Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal yang kini juga terlihat makin berwibawa, sembada dengan maknanya, sementara Simpanglima telah terpagari oleh vegetasi yang tinggi dan rapat sehingga kehilangan kesan ke-jembar-an tadi, terutama bagi pemakai jalan
Kalau kita melihat ke berbagai penanganan ruang terbuka kota, kita lihat pengalaman Taman Monas di Jakarta yang diberi pagar agar tidak terjadi berbagai hal-hal yang tidak diinginkan. Salah kelola dari ruang publik kota hingga malah menjadi ruang yang rawan bagi penduduk kota, hendaknya tidak terjadi. Masyarakat dari berbagai kalangan seyogianya terwadahi dalam ruang kota itu, rakyat tidak teralienasi, masyarakat menjadi benar-benar rileks berbaur di tempat itu, zona untuk berdagang dan berjualan terpisah walau mudah diakses dari zona kebersamaan.

Satu demi satu ruang kota Semarang dapat ditaklukkan, dikembalikan sebagai ruang ajang bersosialisasi para warga kota, ruang egaliter yang penuh kesetaraan.

Upaya itu selaras dengan semboyan Semarang Setara, bahkan mampu menjadi daya tarik kota untuk menarik wisatawan nusantara ataupun wisatawan mancanegara, karena ruang-ruang kota yang untuk rakyat berbaur dari berbagai kultur dan tingkatan, menjadikan semua kerasan. Sejatinya kota Semarang tidak kalah dari Paris yang punya ikon Champ-Elysee sebagai daya tarik suatu kota yang kemudian menjadi milik bersama warga dunia.

Sumber: Suara Merdeka

Read more.....

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008