Sanksi bagi Pelanggar Tata Ruang
Oleh Tjoek Suroso Hadi
AKHIR-akhir ini sering kita dengar, banyak orang yang dengan mudah melanggar penggunaan ruang yang mestinya telah disepakati bersama. Kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah undang-undang, yaitu UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang.
Sulit mengerti, mengapa orang gampang mengubah tata guna lahan. Peristiwa-peristiwa alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produktif, kawasan perumahan menjadi area industri, kawasan konservasi menjadi kawasan perumahan atau industri, persawahan jadi real estate, dan masih banyak lagi.
Akhirnya, dalam pelaksanaan pembangunan, tata ruang yang telah disepakati itu menjadi semerawut, tidak terkontrol, dan makin acak. Hal ini bisa terjadi di semua wilayah di seluruh pelosok negeri ini.
Kita coba merunut kembali, ketika air sungai Bengawan Solo meluap terjadi banjir bandang yang menggenangi wilayah-wilayah hilir. Tidak tanggung-tanggung, ketika sungai meluap, masyarakat Lamongan (Jawa Timur) melakukan protes, karena daerahnya sering tertimpa banjir kiriman, meski hari tidak hujan.
Padahal dalam UU 26/2007 sudah tertera, secara geografis NKRI berada pada kawasan rawan bencana, sehinga diperlukan penataan ruang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan.
Statement dalam UU itu menyiratkan wilayah yang rawan bencana pun harus diantisipasi dalam perencanaan tata ruangnya, agar tak menimbulkan konsekuensi berupa kesengsaraan bagi masyarakat. Sehingga wilayah yang benar-benar sesuai dengan rencana tata ruang justru dilanggarnya.
Dulu pada saat era kerajaan, seorang raja mempunyai otoritas dan kewenangan menata wilayahnya, yang akhirnya harus disepakati dan ditaati semua rakyat. Contoh, pembuatan halun-halun (alun-alun) di depan bangunan kerajaan itu tidak lain merupakan ruang terbuka.
Ketika raja masih berkuasa. ruang itu digunakan sebagai tempat upacara adat atau untuk berinteraksi antara raja dan rakyatnya. Hal itu ditaati, bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Tidak seorang pun berani melanggarnya, misalnya memanfaatkan ruang alun-alun itu diubah menjadi area pertokoan atau mal dan seterusnya.
Kemudian tata ruang itu merupakan wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri merupakan susunan pusat-pusat permukiman serta sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Dengan demikian, zona-zona itu dibentuk atas dasar kondisi bentang alam yang tersedia, dan dimanfaatkan sesuai perencanaan kegunaan yang mengacu kepada spesifikasi dan karakteristik tanahnya.
Hutan lindung, misalnya, mestinya benar-benar menjadi wilayah konservasi yang harus dipertahankan. Alih fungsi kini menjadi tren wilayah di setiap wilayah/perkotaan. Dengan dalih meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), pemanfaatan ruang wilayah di masing-masing kota sangat maksimal.
Banyak contoh kasus alih fungsi lahan justru melibatkan para penentu kebijakan. Hal ini bisa dilihat dari konspirasi antara oknum angota DPR dan pejabat daerah untuk meloloskan alih fungsi lahan, dari lahan hutan lindung menjadi hutan produktif di Bangka Belitung.
Kita terperanjat mendengar berita diatas, karena untuk meloloskan alih fungsi lahan sampai melibatkan pejabat negara di tingkat pusat. Padahal UU Tata Ruang merupakan produk hukum yang dibuat DPR dan pemerintah (pusat).
Sanksi
Saya sering mengikuti diskusi atau seminar tentang tata ruang, dengan aneka narasumber mulai dari para pakar, akademisi, praktisi, hinggabirokrat. Dan pada kesempatan itu sering saya lontarkan pertanyaan tentang banyaknya aktivitas alih fungsi lahan yang berlebihan di berbagai wilayah.
Namun jawabannya selalu membingungkan, yang berkesan tidak ada kepastian. Ada yang menjawab pemerintah tidak mempunyai tools dalam pelaksanaan pengawasan dan penindakan para pelanggar tata ruang. Ada pula yang menjawab kita tidak perlu mencari kambing hitam: siapa yang salah dalam aktivitas tersebut.
Mengapa sampai muncul jawaban seperti itu ? Karena aktivitas alih fungsi lahan itu akhirnya dapat melibatkan seluruh stakeholders. Sebagai contoh, produk penataan ruang itu berawal dari pemikiran dan penelitian para pakar melalui konsultan perencana, kemudian antara Pemerintah dan DPR yang akhirnya disepakati menjadi UU.
Dalam pelaksanaan di lapangan, keterlibatan masyarakat juga sangat dominan, terutama untuk menjawab persoalan pekerjaan. Blunder ini sudah sering muncul, sehinga perkataan jangan membuat kambing hitam mungkin ada benarnya.
Untuk kepentingan apa pun, karena produk UU itu belum diamandemen, seluruh elemen masyarakat tetap harus mematuhinya. Tentu sanksi berat bagi pelanggar harus dilakukan. Pada pasal 35 disebutkan, pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
Sanksi berlaku bagi siapapun. Kalau perlu, perangkat di bawah UU seperti Perpres harus cepat dibuat untuk menjawab makin meluasnya aktivitas alih fungsi lahan.
Menurut pasal 37 (2), izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 37 (3) menyebutkan, izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum. Ayat selanjutnya, izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar, tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pertanyaannya, siapa yang bisa mengawasi dan menindaknya? Karena justru yang terlibat alih fungsi adalah para penentu kebijakan itu sendiri.
Tidak mungkin pemerintah menindak pemerintah (seperti jeruk makan jeruk !).
Contoh konkret adalah dalam konteks otonomi daerah (otda). Otda memberi kewenangan penuh kepada bupati / wali kota untuk menata ruangnya. Tapi, dalam pelaksanaan, mereka yang mestinya mentaati UU itu malah sering melanggarnya, dengan dalih untuk menjawab perkembangan kota maupun PAD.
Untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU itu, perlu dibentuk lembaga pengawas khusus yang independen, yang kewenangannya mirip dengan KPK.
Sanksi bagi pelaku alih fungsi lahan harus benar-benar diterapkan dan mengikat semua elemen masyarakat dan tak boleh ada unsur keberpihakan.
Sumber : Suara Merdeka