Reklamasi Marina, Mengapa Diributkan?
Oleh: Sudharto P Hadi
REKLAMASI Pantai Marina menjadi berita hangat beberapa hari ini. Bermula dari kekhawatiran banyak pihak bahwa proyek besar itu akan memperburuk rob dan banjir yang telah menjadi langganan warga pantura Semarang, wacana itu terus berkembang. Terutama setelah ditengarai proyek kontroversial itu belum disertai kajian lingkungan.
Tidak kurang para anggota DPRD Kota yang masih gres turut nimbrung. Sebelum mencermati kemungkinan dampak yang muncul dari reklamasi yang sesungguhnya sudah berjalan tersebut, rasanya cukup arif kalau kita menengok berbagai dampak yang muncul dari kegiatan sejenis di seantero pantai utara Semarang dan sekitarnya.
Wilayah pesisir merupakan daerah yang penting tetapi rentan (vulnarable) terhadap gangguan. Pentingnya wilayah pesisir bisa dilihat dari fungsinya sebagai penyangga wilayah daratan, sebagai tempat pemijahan biota air, sebagai penangkal gelombang.
Makna reklamasi dalam arti yang sebenarnya adalah upaya memperbaiki daerah yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sebagaimana disebutkan di atas (Ensiklopedia Nasional Indonesia dalam Pratikto, 2004). Reklamasi, karena itu, merupakan upaya meningkatkan sumber daya alam lahan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan cara pengurangan atau dengan pengeringan lahan. Praktiknya, reklamasi yang banyak dilaksanakan di Indonesia tidak memenuhi kriteria definisi tersebut. Dengan reklamasi justru timbul berbagai dampak sosial dan lingkungan. Mari kita cermati beberapa reklamasi di sepanjang pantura Semarang dan sekitarnya.
Dampaknya
Di Kota Semarang, pengurugan tambak, reklamasi (dalam bentuk penambahan areal daratan) dilakukan pada sekitar tahun 1985 untuk memfasilitasi perumahan mewah, PRPP (Pekan Raya Promosi dan Pembangunan), Taman Mini Jawa Tengah yang disebut Maerokoco, Taman Marina, dan Studio 21.
Di samping itu, dilakukan penyudetan Sungai Tawangmas dan Ronggolawe serta pembelokannya ke Banjirkanal Barat yang hampir 90 derajat. Kegiatan ini menyebabkan banjir di kawasan Tawangaglik Lor, Tawangaglik Kidul, dan Tawangrejosari. Di sisi timur Pantai Marina terlihat daerah terabrasi.
Akibat signifikan reklamasi dan pembelokan ini, hilangnya alur Sungai Tawangmas ke muara yang sebelumnya dipergunakan nelayan sebagai landing place. Kawasan pantai yang telah direklamasi kini dikuasai pihak swasta. Masyarakat yang ingin menikmati ruang publik di sekitar PRPP harus membayar biaya masuk. Menurut catatan seorang anggota DPRD Kota Semarang, lebih dari 60% ruang publik pantai di Kota ATLAS ini dikuasai swasta.
Di wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal, menurut Sutrisno (2000), kerusakan pantai diduga disebabkan oleh salah satu industri yang mereklamasi dan membelokkan sungai. Daerah yang cukup parah mengalaminya adalah Desa Mangunharjo dan sebagian Mangkangwetan. Luas tambak yang rusak 65 hektare dengan jumlah pemilik tambak 38 orang. Terdapat 6 pemilik yang tambaknya hilang (menjadi laut) dan kehilangan mata pencaharian serta pendapatan. Sebagian besar yang lain, karena tambaknya tidak lagi produktif, pendapatannya berkurang secara signifikan.
Abrasi pantai juga terjadi di Desa Kartikajaya, Patebon, Kendal. Menurut catatan Pemkab Kendal (2001), luas wilayah pesisir yang terkena abrasi 1,30 km atau 15 ha. Abrasi diduga di antaranya disebabkan perubahan pola arus yang diakibatkan anjungan/pemecah ombak yang dibangun sebuah industri di sebelah barat desa. Petambak (pemilik dan penggarap) yang hidupnya bergantung pada sumber daya pesisir mengalami kerugian akibat berkurangnya lahan tambak dan penurunan pendapatan akibat menurunnya produksi tambak dan tangkapan yang dipicu oleh abrasi dan pencemaran.
Pantai Marina
Reklamasi yang sedang diributkan terletak di sebelah barat Pantai Marina yang akan menambah areal sekitar PRPP. Pengembang telah menguruknya dan dari kejauhan telah tampak daratan memanjang. Di sisi barat lokasi reklamasi mengalir Sungai Silandak. Terdapat beberapa isu penting yang perlu dicermati.
Pertama, terjadinya alur sungai yang makin panjang sehingga memperlama genangan yang memicu banjir. Yang juga patut dicermati, sisi barat sungai merupakan areal Bandara Ahmad Yani yang baru saja menyandang predikat bandara internasional. Kedua, jika dilihat dari pola dampak yang muncul di tempat lain, kemungkinan terjadinya abrasi karena perubahan pola arus sangat besar.
Ketiga, perubahan ruang pesisir menjadi daratan menyebabkan hilangnya biota laut yang berarti populasi ikan akan berkurang. Jika sepanjang Pantai Marina merupakan daerah penangkapan, itu berarti mengancam gantungan hidup nelayan.
Keempat, daerah yang direklamasi akan berpotensi menjadi daerah privat yang bertentangan dengan kaidah pantai sebagai ruang publik. Kalau areal PRPP dan sekitarnya telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial, tambahan luasan daratan ini diperkirakan akan menambah akumulasi dampak buruk.
Bukan Amdal-amdalan
Berbagai catatan di atas makin menambah keyakinan, reklamasi harus disertai analisis dampak lingkungan (amdal). Dalam Kepmen No 17 Tahun 2001 tentang Proyek-proyek Wajib Amdal ditetapkan, reklamasi dengan luasan lebih dari atau sama dengan 25 ha harus dilengkapi amdal. Melihat begitu signifikan dampak reklamasi, studi amdal harus dilakukan dengan cermat dan sungguh-sungguh, bukan amdal-amdalan. Esensinya, amdal merupakan kajian lingkungan yang dilakukan pada tahap perencanaan, yakni sebelum proyek dimulai.
Amdal memberikan dua kemungkinan hasil. Pertama, proyek yang diamdal dinyatakan tidak layak sebagaimana pada reklamasi di pantai Jakarta. Kedua, reklamasi layak dengan persyaratan dilakukan pengelolaan pada setiap fase kegiatan. Dengan demikian, tidak boleh kegiatan mendahului kajian sebagaimana yang kita saksikan pada reklamasi di Pantai Marina saat ini.
Sumber : Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar