Kamis, 23 Oktober 2008

Membangun Perguruan Tinggi Kompetitif

Oleh Sudharto P Hadi

PENDIDIKAN tinggi dicirikan oleh kompetisi. Untuk mendapatkan kesempatan belajar di pendidikan tinggi (PT) yang bermutu, para siswa harus bersaing dengan puluhan ribu calon lain. Proses pembelajaran pun dicirikan oleh kompetisi, artinya mereka yang benar-benar cerdas dan disiplin yang akan mendapatkan predikat terbaik.

Ketika mereka lulus dan akan mengaktualisasikan pengetahuan yang didapat dalam lapangan kerja harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan pencari kerja lain. Sampai di sini tugas PT harus mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas yang bukan hanya ahli dan terampil, tetapi juga memiliki wawasan dan sikap sehingga mampu bersaing dan unggul di pasar kerja.


Isu tentang kualitas dan relevansi tersebut menjadi persoalan utama PT di Indonesia. Akar persoalannya sangat beraneka ragam mulai dari terbatasnya dana, sarana dan prasarana sampai pada masih rendahnya budaya akademik.

Sumber persoalan tersebut menjadi pemicu posisi perguruan tinggi kita yang tertinggal dibanding perguruan tinggi lain di Asia tahun 2000. Empat PT yaitu UI, UGM, Undip dan Unair masih masuk jajaran 100 PT terbaik di Asia menurut majalah Asia Week. Tetapi menurut pemeringkatan Shanghai Jiao Tong University Institute of Higher Education tahun 2003 tidak satu pun PT di Indonesia yang masuk dalam jajaran terbaik di Asia.

Masih menyejukkan UGM dikategorikan oleh majalah Times tahun 2005 sebagai PT terbaik urutan ke - 56 di bidang humaniora. Sedangkan ITB masuk dalam daftar 100 PT unggulan di Asia versi Webometrics dilihat dari informasi ilmiah yang menjadi rujukan.

Perlu Otonomi?

Dalam kondisi yang memprihatinkan, untuk mengejar ketertinggalan dalam kualitas dan juga karena keterbatasan dana Pemerintah, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) didorong untuk menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara).

BHMN sebenarnya merupakan pemberian kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri yang dituangkan dalam bentuk status hukum kepada PTN-PTN tertentu yang bersifat publik maupun perdata. Organisasi BHMN dijalankan oleh manajemen yang profesional dan berjiwa wirausaha yang kuat, karena PT BHMN hakikatnya menjalankan usaha dalam bidang pendidikan meskipun diperhalus dengan sebutan kegiatan usaha nirlaba.

Otonomi dalam status BHMN intinya meliputi bidang akademik, keuangan dan kepegawaian. Di bidang akademik PT BHMN diberikan keleluasaan untuk mengelola input (penerimaan mahasiswa, dosen, karyawan, kurikulum, sarana prasarana, sistem informasi) - proses (proses belajar mengajar, praktek, magang) - output (lulusan, hasil iptek) secara profesional dan mandiri.

Di bidang keuangan, PT BHMN dituntut untuk mampu menggali dana-dana dalam rangka membiayai kegiatan akademik menuju kualitas yang baik. Di bidang kepegawaian mulai diterapkan merit system atau mereka yang berprestasi dan kinerjanya baik yang akan memperoleh imbalan lebih tinggi bukan seperti PGPS (Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil) yang sering diplesetkan menjadi Pintar Bodoh Pembayaran Sama.

Trisula BHMN itu memang masuk akal. Untuk meningkatkan kualitas keluaran (lulusan dan ipteks) diperlukan kerja keras dari jajaran pengelola, dosen dan karyawan.

Cucuran keringat itu harus diimbangi dengan imbalan yang memadai. Untuk itu Pimpinan Universitas dan para pengelola setiap unit akademik terus memutar otak mencari sumber-sumber pendanaan agar bisa mencukupi kebutuhan kegiatan proses belajar - mengajar, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Mahasiswa

Berkaca dari Perguruan Tinggi (PT) yang sudah lebih dulu menyandang predikat BHMN seperti UI, ITB, IPB dan UGM ternyata mereka memulai mengeduk dana dari sumber yang paling gampang lebih dahulu yakni mahasiswa. Tidaklah mengherankan jika BHMN lalu diindentikkan dengan kenaikan SPP.

UGM misalnya bukan hanya memungut SPP kepada para mahasiswanya, tetapi juga Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang dihitung berdasarkan pada jumlah SKS (satuan kredit semester) yang diambil dengan perincian bahwa untuk mahasiswa jurusan eksak dikenakan Rp 75.000/ sks dan Rp 60.000,-/sks untuk mahasiswa ilmu-imu sosial.

Di ITB dikenal dengan istilah mahasiswa angkatan 45 artinya adalah mereka masuk melalui jalur yang harus memberikan sumbangan sebesar Rp 45 juta.

Di samping sumber mahasiswa, untuk mengisi pundi-pundi pemasukan PT-PT BHMN tersebut mulai membuka berbagai usaha yang tidak selalu terkait dengan urusan akademik misalnya mall, travel biro, toko.

Tahun-tahun pertama dan kedua, sepak terjang PT- PT BHMN memunculkan kontroversi bahkan penolakan bukan saja dari mahasiswa yang tidak setuju dengan kenaikan SPP tetapi juga dari kalangan dosen sendiri yang merasa terusik dengan usaha-usaha yang tidak terkait dengan pendidikan. Sebagian dosen-dosen di salah satu PT BHMN juga mulai resah. Sejak PT mereka berlabel BHMN, curahan kerja lebih keras namun imbalan yang diterima dirasakan belum sepadan.

Unit-unit dipacu untuk menjadi profit centre, tetapi profit itu harus disetor ke tingkat universitas/institut, tetapi tetesan ke bawahnya dirasakan masih seret.

Mencari sumber dana memang layak harus dilakukan karena angka ideal untuk membiayai pendidikan mahasiswa eksak berkisar Rp 18 juta/ mahasiswa per tahun, sedangkan untuk mahasiswa ilmu-ilmu sosial berkisar Rp 15 juta/ mahasiswa per tahun. Sementara itu kontribusi mahasiswa melalui SPP hanya sekitar 20%- 25%. Memang masih ada subsidi dari pemeritnah, tetapi masih belum mencukupi angka ideal di atas.

Persoalannya sekarang bagaimana kiprah BHMN itu agar tidak membebani mahasiswa, tetapi mampu membuat dosen dan karyawan merasa nyaman dan dihargai dalam melaksanakan amanat tri dharma Perguruan Tinggi.

Memulai yang Ada

PT-PT yang telah berkiprah dengan predikat BHMN memang menunjukkan kemampuannya dalam menggali dana masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kepiawaian itu dibarengi dengan peningkatan kualitas?

Pertanyaan itu layak diajukan karena persoalan mendasarnya adalah rendahnya kualitas dan relevansi. Berkaca dari sepak terjang PT-PT BHMN, agaknya lebih pas kalau garis start nya dimulai dengan peningkatan mutu.

Bicara mutu sesungguhnya inheren dengan kegiatan keseharian yang dilaksanakan oleh setiap unit akademik. Misalnya syarat kehadiran 75% bagi mahasiswa untuk bisa mengikuti ujian akhir semester, perlunya setiap mata kuliah dilengkapi dengan GBPP (Garis-garis Besar Pokok Pengajaran), SAP (Satuan Acara Perkuliahan), kontrak perkuliahan, buku ajar, kurikulum disusun berdasarkan basis kompetisi dan sebagainya.

Ketentuan-ketentuan tersebut kemudian disistematisasikan dalam bentuk standar mutu dengan memasukkan komponen mutu lain mulai dari input-proses dan output. Kaidah mutu itu cukup sederhana yakni kerjakan apa yang ditulis dan tulis yang dikerjakan. Artinya adalah bahwa penentuan standar itu perlu disesuaikan dengan kondisi di masing-masing unit.

Namun demikian prinsip perbaikan berkelanjutan harus dipegang karena setiap siklus evaluasi perlu membandingkan posisi dengan PT lain. Hal ini sebagai pemacu untuk meraih reputasi terhormat baik dalam skala nasional maupun internasional.

Jika kultur mutu telah merasuk dalam sanubari para pengelola, dosen dan karyawan maka secara simultan harus digelindingkan dua trisula lain yakni keuangan dan kepegawaian. Merevitalisasi dan mendayagunakan unit-unit untuk mampu menghasilkan dana (profit centre) harus diagendakan. Dana ini dikelola dengan transparan dan akuntabel untuk membiayai upaya peningkatan kualitas dan imbalan bagi dosen dan karyawan yang bekerja lebih giat.

Memang tidak semua unit bisa dipaksakan untuk menjadi profit centre tetapi keberadaannya dibutuhkan. Di sinilah perlunya pengelolaan dengan prinsip subsidi silang. Kita memang musti bergerak ke sana, namun dengan sikap waspada agar jatidiri PT sebagai lembaga pendidikan yang merakyat tidak pernah luntur.

Sumber : Suara Merdeka

0 komentar:

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008