Pendidikan Kita, Konsep dan Realitas
Oleh : Prof. Ir. Eko Budihardjo, M. Sc (Rektor Universitas Diponegoro, Semarang/1998-2007)
BERBICARA tentang pendidikan kita di tanah air tercinta, serupa saja dengan mengupas bawang. Semakin dikupas, semakin deras air mata yang menetes. Tatkala mewakili para rektor berbicara di depan Komisi IX DPR, saya sampaikan bahwa guru dan dosen termasuk kategori profesional yang dizalimi pemerintah.
Guru dan dosen, bahkan sampai ke jenjang jabatan tertinggi sebagai professor, guru besar, atau mahaguru, tidak bisa hidup layak hanya dari gaji yang diperolehnya. Padahal kalau memang pemerintah mengakui keberadaan guru dan dosen sebagai tenaga profesional, yang berarti bukan amatir, mestinya kan sembada memberikan imbalan atau gaji yang layak untuk bisa hidup secara bermartabat.
Kita amat prihatin mendengar imbalan buat guru bantu di berbagai daerah yang tidak lebih dari Rp 460.000 per bu-lan, yang berarti lebih rendah dari upah minimum regional.
Gaji serendah itu pun beberapa waktu yang silam pembayarannya sempat terlambat enam bulan, sampai-sampai harus meminta dana talangan dari pemerintah provinsi.
Waktu jadi panelis acara Debat Calon Presiden, saya sempat menyoal Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang gaji profesor yang cuma sekitar Rp 2.500.000. Bandingkan dengan gaji direktur pertamina yang mencapai Rp150 juta per bulan. Berarti satu bulan gaji seorang direktur pertamina sama dengan gaji seorang guru besar selama 5 tahun.
Saya ingat, Pak SBY saat itu hanya menjawab bahwa bilamana beliau menjadi seorang presiden, bertekad akan memperbaiki nasib guru dan dosen secara bertahap.
Aneka konsep gagasan, ide, pokok-pokok pikiran tentang peningkatan kualitas pendidikan sudah sering dilontarkan. Ada kurikulum berbasis kompetensi, ada manajemen berbasis sekolah, ada problem based learning, quantum learning, dan lain sebagainya.
Prof. Dr. Bambang Sudibyo selaku Menteri Pendidikan Nasional pun belum lama ini dengan berapi-api menyampaikan konsepnya tentang peningkatan kualitas pendidikan dan sumberdaya manusia (SDM) di depan para rektor PTN seluruh Indonesia. Saya nekat menyampaikan unek-unek saya bahwa konsep yang andal tentang perbaikan sistem dan peningkatan SDM (sinten, Jw) tidak akan berjalan dengan baik bila imbalannya (pinten, Jw) tidak memadai.
Segitiga sistem-sinten-pinten mesti dikembangkan bersama-sama. Salah sa-tu rusuk saja dari segitiga itu tidak ada, ya punten saja, tidak ada gunanya bicara berbusa-busa tentang peningkatan kualitas pendidikan, karena tak akan bisa direalisasikan.
Melanggar UU
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah jelas-jelas secara amat eksplisit ditetapkan bahwa minimal 20% dari dana APBN dan APBD (Provinsi maupun Kabupaten) mesti disisihkan untuk pendidikan.
Memang, beberapa waktu terakhir ini, dari tahun ke tahun telah terjadi pe-ningkatan anggaran nasional untuk pendidikan, mulai dari 4%, 6% sampai de-ngan sekitar 8% tahun ini. Tetapi kan masih amat jauh dari ketentuan 20%.
Di daerah sudah jauh lebih baik karena menurut kabar dari media masa di Jawa Tengah persentase dana untuk pendidikan dari APBD sudah mencapai 15%. Biarpun masih belum mencapai target 20%.
Dari angka-angka tersebut terlihat jelas, pemerintah telah melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri. Padahal di negara jiran terdekat kita, Malaysia, anggaran untuk pendidikan dari APBN mereka sudah mencapai 26%.
Bila alasan pemerintah adalah masih terbatasnya dana pemerintah, kenapa bisa ada tambahan tunjangan 10 juta rupiah per bulan bagi para wakil rakyat? Kenapa anggaran untuk Presiden dan Wakil Presiden bisa meningkat secara signifikan? Kenapa dana untuk studi banding dari pa-ra wakil rakyat bisa beberapa kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya?
Kalau di zaman Orde Lama dulu hampir setiap kampus ada perumahan dosennya (kawasan perumahan Bulaksumur di UGM, kawasan perumahan Erlangga di Undip), sekarang ini tak ada lagi pembangunan perumahan dosen. Waktu masih kuliah di UGM Yogyakarta tahun 1960-an, sudah ada asrama mahasiswa Dharmaputera dan Realino. Sekarang, tak ada lagi pembangunan asrama mahasiswa baru. Ironisnya, mulai tahun 2005 ini malah daerah-daerah saling berlomba memasukkan dalam APBD dana perumahan bagi para wakil rakyat yang notabene masa baktinya hanya 5 tahun setiap periodenya. Ada yang memperoleh 4 juta per bulan, lebih besar dari gaji seorang guru besar.
Memang agak risi juga mengungkap tentang gaji, upah, imbalan, honorarium, tunjangan. Tetapi kalau sudah keterlaluan, apa boleh buat, mesti disampaikan realita apa adanya.
Baru-baru ini saya mendapat surat dari seorang guru besar tersohor dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Isinya menanyakan tentang kebijakan Undip bagi para dosen yang akan membeli rumah dinas yang ditempatinya. Soalnya beliau berniat mengangsur pembelian rumah dinasnya, tetapi ternyata uang angsuran bulanan yang ditetapkan oleh lembaga untuk dibayar, jauh lebih besar daripada uang pensiun yang diterimanya setiap bulan.
Bayangkan, seorang profesor ternama dari suatu PTN besar, sampai akhir hayatnya tidak bisa memiliki rumah sendiri. Sungguh tragis dan menyakitkan.
Macan Kertas
Undang-undang tentang Guru dan Dosen sudah disahkan. Saya masuk dalam Tim Kecil mewakili para rektor se - Indonesia, bersama Rektor ITB Prof. Dr. Djoko Santoso dan Rektor Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Haris Supratno.
Beberapa kali kami kumpul mengusulkan penyempurnaan dan kemudian paparan di depan Panitia Kerja (Panja) Penyusunan RUU tersebut khususnya dari Komisi X DPR.
Perdebatan berlangsung hangat, malah kadang-kadang panas, tapi lantas bisa diinginkan kembali, antara lain dengan puisi.Saya sempat baca puisi di depan tokoh-tokoh wakil rakyat itu sebagai berikut:
Tanganku gemetar / badanku bergetar / hatiku berdebar / sukmaku mendamba Undang-Undang Guru dan Dosen / yang mampu membuat para pahlawan tanda jasa itu tersenyum dan ketawa lebar.
Kami mencermati bahwa draft RUU Guru dan Dosen versi terakhir yang kami terima masih jauh dari sempurna. Seperti komentar Prof. Satjipto dan Prof. Nyoman, selain tidak tercantumnya asas yang mestinya justru menjadi roh RUU, juga banyak pasar karet yang multitafsir, dan ketentuan dalam ayat-ayat yang tidak mungkin bisa dilaksanakan.
Kalau orang Barat bilang ibarat the barking dogs that never bite, alias anjing yang gonggongannya saja yang keras, tapi tidak pernah menggigit. Kalau kita bilang ibarat macan kertas.
Lantas apa gunanya UU Guru dan Dosen terburu-buru disahkan, bila dalam realitasnya jelas-jelas takkan bisa dilaksanakan. Misalnya tentang guru dan dosen serta anak-anaknya yang dibebaskan dari biaya pendidikan.
Memang ideal, namun tipis kemungkinannya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Kita akan mengulangi lagi kesalahan penyusunan UU tentang Sisdiknas yang hanya bagus di kertas tetapi tidak mengejawantah. Pemerintah pusat, pemerintah daerah dan dunia usaha atau kalangan industriwan mesti bahu-membahu, tanggung renteng, bersama-sama masyarakat bertekad memperbaiki nasib guru dan dosen, meningkatkan kadar profesionalisme mereka, sembari memperbaiki sistem, sarana dan prasarananya dengan lebih bersungguh-sungguh.
Memang awalnya berat dan pahit, tapi pada akhirnya nanti akan amat menentukan nasib bangsa agar bisa segera keluar dari krisis berkepanjangan. Orang Barat mengatakan The roots of education are bitter, but the fruits are sweet.
Marilah kita renung dan resapi petuah HG Wells bahwa masa depan suatu bangsa adalah perlombaan antara pendidikan dan bencana. Kita tak boleh sekadar tarik-ulur tentang peraturan dan perundang-undangan semata, melainkan juga mesti menyiapkan strategi yang manjur untuk betul-betul mengangkat harkat dan martabat guru maupun dosen. Semoga semua pihak sadar.(11)
Sumber : Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar