Alkisah pada 1976, Prof Eko mendapat beasiswa ke Inggris. Karena cukup lama, ia mengajak serta istri dan anaknya. Untuk itu Prof Eko harus mendapatkan dana tambahan. Cara yang paling gampang adalah dengan menjual mobil serta mengontrakkan rumah miliknya di Jalan Erlangga.
Saat studinya berakhir, Prof Eko sekeluarga kembali ke Indonesia. Namun masa kontrak rumah itu belum berakhir. Jadilah mereka keluarga yang tak punya tempat tinggal. Atas saran seorang kawan, ia memberanikan diri menemui rektor Undip yang saat itu dijabat Prof Soedarto SH.
Prof Eko memohon izin menempati penginapan milik Undip yang biasa dipakai untuk tamu-tamu dari luar negeri. ”Kepada Prof Darto saya bilang, saya ini kan juga baru datang dari luar negeri. Eh, alasan ngawur-ngawuran itu diterima. Mungkin beliau kasihan kepada saya, ha ha ha.”
Kisah MengesankanSoal rumah hanya bagian kecil dari romantika perjalanan karier Prof Eko. Di luar itu, masih banyak berserak kisah-kisah yang mengesankan. Salah satunya adalah pelantikan dirinya sebagai rektor Undip, menggantikan Prof Dr Muladi SH di tengah suasana chaos reformasi 1998. Mengesankan, karena selain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Ir Wiranto Arismunandar, Prof Eko juga dilantik oleh mahasiswa.
Ceritanya, mahasiswa Undip menolak mengakui Prof Eko sebagai rektor jika pelantikan dilakukan di Jakarta. Mereka menginginkan pelantikan di Semarang dengan disaksikan para mahasiswa. Namun karena alasan keamanan, pelantikan itu akhirnya tetap dilaksanakan di Jakarta pada 19 Mei.
Mengetahui itu, mahasiswa merasa kecewa. Mereka melalui lembaga Senat Mahasiswa akhirnya berinisiatif membuat upacara pelantikan sendiri. Acara itu terlaksana pada 23 Mei, ketika berlangsung serah-terima jabatan, dari Prof Muladi kepada Prof Eko.
Kisah mengesankan juga terkait dengan puncak pencapaian. Dari sekian banyak prestasi yang diraih, Prof Eko paling bangga dengan pencapaian Undip sebagai satu dari tiga universitas di Indonesia yang masuk dalam the best university in the world versi Times Higher Education pada 2006. Peringkat Undip berada di bawah UI dan UGM.
”Menjadi nomor tiga itu luar biasa. Kalau UI dan UGM menempati peringkat atas itu wajar. UI yang berada di Jakarta dekat dengan Presiden. UGM di Yogyakarta dekat dengan kerajaan. Lha Undip, dekatnya cuma sama rakyat.”
Kesuksesan Undip, kata Prof Eko, diraih tidak dengan cara gampang. Selain pembenahan internal, Undip juga gencar melakukan kerja sama dengan pihak luar melalui program go international. Pada 2005 Prof Eko mengajak delapan dekan melakukan kunjungan ke tujuh Universitas di Amerika Serikat. Masih di tahun yang sama, Undip melakukan kerja sama program double degree dengan lima universitas di Perancis.
Masih sebagai rektor, Prof Eko pernah mencanangkan Undip sebagai universitas riset. Oleh Prof Dr dokter Soesilo Wibowo SMed SPAnd, penggantinya, gagasan itu diperkuat dengan memasang target pencapaian pada 2020. Dalam pemikirannya, kemajuan ilmu pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui penelitian.
”Dalam statuta saat itu, Undip hanya disebut sebagai educational university. Ini sesuatu yang menghambat. Educational university itu sekadar preservation of science atau pengawetan ilmu pengetahuan. Ya udah ilmunya cuma itu-itu saja. Beda dengan research university. Di sana ada pengembangan ilmu. Dosen-dosen dituntut melakukan penelitian.”
Puncak pencapaian lain adalah penghargaan Kalpataru pada 1998. Penghargaan itu diberikan, karena sebagai akademisi dinilai mampu melakukan upaya pelestarian lingkungan. Saat Taman KB hendak didirikan bangunan, misalnya, Prof Eko berdiri di barisan mereka yang gigih melakukan penolakan.
Merasa GagalDi ranah domestik, Prof Eko sukses menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga. Ia menjadi pengayom sekaligus teladan bagi istri, anak, serta cucunya. Sebagai akademisi, lelaki berzodiak Gemini itu senantiasa menanamkan pentingnya pendidikan. Itulah mengapa seluruh anggota keluarga Prof Eko berpendidikan pascasarjana dan sukses di bidangnya masing-masing. Istrinya Ir Sudanti Hardjohoebojo MSL pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Permukiman dan Tata Ruang (Kimtaru) Jateng. Dr Holy Ametati Sp KK, anak pertama, bekerja di RS Permata Medika. Anak kedua, Aretha Aprilia ST MSc saat ini mengikuti pendidikan di United Nations Environmental Program di Bangkok. Demikian dengan kedua menantu. Dr Firdaus Wahyudi MKes (suami Holy Ametati) menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Undip. Sedangkan Dr Nuki Agya Utama MSc (suami Aretha) tengah mengikuti program post doctoral di Kyoto University, Jepang.
Di luar kisah sukses, Prof Eko juga pernah merasa gagal. Itulah kegagalan mewujudkan obsesi membangun auditorium baru sebagai pengganti auditorium Undip Pleburan. Menurut Prof Eko, keberadaan auditorium yang rencananya dibangun di sebelah Gedung Serbaguna (GSG) Tembalang itu itu penting. Kalau terwujud, ia bisa menampung 5.000 wisudawan sekaligus.
”Sejauh ini Undip belum memiliki gedung yang representatif untuk wisuda mahasiswa. Akibatnya wisuda harus dilakukan sendiri-sendiri,” ujar kakek dari Jasmine Alvita Firdaus (9) dan Akhtar Avatara (3) itu.
Kegagalan lain? Urung menduduki kursi calon Gubernur Jateng pada Pilkada 2008. Meski demikian Prof Eko tak pernah menganggap itu sebagai kegagalan. Sebaliknya, ia merasa beroleh pengalaman luar biasa. Prof Eko yang dengan niat baik maju dalam pilkada terhalang oleh persyaratan dana.
”Saat menjalani fit and proper test di Jakarta, pertanyaan pertama yang dilontarkan adalah soal kesiapan dana kampanye. Saya yang sedari awal berkomitmen untuk tak bermain politik uang, langsung gugur. Itulah kenapa saya merasa itu bukan suatu kegagalan.”
Kini, meski tak lagi memimpin Undip, Prof Eko mengaku tetap menambatkan hatinya di perguruan tinggi itu, ingin menyaksikan Undip menjadi universitas yang lebih disegani di kancah internasional. Prof Eko pun menitip pesan kepada seluruh civitas akademika Undip untuk menajamkan unsur dalam Tri Dharma, terutama bidang penelitian dan pengabdian.
”Penelitian dosen dan mahasiswa perlu ditingkatkan. Syukur-syukur hasilnya diterbitkan di jurnal internasional. Mengenai pengabdian, semestinya cendekiawan di kampus ikut memikirkan masalah bangsa dan negara. Jangan memakai kaca mata kuda,” tandasnya.
Sumber :
Suara Merdeka