Di antara Ruang, Memori, dan Arsitektur
Saptono Istiawan
"Penny Lane is in my ears and in my eyes.
There beneath the blue suburban skies..."
(Penny Lane bersemayam dalam ingatan pendengaranku dan kenangan penglihatanku. Nun di sana, dalam naungan birunya langit pinggiran kota).
Penny Lane adalah nama sebuah jalan di pinggiran kota Liverpool di Britania Raya, yang di sepanjang kedua sisinya berdiri toko-toko mirip Jalan Sabang di Jakarta Pusat atau Jalan Braga di Bandung, Jalan KH Agus Salim di Semarang atau jalan Somba Opu di Makassar. Amat mudah bagi yang sering mengunjungi tempat semacam itu untuk mendapatkan kenangan yang amat kaya dengan warna-warna kehidupan. Persis seperti yang digambarkan dalam lagu Penny Lane. "Ada tukang cukur dengan pelanggan setianya, bankir pasar, bahkan gambaran kehidupan sehari-hari awak pemadam kebakaran setempat".
Paul McCartney dari the Beatles menyanyikan lagu tentang salah satu tempat kenangan masa kecil di kota kelahirannya dengan indah, tetapi tentunya diwarnai nada sendu yang menyatakan kerinduan dan sedikit kebanggaan.
Lagu yang menjadi hit dunia pada tahun 1967 ini hanya salah satu contoh dari banyak lagu yang memuja-muja suatu tempat dalam kenangan perjalanan hidup seseorang. Betapa suatu tempat tertentu lebih dari sekadar pantas untuk dikenang sepanjang hidup dari setiap generasi yang pernah menjadi pengunjung tetapnya.
Di manakah Anda menghabiskan waktu luang Anda di masa kecil? Di masa remaja? Suatu tempat di mana Anda merasa handarbeni (belonging)? Suatu tempat yang sedikit demi sedikit, tetapi secara permanen mengukir ruang dalam memori jangka panjang Anda. Kemudian ruang memori itu dalam benak Anda seolah-olah menjadi semacam kanvas lukisan di mana semua kenangan indah dalam hidup Anda dilukiskan hampir seperti nyata.
Tentu saja tempat tersebut juga menjadi tempat kenangan bagi ratusan ribu atau jutaan warga lainnya. Kenangan yang akan diteruskan dari generasi ke generasi. Mungkin saja kenangan muncul tanpa acuan waktu, tetapi tidaklah mungkin kenangan muncul dalam tempat kosong sama sekali.
Masih ingatkah Anda gedung Harmonie yang berdiri di tempat yang sekarang kantor Sekretariat Negara? Tentu banyak di antara Anda masih ingat, tetapi dengan segala penyesalan dan rasa kehilangan. Yang tinggal hanya nama tempatnya. Untunglah masih tersisa banyak bangunan bernilai sejarah yang berserakan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar, di Indonesia.
Jangan lengah! Bangunan bersejarah umumnya menempati posisi strategis di tengah kota. Dan, kestrategisan itu punya potensi ekonomi yang mengundang perhitungan-perhitungan ekonomi kelas berat dari para investor properti dan penguasa kota. Sayang sekali perhitungan-perhitungan mereka biasanya tidak memasukkan nilai-nilai yang tak teraba (intangible values) dan juga biaya-biaya yang tersembunyi kalau perhitungannya membenarkan perobohan bangunan bersejarah demi lokasinya. Lihat saja, misalnya, bangunan Hotel Des Indes di Jalan Gajah Mada, sebuah hotel yang tentunya pernah menyimpan banyak cerita kehidupan kelas tertentu di Batavia abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang sekarang disulap menjadi pusat pertokoan Duta Merlin.
Semua itu belum terhitung gedung tempat dibacakannya teks Proklamasi. Walaupun sekarang digantikan oleh bangunan patriotik (Gedung Pola dan Monumen Proklamasi), tetapi berapa banyak catatan dan kenangan sejarah berdirinya Republik Indonesia ini ikut terbabat bersamaan dengan robohnya gedung rumah tinggal di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 itu?
Di kota Semarang sekarang ini ada sebuah bangunan yang bersejarah dan sarat kenangan yang terancam digusur. Ratusan arsitek, arkeolog, budayawan Indonesia yang menganggap bangunan Pasar Johar tersebut sarat nilai berusaha mencegah niat Wali Kota Semarang Sutawi Sukarip merobohkan bangunan yang sebenarnya dilindungi UU Cagar Budaya.
Profesor Eko Budihardjo MSc, arsitek perencana kota dan budayawan Universitas Diponegoro bahkan mengatakan, kehilangan bangunan bersejarah bagi suatu kota ibarat kehilangan ingatan bagi seseorang. Ia mengacu kepada banyaknya bangunan bernilai sejarah yang terancam di kota Semarang.
Sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan perkembangan suatu kota, baik itu wali kota, investor properti, perencana lingkungan, maupun arsitek mempertimbangkan nilai-nilai yang tak teraba, tetapi tak tergantikan dalam mengembangkan suatu kota. Masa lalu dari suatu tempat sama pentingnya dengan masa kini dan masa depan. Ibarat akar yang tak tampak, yang memiliki nilai sama dengan batang, daun, dan buah bagi suatu pohon.
Sumber : Kompas
Saptono Istiawan, Arsitek
0 komentar:
Posting Komentar