Mengurai Kemelut Pabrik Semen
Oleh Sudharto P Hadi
Mereka yang terkena dampak buruk tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup oleh sebagian besar masyarakat.
PERISTIWA penyanderaan 13 anggota Tim Proyek PT Semen Gresik (PT SG) oleh warga Kedungmulyo, 21 Januari lalu tampaknya merupakan ekspresi konflik yang paling panas yang pernah terjadi selama ini. Percikan-percikan konflik vertikal dan horizontal terus muncul ke permukaan sejak rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati itu digulirkan.
Dalam penyanderaan tersebut, masing-masing pihak memiliki argumen sendiri. PT SG berpegangan kepada keputusan kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang telah ditandatangani 31 Desember 2008. Warga masyarakat pun berpatokan kepada pernyataan gubernur pada pertemuan di Kantor Kesbanglimas yang akan menerjukan tim independen ke lapangan. Mengapa konflik terus beruntun dan masyarakat gampang tersulut?
Sarat Konflik
Sebagaimana saya tulis di harian ini 8 November 2008, bahwa rencana pendirian pabrik semen di wilayah Sukolilo, Pati, memicu timbulnya konflik, bukan hanya antara kelompok masyarakat dengan pemprakarsa proyek dan pemerintah, melainkan di antara kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada tiga sumber konflik. Pertama kekhawatiran masyarakat akan dampak lingkungan yang mengancam perikehidupan mereka.
Kedua, telah terjadi alih pemilikan lahan sebelum proyek dimulai. Ketiga, kecenderungan keberpihakan pemerintah kepada investor yang didasari pertimbangan ekonomi. Mari kita urai ketiga sumber konflik tersebut. Di antara isu lingkungan yang paling krusial adalah kemungkinan hilangnya sumber air.
Daerah penambangan berada di Desa Kedumulyo, Gadudero, Baturejo, Sukolilo, Sumbersoka, Tompegunung, dan Gendongan. Calon lokasi itu merupakan kawasan karst yang menyimpan mata air yang mengalir serta memberi kehidupan bagi warga sekitar, baik sebagai air baku maupun air irigasi.
Menurut catatan Sedulur Sikep, di pegunungan tersebut terdapat 72 mata air. PT SG menyatakan bahwa kegiatan pabrik semen tidak akan merusak mata air, karena akan dipilih ruas yang tidak mengandung mata air.
Dengan kata lain, lokasi yang dipilih di daerah karst kelas dua dan tiga. Hal itu pula yang dinyatakan oleh Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Tengah, bahwa yang terkena dampak hanya enam mata air nonpermanen. Yang perlu dicermati adalah apakah pengeprasan perbukitan karst tidak menimbulkan pengaruh sebagai sebuah ekosistem.
Mensinergikan Kepentingan
Berkaitan dengan alih fungsi lahan, sekitar 90% dari 400 hektare (dengan revisi amdal 270 hektare) lahan milik penduduk yang merupakan calon lahan penambangan telah beralih pemilik. Pemilik baru, bukanlah PT SG, melainkan pemodal dari luar yang membeli lahan melalui penduduk lokal karena mendengar adanya pendirian pabrik semen.
Sejak saat itu intrik-intrik antarkelompok masyarakat terus menyebar. Sekitar Mei, banyak spanduk-spanduk terpampang di berbagai sudut desa calon lokasi dan jalan-jalan utama yang bernada mendukung kehadiran pabrik semen. Bahkan ada spanuk di jalan utama yang berbunyi: ’’Kami bosan merantau dan akan kembali membangun Sukolilo bersama pabrik semen’’.
Bisa ditebak bahwa pemasang spanduk adalah mereka yang merasa diuntungkan jika pabrik semen didirikan. Di balik itu terdapat kelompok masyarakat yang berseberangan.
Pemilik tanah yang telah melepaskan haknya tentu merasa dirugikan jika pabrik didirikan, karena mereka telah telanjur menjualnya dengan harga yang murah. Di samping itu, banyak juga pemilik sawah yang enggan melepaskan tanahnya, karena begitu tanah dijual dan memperoleh uang, mereka tidak memiliki gantungan hidup lagi. Membeli sawah di tempat lain tidak semudah yang dibayangkan.
Selama ini kedua kelompok masyarakat itu seolah tenggelam oleh gemuruh mereka yang setuju melalui spanduk dan pernyataan para pejabat mulai dari tingkat desa, kecamatan, sampai kabupaten.
Sedulur Sikep dengan lugas dan berani menyuarakan keprihatinan mereka melalui berbagai media. Pihak pemprakarsa menyatakan bahwa tidak ada lahan milik Sedulur Sikep yang dibebaskan untuk proyek.
Namun demikian, dalam pandangan Sedulur Sikep, dampak lingkungan dan sosial tidak hanya terjadi karena pembebasan lahan. Jika penyusutan air terjadi, maka akan mengancam mata pencaharian dan budaya bertani yang telah turun-munurun mereka tekuni. Tidak mengherankan, ketika menurut mereka gubernur akan menerjunkan tim independen ke lapangan, merupakan sinyal harapan.
Sikap pemerintah yang selama ini cenderung menyetujui kehadiran pabrik semen, ketika studi kelayakan masih dalam proses, juga memicu eskalasi konflik. Berkali-kali di media massa kita baca pernyataan para petinggi bahwa pabrik semen akan memberikan manfaat kepada masyarakat yang lebih besar dalam bentuk kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Dikatakan pula bahwa mereka yang tidak setuju jumlahnya hanya kecil dan tidak mengetahui tentang kajian ilmiah. Pertimbangan yang mengedepankan prinsip the greatest possible happines for the greatest number (manfaat untuk banyak orang walau ada yang dikorbankan), menurut pakar sosiologi, Chernea (1989), akan menimbulkan ketidakadilan.
Mereka yang terkena dampak buruk tidak akan terkompensasi oleh dampak positif yang kemungkinan diraup oleh sebagian besar masyarakat. Kesimpulan Chernea didasarkan kepada studi yang dilakukan atas proyek-proyek dam di China, India, dan Afrika, yang rupanya analog dengan yang terjadi di negeri kita. Waduk Kedungombo menyisakan warga masyarakat yang masih menderita dan tinggal di sekitar sabuk hijau.
Penderitaan mereka tidak tergantikan, walau menyaksikan petani-petani di Demak, Kudus, dan Grobogan, menikmati pasokan air irigasi dari Kedungombo. Selain keadilan, prinsip lain yang perlu dikedepankan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah demokratis dan berkelanjutan.
Demokratis, sebagaimana tuntutan yang didengungkan reformasi, bukanlah sekadar ikut serta dalam proses, melainkan ada jaminan bahwa masukan warga masyarakat menjadi bagian dalam pengambilan keputusan. Prinsip berkelanjutan menghendaki bukan hanya kemanfaatan ekonomi, melaikan juga keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Mudah-mudahan diskusi pro-kontra pabrik semen yang digelar Harian Suara Merdeka 29 Januari 2009 ini memberikan pencerahan kepada semua pihak untuk berpikir jernih dalam mengambil keputusan.
Kasus pabrik semen menjadi pembelajaran berharga bagi semua warga Jawa Tengah dalam mengantisipasi setiap perencanaan pembangunan di masa depan. Makna pembangunan seharusnya kemajuan (progress) bagi semua orang, bukan menimbulkan kemunduran (regress) bagi sebagian warga kita.(68)
Sumber : Suara Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar